Buruan Nikahin Gue

Blogwalking malam ini menemukan sebuah posting yang membahas soal pernikahan. Kutipannya langsung menangkap mata saya :

“Siapa bilang gampang? Makanya kalo belom siap, jangan kawin dulu, donk. Kalo perlu ngga’ usah! Ngga’ tau apa kalo akhirnya nanti cuma bakal nyusahin anaknya? See… this is the very reason, why I don’t intend to get married at the first place.“

Kelihatannya perspektif ini makin banyak dianut oleh banyak orang pada saat ini. Belum siap (mental), jadi jangan nikah dulu. Tunggu siap. Mirip seperti haji ya, walaupun finansial sudah mampu, tapi belum siap (istilah teknisnya: belum dipanggil), maka belum berangkat haji juga.

Tapi ada satu hal penting yang mungkin kita lupakan – manusia mungkin adalah makhluk yang paling mampu untuk beradaptasi.

Dari kutub utara sampai sahara, dari puncak gunung sampai di lautan, di bumi sampai luar angkasa; hidup mewah sampai anak-anak palestina yang hidup di sela-sela desingan peluru — ketika ada tekad, maka biasanya manusia akan menemukan jalannya.

Pernikahan saya kira juga demikian. Kalau ditunggu-tunggu, bisa terlambat sekali. Lebih baik nikah saja, setelah sama-sama sepakat untuk :

  1. Mau berusaha memahami satu dan lainnya. Pria dan wanita memang berbeda. Dengan adanya usaha dari kedua belah pihak untuk saling memahami, maka bisa terjalin kehangatan dan bukannya keributan.
  2. Mau untuk berubah menjadi lebih baik. Setelah menikah, maka biasanya barulah akan kelihatan berbagai kekurangan dari pasangannya. Tapi ini tidak masalah ketika sudah ada janji untuk berubah (adaptasi) untuk kebaikan, maka baik suami maupun istri akan sama-sama menjadi lebih baik.
    Tentunya definisi “kebaikan” ini juga perlu disepakati dulu sebelumnya. Biasanya adalah agama, atau dengan tambahan lainnya.
  3. Komitmen menjaga agar komunikasi selalu lancar. Ini akan mencegah asumsi/prasangka buruk. Jadi jika ada sesuatu pada pasangan Anda yang tidak menyenangkan, jangan didiamkan. Mendiamkan masalah tidak akan membuat masalah hilang, justru akan memperparahnya.
    Tanyakan dengan cara yang baik. Siapa tahu ternyata sebetulnya tidak ada apa-apa, cuma salah paham saja. Wajar terjadi, apalagi pada dua makhluk yang berbeda total (pria dan wanita)

Saya pikir, modal menikah sebetulnya ini saja kok. Simpel ya?

Termasuk masalah parenting / merawat anak. Kalau mau menunggu “siap”, tanpa didefinisikan dengan jelas, maka bisa jadi jomblo terus. Lha sekolah merawat anak juga enggak ada tho.
Tapi dengan modal poin #2, maka kita jadi bisa menghadapi hal-hal yang baru, termasuk mengasuh anak-anak kita.

Sekalian saya ingin meluruskan beberapa propaganda pro-nikah — nikah itu bukan melulu senang-senang 🙂 “they live happily ever after” – BS, he he.

Pernikahan itu adalah perjuangan, yang kalau kita jalani dengan sabar, maka hasilnya akan kita nikmati belakangan.
Menghabiskan hidup bersama soulmate, dengan anak-anak yang menyenangkan hati orang tuanya. Ini cuma bisa dinikmati setelah melalui cobaan mental & fisik yang berat. No pain no gain, kata oom Smith. Tapi proses ini yang akan membuat kita dan pasangan kita menjadi orang-orang yang lebih baik. Seperti besi yang awalnya dibakar dan dipukuli berkali-kali, akhirnya menjadi sebuah pedang yang anggun.

