Akhirnya kampung saya, Silungkang, muncul di Wikipedia 🙂 yup, kecil sekali, jauh di pedalaman di tengah pegunungan. Penduduknya hanya 8400, namun ada 10.000 lagi di luar kampung / perantauan 🙂 Minangkabau banget, he he.

Menarik membaca kisah berbagai tokoh dari kampung kecil ini. Seperti Abdullah Usman, yang sukses menjaga kesejahteraan masyarakatnya – bahkan di masa penjajahan Jepang, penduduk Silungkang tidak terkena Romusha 🙂 keahlian negosiasinya memang luar biasa.

Ini juga berkat informasi; beliau mendapat kabar via radio bahwa Jepang merangsek cepat ke Indonesia, maka beliau siapkan bendera Jepang di kantor nagari, berikut foto seorang warga Silungkang dengan pakaian khas Jepang.
Ketika tentara Jepang tiba di kampung kecil tsb dengan sepeda, mereka kaget karena disambut oleh wali nagari & penduduk kampung dan Hinomaru, bendera Jepang.

Maka mereka menjadi respek, dan mau mendengarkan permintaan-permintaan dari wali nagari. Kakek saya termasuk yang kena wajib Romusha, tapi pakai sistim Shift 🙂  bergantian, tidak bekerja terus sampai mati kelelahan, dan nenek saya boleh mengantarkan makanan untuk beliau. 
Tanpa wali nagari ini, mungkin kakek saya sudah tewas disana, dan tidak akan ada ibu saya….

Kampung kecil ini juga sempat mewakili Indonesia di Pameran Dagang di Belgia pada zaman penjajahan Belanda, turut serta melawan agresi Belanda, dst, dst.
Dan nampaknya juga sempat menjadi salah satu basis Islam di Sumatera Barat – para orang tua kami bercerita bahwa sejak dari zaman Belanda, para wanitanya sudah mengenakan baju kurung hitam yang menutup aurat (sayang jadi buyar di zaman Jepang, karena kelangkaan bahan / kain), pembentukan SDI (Sekolah Dasar Islam), Masjid Raya yang cukup besar untuk sebuah kampung yang kecil, dst, dst. 

Mudah-mudahan selanjutnya akan terus bermunculan insan-insan yang bermanfaat bagi masyarakatnya dari kampung kecil ini.

http://id.wikipedia.org/wiki/Silungkang,_Sawahlunto