Yang terbaru dari penulis cilik berbakat, Abdurrahman Faiz. Selamat membaca.
——————–
Kutitipkan Temanku; Calon Orang Penting di Negeri Ini!
Rumah mungil yang hanya sepetak itu berada dekat sekali dengan pasar dan kolong jalan tol. Di sekitarnya tampak kekumuhan yang memedihkan mata.
Itulah Rumah Cahaya Penjaringan. Tempat ini dirintis oleh teman-teman Bunda di Forum Lingkar Pena dan Fojis. Yang mengurus Om Andi, penulis yang memakai nama pena Biru Laut itu lho. Om Andi dulu tinggal di dekat sini dan mantan
preman. Aku terkejut juga. Banyak teman preman Om Andi yang suka rela membantu Rumah Cahaya. Ada Om Rojak, Om Tarjo dan banyak Om lainnya. Mereka hebat!
Aku sampai pagi itu dan terkejut dengan sambutan meriah dari teman-teman kecil di Rumah Cahaya. Usia mereka antara 5-13 tahun. Aku tersenyum dan menyalami mereka. Wah mereka ramah!. Mereka menatapku seolah aku ini artis. Aku jadi tidak enak sekali. Aku mencoba untuk lebih akrab.
Tante Asma dan bunda membuat beberapa acara. Ruangan mungil itu seakan hampir runtuh karena ramainya sorak anak-anak. Apalagi saat mereka bermain tebak-tebakan dan ekspresi untuk mendapatkan banyak hadiah imut yang kami
bawa. Nah di tengah keramaian itu tiba-tiba aku melihat sesuatu, tepat di sebelah rumah cahaya.
“Tempat apa itu? Peralatan apa?” tanyaku pada teman di sebelahku.
“Itu tempat perjudian,” katanya. “Dan itu alat-alatnya,” tambah anak berbaju biru itu lagi. “Anak-anak suka main di situ. Padahal seharusnya itu tak terjadi.”
Aku sering mendengar di daerah dekat Rumah Cahaya ada tempat perjudian. Tapi aku tak menyangka kalau tepat di sebelah Rumah Cahaya!
Aku menyalami anak berbaju biru itu dan berkenalan. Namanya Hengki Rifai. Lalu tiba-tiba kami sudah mengobrol seperti teman lama.
“Di sini banyak penduduk yang kesusahan. Yang putus sekolah juga banyak,” kata Hengki. “Saya berdoa dan berjuang supaya bisa terus sekolah.”
Hengki berumur 12 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Aku baru 9 tahun dan baru kelas III SD, tapi asyiknya obrolan kami nyambung.
“Boleh aku ke rumahmu?” tanyaku.
Hengki mengangguk. “Tapi rumahku aneh. Tidak apa?”
“Aku suka rumah aneh,” ujarku tersenyum.
Hengki tertawa, matanya yang bulat bersinar.
Kami pun berangkat bersama Om Rojak dan Om Tarjo, preman baik hati pendukung Rumah Cahaya.
Perjalanan ke rumah Hengki melewati lorong-lorong kumuh di bawah kolong tol. Aku prihatin karena lorong tersebut kotor, gelap dan bau. Anak-anak kecil buang air besar di got kecil yang cetek itu. Rumah-rumah di sana tidak layak huni. Kumuh sekali. Hampir semua rumah tidak beratap. Atapnya langsung jembatan tol itu. Aduh, aku jadi ingin menangis.
Akhirnya aku sampai juga di rumah Hengki. Aduh rumah Hengki membuatku sedih. Rumah itu kecil, kumuh sekali. Lebih mirip gudang. Di sebelahnya ada kandang-kandang ayam. Tapi kata Hengki tinggal kandangnya, sudah tak ada ayamnya lagi. Aku tidak bisa membayangkan ada orang menempati rumah seperti ini. Ya Allah aku istighfar dan menahan airmataku yang ingin cepat turun.
Ternyata Hengki anak yatim. Yang membuatku ingin menangis lagi, Ibu Hengki sebenarnya masih hidup. Tapi pergi meninggalkannya begitu saja. Hengki hidup bersama kakek dan neneknya. Neneknya punya warung mungil di depan rumah
mereka. Hengki sering membantu neneknya berjualan. Aku juga ngobrol dengan nenek Hengki yang ramah. Hatiku tersayat lagi melihat orang setua itu masih harus bekerja.
Aku kagum, meski mereka kesusahan tapi sangat mengutamakan tamu. Aku minum teh botol tapi mereka tak mau dibayar. Terang saja aku memaksa. Aku paksa Hengki sekalian menerima sedikit tabunganku yang kubawa hari itu. Hengki
kaget. Dia malu tapi bersyukur. Rupanya dia belum bayar uang sekolah beberapa bulan. Aku juga memberikan buku-buku karyaku pada Hengki. Hengki tertawa. Katanya dia sudah membaca semua puisiku di Rumah Cahaya, tapi belum
punya bukunya. Dia berterimakasih sekali. Ah, Hengki. Sebenarnya aku yang berterimakasih padamu. Kamu mengingatkanku lagi akan arti syukur dan peduli pada sesama.
Sayang, aku tak bisa lama mengobrol dengan Hengki. Sebab acara di Rumah Cahaya belum selesai. Aku harus kembali ke sana. Aku menyalami nenek, menyalami dan memeluk Hengki. Aku katakan padanya begini: “Kita terus
bersahabat ya! Apapun yang terjadi!” Hengki mengangguk dan menjabatku erat.
“Kamu tahu Hengki, aku yakin, meski keadaanmu sekarang begini, suatu saat kamu akan jadi orang hebat! Orang penting! Jadi kamu tidak boleh menyerah sekarang!” pesanku padanya.
Hengki tertawa, menampakkan giginya yang putih bersih. Aku senang melihat Hengki yang hitam manis. Dia cerdas dan baik hati. Aku tahu suatu saat, kalau dia tetap berjuang dan dekat dengan Tuhan, dia benar-benar akan menjadi orang penting di negara ini!
“Aku akan datang lagi!” seruku. Aku melambai pada Hengki dan nenek, sambil berusaha menahan haru.
Ditemani Om Rojak, Om Joni, Om Tarjo, preman-preman baik hati itu, aku kembali menuju Rumah Cahaya Penjaringan. Mereka menatapku heran. Aku juga menatap mereka kagum.
Preman pahlawan, aku tahu Allah akan menjaga sahabatku Hengki Rifai. Tapi tolong ya, aku titip juga calon orang penting ini pada kalian!
(Abdurahman Faiz)