Kalau kita cuma ingin bersenang-senang sekarang, maka kesusahannya akan datang belakangan. Jadi saya kira, lebih baik susahnya sekarang; ketika pikiran masih tajam dan badan masih tegap. Bersama dengan pasangan yang sehati, maka susah pun jadi tidak terlalu terasakan.

Saya tunggu undangannya 😉

44 thoughts on “Buruan Nikahin Gue

  1. sepakat dengan manusia adalah makhluk paling adaptif; waktu dari TK naik SD ndak pernah ditanya, siap gak, cuma lihat umur, begitu dijalani lancar2 saja. pindah lingkungan kerja baru, meski dengan deg2an, akhirnya adaptasi lancar juga. ya, kalau ada ‘kerikil2’ dikit wajarlah, namanya juga berproses. life is about learning, not being perfect kalo kata ustad mushola sebelah. betul? 🙂

    Saya tunggu undangannya 😉

    du…du…du… *sambil siul2…

  2. kalau menurut saya, hidup lebih indah kala sudah menikah (dibanding belum). betul kang harry? ;-D

  3. Saya tunggu undangannya 😉

    oke mas, insyaAllah beberapa bulan (ramadhan) lagi 🙂

  4. Keputusan kapan seseorang itu untuk menikah saya kira tergantung pribadi masing-masing. Tak perlu “kampanye” semacam buruan nikah, dlsb. Beberapa buku yang mengengajarkan nikah muda –yang didukung oleh dalil agama– tidak mesti cocok untuk semua orang –hanya pandangan subjektif. Bukan saya tidak setuju dengan hadirnya buku-buku tersebut, namun saya kira tidak perlu membahasakan seperti itu. Menikah itu bukan urusan mudah, juga tidak sulit. Ketika seseorang telah dewasa, secara naluri, alam akan menyadarkannya.

  5. hehehehehe

    gak nyangka juga kl ada “tipe posting” ginian 🙂

    kirain yang jombloers aja yang posting

    thanks buat kiatnya om harry

  6. @imponk – anda betul, buku-buku agama tersebut banyak yang hanya teori. Teori memang perlu, tapi kalau hanya teori, maka pembacanya bisa malah jadi kebingungan – bagaimana cara mengaplikasikannya di dunia nyata ?
    Kalau menikah karena dalil agama (atau alasan2 lainnya), namun mentalnya belum siap; maka hasilnya bisa berantakan.
    .
    Termasuk mental yang keliru adalah menikah _hanya_ karena cinta. Saya sebut keliru karena cinta bisa berubah-ubah; bisa naik, bisa turun.
    Dan/atau bisa keliru paham, dikira cinta padahal lebih banyak nafsu.
    .
    Yang lebih tepat adalah jika menikah dengan bekal cinta (optional, nyatanya pernikahan orang tua kita zaman dulu malah banyak yang awet, karena cinta bisa ada dari tiada) dan komitmen.
    Komitmen untuk setia sehidup semati. Dengan komitmen, cinta yang lenyap pun bisa dimunculkan lagi.
    .
    Pernah nonton sitcom Friends ? Satu hal yang langsung menarik perhatian saya adalah bagaimana sulitnya mereka mencari pasangan. Bukan masalah minus dari segi penampilan, karena di sitcom tersebut nyaris semua pemerannya cantik & ganteng. Dan juga bukan masalah finansial, karena hampir semuanya di film tersebut mampu.
    .
    Masalahnya ternyata justru yang remeh-remeh; cuma karena ada tidak sreg sedikit, maka pacaran menjadi batal. Yang sebetulnya bisa diadaptasikan.
    Walhasil pada awet dalam kesendiriannya.
    .
    Kelihatannya ini juga yang banyak menjadi trend di sekitar kita saat ini. Gonta-ganti pacar bisa berkali-kali, tapi tidak ada yang jadi. Tiba-tiba baru sadar kalau usianya sudah tua, dan sudah mendapat gelar JA – Jombol Abadi. (mending kalau MSc atau PHd tho)
    .
    Nah, kalau kita bisa menyadari bahwa pernikahan itu adalah mengenai komitmen, bukan mengenai hal-hal remeh seperti di sitcom Friends dan lain-lainnya, maka mudah-mudahan makin mudah bagi banyak orang untuk mendapatkan pasangannya.
    .
    Trims untuk komentarnya yang menarik.
    .
    Untuk yang lain-lainnya, saya tunggu undangannya ™ 😀

