BRR (Badan Rehabilitasi & Rekonstrusi / Aceh and Nias Rehabilitation and Reconstruction Board) has been criticized by an Acehnese, who happen to be a friend of mine who’s studying in UK.
He complained about how 70.000 people are still living in tents, two years after the Aceh Tsunami. He’s asking the heads of BRR to come down and stay in the tents, together with the people that they’re supposed to help. He’s quite sure that will help to speed up the housing project.
Internal corruption was also mentioned, along with statement about how some people that care about abolising it were fired instead.
Another spotlight was cast on the salary of the BRR staff, with some compensated between US$ 1000 – US$ 5000/mo, in a country with average income of US$ 150/mo, and that excludes various benefits (meetings, transportation, etc). Meanwhile the tsunami refugees are living on US$ 9 / mo.
If anyone’s interested to clarify this, just comment here, then I’ll help you get in touch with him
The complete details of his complaint is below :
Kalau saya boleh saran tuk Pak Kuntoro dan seluruh staf ahli nya (deputi, satker, pengawas)
1. Lakukan rekonstruksi sesuai dengan prioritas. BRR hadir untuk membantu para korban tsunami dan bukannya untuk mendirikan sebuah perusahaan. Agar lebih memahami nasib para korban tsunami dan juga demi percepatan rekonstruksi, Pak Kuntoro dan para petingginya pindah aja tempat tinggal di Barak-barak pengungsian, rasakan penderitaan mereka yg masih di barak atau kalau perlu tinggal sekalian di tenda-tenda. Saya yakin, ngak sampai setahun, tugas prioritas utama BRR tuk membangun rumah korban tsunami akan segera berakhir. dua tahun lebih, masih 70.000 korban tsunami tinggal di Barak, ngapain aja coba???
2. Kerja BRR dikendalikan langsung dari Banda Aceh, dan bukannya buat rapat di Jakarta, Bogor, Singapura dll.
3. Serius menangani korupsi internal, sayang org yg benar-benar ingin BRR bersih dari korupsi malah dipecat.
4. Teliti seluruh staf yg rangkap jabatan, dan minta mereka memilih satu tugas. BRR menggaji karyawannya cukup tinggi, namun kerjanya tak setimpal. Masak karyawan BRR masih sempat kerja double functions padahal BRR harusnya memikirkan ttg komitment para pekerjanya. Ada teori yg baik memang ketika ‘ you pay nut you will get monkey’, tapi heran kalau ‘you pay high price, but you still get monkey??’ . BRR membayar gaji karyawan dari 10 jt-50 jt perbulan (diukur dengan dolar lah katanya), lengkap dengan fasilitas tunjangan lainnya, termasuk lunch, dinner, rapat yg wah. sementara Jadu (jatah hidup) untuk pengungsi sunami diberikan cuma Rp.90.000 per bulan atau $9/bulan. artinya mereka cuma dapat $0.30 sehari (mungkin di US uang ini cuma cukup untuk ke public toilet itupun sekali). Hebat ya BRR?
5. BRR harus mengganti paradigma berpikir, bahwa bantuan dan dana itu ‘amanah’ yg harus disampaikan kpd haknya, dan bukannya ‘ghanimah’ yg bisa dibagi-bagi ke rekanan. BRR diperlukan untuk mengelola dana tsb seefektif dan seefisient mungkin.
Bagi yang kurang berkenan, bagus kerja sekali-sekali langsung ke Aceh, lakukan interview dengan korban tsunami, lihat kualitas rumah bantuan BRR, lihat sarana utama penunjang kehidupan mereka spt wc, air, listrik, dan kemudian bandingkan dengan fasilitas karyawan BRR. Meski laporan BRR ‘cukup cantik’, namun kenyataanya, cuma cantik di kertas …
Sekali lagi, duh BRR, ngapain aja ya…
Untuk poin ke #2 ttg rapat, saya setuju sekali. Ngapain rapat di Singapura??
Numpang komentar.. kebetulan sekarang saya bekerja di perush. kontraktor di Aceh yang banyak dapet proyek dari BRR, memang betul sekali bahwa citra BRR sangat jelek disini.. tapi utk masalah rumah bantuan ada satu faktor lain selain BRR yaitu problemnya adalah banyak kontraktor2x nakal yang kadang tidak menyelesaikan tugas dengan baik alias mau duitnya doang !! tapi bukan perush. saya lo ! ^_^;;
memang iya..