  7. Selama yang namanya kesiapan untuk menikah itu datangnya dari pikiran logis setiap manusia, ‘kesiapan’ hanyalah akan menjadi sebuah jawaban logis dari akal manusia berdasar kesiapan sesungguhnya yang ada dalam hatinya.

    Kesiapan terpenting dalam pernikahan bukanlah sekedar kesiapan secara finansial ‘bulanan’ atau ‘tabungan’ saja. Yang perlu diutamakan dalam suatu pernikahan adalah kesiapan mental. Bukan mental yang dikaitkan dengan finansial, melainkan kesiapan mental untuk menjadi seorang Suami yang bertanggung jawab (jika lelaki), ato menjadi seorang Istri yang penurut (jika wanita). Seorang Pria hendaknya berkata memiliki kesiapan mental untuk menikah jika sadar betul bahwa Dia harus mampu membimbing istrinya menuju kebaikan, daripada sekedar menuruti ego seorang Lelaki. Ingat, Lelaki adalah Imam.

    Saya sepakat dengan bung Harry jika modal menikah memang hanya 3 itu saja. Saya belum menikah, tapi akan segera menikah. Dan saya merasa ya hanya itu saja modal terpentingnya.

    Sekian dulu. Ntar dilanjut lagi deh… 🙂

  8. hmm.. kog pucuk dicinta ulam tiba..
    belakangan saya sedang mencari jati diri….yang sepertinya sedang tidak terpatri kuat di dalam hati saya…
    Insya allah saya akan segera di lamar..tapi ada ketakutan dalam hati saya…
    benarkah dia jodoh yang tuhan pilihkan untuk saya..??
    apakah benar saya menikah hanya karena saya amat sangat mencintai dia… ato hanya karena terbiasa (mengingat waktu pacaran kami yang sudah menginjak 6 thn)..

    apakah setiap pasangan yang gonna be merid. merasakan hal ini??

  9. usulan mas harry oke banget,
    saya kebetulan menjomblo hampir 3 tahun, dan setelah melihat artikelnya mas harry, pikiran saya jadi terbuka lagi, dan ingin rasanya mengulang kembali masa2 indah. oke mas harry.

  10. mas harry, saya termasuk orang yang telat menikah, jika dibanding dengan adik-adik saya yang menikah lebih dulu beberapa kali ‘melangkahi’ saya. mencari yang sehati itu gampang-gampang susah ternyata. beberapa kali harus menerima benturan-benturan, tapi dari sana belajar memperbaiki diri, dan berusaha tidak ‘memaksakan’ diri untuk cocok dengan orang yang dimaui. mau tapi ga cocok, nanti kan bisa jadi perang di medan rumah tangga. berabe! artikelnya bagus, mas, terutama buat temen-temen yang masih lajang nih. nasihat saya: perhatikan juga getaran hati. you’ll know what i mean. it’s very different from lust. it’s an accepting wave, nrimo dengan segala kelebihan dan kekurangannya. ga ngotot musti cocok dengan ‘ide’ sebagai pasangan hidup. anyway, salam kenal buat semua temen-temen dan salam kenal buat mas harry. wassalam.

  11. waktu awal gua minta nikah, kita (gua dan calon) siap tapi ortu (dua belah pihak blum siap). alhamdulllah. eh.. undangan kirim ke mana nih?

  12. Saya insya Alloh udah punya niat mau nikah 🙂 sekarang masalahnya pertama belom ada calon istrinya(Insya Alloh lagi berusaha mencari) dan yang kedua masalah biaya untuk nikah :(, sebenernya saya tidak terlalu mempedulikan biaya pernikahan yang penting syah berdasarkana Syariah Islam dan syah juga berdasarkan hukum pemerintahan saya rasa itu saja sudah cukup. Sekarang apakah pihak dari calon saya bisa nerima hal seperti itu (termasuk keluarganya)? kadang-kadang itu yang selalu menjadi pikiran saya, terakhir temen saya menikah dia menghabiskan dana yang lumayan besar dan saya rasa saya belum mampu untuk itu 🙁

  13. waah, makasih mas. lumayan nambah ilmu
    slama ini juga bingung, sering ada yang nanya kapan nikah?
    jawab: as soon as posible.
    politis skali yah.

    doain aja yaa. salam knalaan 🙂

  14. saya jadi inget postingnya rekan edo tentang ijab. menikah itu ya dari kesadaran diri sendiri. nice posting mas harry 🙂

  15. @All – thanks karena sudah berbagi semua komentarnya yang menarik. Buat yang akan menikah, mudah-mudahan jalannya dipermudah. Buat yang belum, mudah-mudahan bisa segera bertemu dengan soulmate-nya. Bagi yang sudah menikah, mudah-mudahan langgeng di dunia dan akhirat, amin !

  16. Tergantung kita juga sih – kalau mau dibikin rumit, ya jadi rumit. Tapi kalau mau dibikin mudah, ya jadi mudah 🙂

  17. buruan nikahin gw……..rasanya memang itulah yang sudah lama tunggu untuk diucapin ma seseorang!!!!tp saat keinginan itu muncul mengapa ketakutan yang besar juga selalu muncul???padahal saya sudah banyak mempelajari dari buku,diskusi,dll tentang nikah…..tp ketakutan2 itu selalu muncul!!!!
    mas harry aq harus gimana yaaaaaa????????
    bantu aq yaa!!!!!!?????
    mudah2an setelah wisuda dia meminta aq untuk jadi bidadari dirumahnya……AMMMIIIEEENNN

  18. Bang Harry…

    Wahh thanks ya… Nggak nyangka Mas Harry nyempetin blogwalking ke halaman kita… 🙂

    Great thanks 🙂

    Jadi makin pengen aja nich kerja di PT. KBH* 🙂

    * Kerja Berorientasi Hasil

  19. Bagi umat islam, kalau saya tidak salah, menikah memang hukumnya bisa sunah, wajib atau haram dan Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Bagi rekan-rekan yang sudah diwajibkan untuk menikah dalam agama, maka saya sarankan menikahlah. Untuk menuju kearah jenjang pernikahan bagi sebagian orang bukanlah keputusan yang mudah. mereka masih ragu-ragu apakah saya telah mampu, baik secara materi ataupun mental ? sebagian mereka membayangkan bagaimana nanti kehidupan ekonominya setelah menikah ? Itu salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan saya untuk menikah. Tapi Alhamdulillah hal itu telah saya lewati, karena sekarang saya telah menikah dan memiliki satu anak. Bagi rekan-rekan yang akan menikah hati-hati dalam mengambil keputusan. setelah kita memohon petunjuk dengarkan kata hati nurani kita, jangan sampai niat kita menikah diracuni oleh pikiran emosional ataupun hawa nafsu. bagi yang akan menikah, selamat menikah.

  20. Maaf bgt kalau ini melenceng, tapi saya pikir ada hubungannya juga ko
    circumcise, apa itu wajib?gmn klo tidak?saya tahu untuk kebersihan dan kesehatan orang itu sendiri, tapi klo orang itu masuk islam pada usia 56, apa juga wajib melakukannya?apa resikonya tidak terlalu besar?

  21. Mas Herry postingnya bagus banget, jadi bisa diambil pelajaran oleh orang yang masih jomblo..sama seperti saya 😀

  22. Modal untuk menikah (sebagaimana yang ada pada tulisan ini) :
    1. Mau berusaha memahami satu dan lainnya.
    2. Mau untuk berubah menjadi lebih baik.
    3. Komitmen menjaga agar komunikasi selalu lancar.

    Pertanyaan saya, bagaimana cari terbaik untuk dapat cepat menikah? Jika dalam proses pendekatan/pacaran/taaruf komunikasi tidak berjalan dengan baik apakah bisa untuk melanjutkan ke proses pernikahan?
    Jika mau melamar langsung(ta’arufnya cuma sebentar) ke seorang perempuan dengan punya persiapan, tetapi faktanya kebanyakan perempuan zaman sekarang mana ada yang mau langsung nikah tanpa pacaran. Jadi bagaimana yaa supaya pemuda-pemudi sekarang cepat (tidak menunda) menikah?

  23. @Nur Cholikul — Sumber dari **semua** masalah di suatu pernikahan biasanya adalah Ego.
    .
    Mau enaknya sendiri (tidak mau capek/malas/tidak mau pusing/dst), tidak mau mendengar masukan dari pasangan, kalau salah gengsi minta maaf, tidak mau mengalah, tidak mau kompromi, dst.
    .
    Dalam suatu pernikahan, tidak boleh ada ego. Yang ada hanyalah kita & pasangan kita.
    .
    Barulah kemudian pernikahan itu ada harapan untuk survive & menjadi kebahagiaan di dunia & akhirat.
    .
    @rist — bagi muslim hukumnya memang wajib.
    .
    Mengingat ilmu kedokteran kini sudah sangat maju, saya kira tidak masalah bagi orang yang sudah tua sekalipun untuk disunat.
    .
    @Yusuf — kunci utamanya sebetulnya hanya satu, yaitu komitmen. Kalau sudah ada komitmen, maka semua masalah (cinta, komunikasi, dst) bisa diatasi 🙂
    .
    Cuma memang masalahnya orang kita, Indonesia, kadang sudah bilang komitmen, tapi kemudian di tengah jalan berubah. Kalau sudah begini, bahaya.
    Beda dengan kultur di beberapa negara lainnya, dimana kalau mereka sudah mengatakan komitmen (sudah berjanji), maka mereka akan penuhi janjinya itu walaupun musti jatuh bangun & berdarah-darah sekalipun.
    .
    Menikah dini – ya, sayangnya budaya sekarang ini sudah berbeda total. Kita diajarkan untuk “have fun” selagi muda. “Fun fearless female”, satu slogan media yang terkenal di Jakarta. Ini jelas menyesatkan, hidup ini susah kok malah disuruh fokus ke bersenang-senang. Akhirnya susahnya menumpuk semua di kemudian hari.
    .
    Logikanya, selagi muda ini justru kita berusaha & berjuang untuk masa depan kita. Sekitar 50 tahun yang lalu, bahkan di Amerika, adalah hal yang lazim bagi seorang pria untuk sudah memliki rumah, pekerjaan, dan menikah pada umur 19 tahun.
    .
    Sekarang ? Kadang umur kita sudah lebih dari 40 tahun pun masih banyak yang belum menikah. Ya itu, karena media massa sangat gencar mempromosikan budaya “have fun” ini. Kita semua yang menjadi korbannya, begitu realitanya kita sadari, umur kita sudah lanjut, dan badan sudah tidak setegap dulu lagi.
    .
    Jadi memang kulturnya ini yang harus dirubah dulu. Perlu dibudayakan kembali misalnya praktek apprenticeship (magang) sehingga sejak dini kita sudah bisa bekerja.
    Juga perlu dirubah pandangan bahwa pendidikan formal = sukses, karena pendidikan formal saat ini sangat memakan waktu. Umur sudah lebih dari 20 tahun pun kadang kita masih sekolah juga. Padahal menilik contoh di Amerika (dan Indonesia) dulu, umur sekian pada saat tersebut biasanya sudah menikah & stabil hidupnya,
    .
    Kebetulan saya termasuk yang menikah dini (untuk standar sekarang), saya menikah pada umur 22 tahun. Kalau mendengar kisah kawan-kawan lain yang belakangan menikahnya, saya merasa bersyukur. Saya juga senang karena capeknya ya sudah lewat, waktu badan saya masih lebih kuat. Sekarang anak-anak saya sudah lebih besar, saya bisa lebih santai dan menikmati waktu bersama mereka. Alhamdulillah.

  24. Iya, kalau dipikir-pikir lagi memang yang paling utama adalah komitmen. Hmm.

    Bicara tentang kultur, cepat sekali negeri kita mengadopsi budaya “have fun” 😕 Peranan media massa memang sangat hebat ckk..ckk..ck..Dan untuk mengubahnya kembali menjadi lebih baik, kemungkinan akan memakan waktu yang lama karena ada banyak hal yang harus diubah. Tetapi itu perubahan itu harus dilakukan sejak sekarang, walau masih dalam skala kecil/sedikit.
    Salut buat mas Herry yang bisa menikah dini saat itu (usia 22 tahun). Orangtua saya juga menikah dini, mereka menikah ketika umur keduanya kurang dari 20 tahun. Ini bisa menjadi contoh dan motivasi supaya saya juga bisa menikah dini (inginnya saat berumur 25, hmm…berarti tinggal beberapa tahun lagi *_*, semoga bisa terwujud).

    Kalau saya boleh tahu, istri mas Herry itu dulunya teman sekolah/kuliah/teman, teman sekitar rumah/komplek/desa/kampung, teman jauh, dijodohkan atau apa? Kalau orangtua saya sih dulunya teman satu daerah/kampung. [Saya cuma mengadakan survei kecil pribadi yang tidak resmi :)]

  25. Ayah saya & mertua sama-sama satu pengajian (pengajian umum, sekedar ceramah umum rutin & belajar membaca/tajwid quran, bukan aliran tertentu), lalu suatu ketika acara pengajian diadakan di luar kota dengan membawa semua keluarga mereka. Anak-anak mereka semua jadi saling berkenalan, termasuk saya & istri 🙂
    .
    Mudah-mudahan tujuannya tercapai mas, amin.

  26. Terima kasih untuk sharing pengalaman mas Harry (sekalian saya juga maaf pada komentar #33 saya salah menulis nama mas Harry menjadi Herry, Afwan *_*). Thx juga untuk doanya 🙂 Saya akan berusaha mewujudkannya dengan sebaik-baiknya. Insya Allah.

  27. Pingback: Menikah « munggur
  28. Assalamualaikum,
    perkenalkan nama saya endah.
    saya sudah menikah hampir 2 th. Alhamdulillah sudah dipercaya untuk mengasuh seorang buah hati.
    dulu waktu muda (pacaran:-) memang ada pikiran setuju dengan nikah muda. pemikiran saya berubah setelah selintas membaca judul buku “Nabi aja nggak nikah muda”. banyak yang jadi pikiran dikepala saya. ternyata yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan adalah kedewasaan. umur boleh tua, tetapi dewasa belum tentu.

  29. @mamahylmi – umur boleh tua, tetapi dewasa belum tentu.
    .
    Akur banget mbak 🙂
    .
    Kebalikannya juga kadang terjadi, kadang saya menemukan kawan yang usianya jauh lebih muda dari saya, namun justru saya bisa mendapat banyak pelajaran dari ybs.
    Salut sekali saya dengan kawan-kawan kita yang seperti ini.
    .
    Trims.

  30. kaget pas seorang temen merekomendasikan untuk membuka blog nya ..
    wah ternyata benar katanya, menarik, reflektif, dan bermakna..
    terima kasih ya Ms/Om ato apa nee..
    postingnya mencerahkan ku..
    sukses..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *