:: Seperti biasa, setiap mendekati Natal, kembali kita menyaksikan polemik seputar ucapan selamat Natal. Biasanya sih cukup membuat senyum saja. Namun, kali ini saya sangat dikejutkan dengan pertunjukan intoleransi dari para pendukung ucapan selamat Natal / penentang para pendukung larangan ucapan selamat Natal (euh panjang sangat ya 🙂 )
Di berbagai forum & artikel, saya membaca berbagai caci maki kepada mereka yang tidak setuju dengan ucapan selamat Natal. Padahal biasanya cuma sekedar sindiran atau bahasan yang rasional. Bahkan kali ini tidak sedikit yang sangat agresif dalam menanggapinya.Â
Seharusnya, semuanya bisa dilakukan dengan baik.
Yang tidak setuju dengan ucapan selamat Natal, sampaikan dengan baik, tanpa kata-kata yang provokatif.
Yang tidak setuju dengan itu juga bisa menyampaikannya dengan baik. Bukan malah mencaci maki yang malah akan makin meningkatkan reaksi kontra dari pihak lainnya.Â
Apalagi ada pula yang sampai menghina Islam. Joko Sembung, alias, tidak nyambung, Anda tidak setuju dengan tindakan penganutnya, eh  malah agamanya yang disalahkan.
KONTEKS, KONTEKS, KONTEKS
Dalam soal fiqih Islam, semua itu ada konteks / latar belakangnya. Melenyapkan konteks dari suatu aturan / fatwa akan menyebabkannya jadi terlihat  aneh.
Contoh : konteks dari fatwa MUI soal Natal itu adalah karena Buya Hamka, salah satu Ulama paling toleran yang pernah ada di Indonesia, menyaksikan bahwa umat Islam malah sudah sampai ikut merayakan Natal. Dan rezim Orba juga ketika itu memberikan contoh serupa / mendorongnya – berbagai instansi pemerintah mengadakan perayaan Natal, dan PNS muslim ada yang terpaksa ikut walaupun tidak menginginkannya. Gejala Sinkretisme mulai muncul cukup jelas.Â
Maka beliau mengeluarkan fatwa tersebut.Â
Walaupun kemudian beliau jadi musti turun dari jabatannya sebagai Ketua MUI, namun fatwa tersebut tetap tidak pernah beliau cabut sampai akhir hayatnya.Â
TOLERANSI SEJATI
Saya cukup beruntung pernah menikmati hidup dalam masyarakat yang sangat toleran, yaitu ketika sedang pergi merantau untuk bekerja di Inggris.Â
Di kantor saya, SEMUA orang merayakan Natal – Kristen, Sikh, Atheis, dan bahkan kolega-kolega saya yang muslim 🙂 (1)Â
Hanya saya sendirian yang, bukan cuma tidak merayakannya, namun bahkan tidak mengucapkan selamat Natal.Â
Mudah-mudahan cukup terbayang bagaimana kontrasnya antara mereka dengan saya ketika itu 🙂 dan, cukup membuat jantungan juga tentunya – saya hanya sendirian, pendatang baru, asing, dan malah nekat berbeda sendiri pula.Â
Terharu bukan main ketika ternyata para kolega saya itu tidak ada satu pun yang mempermasalahkannya !
Mereka menghormati kepercayaan saya. Dan bahkan hampir semua tidak mau mengusik saya dengan sekedar menanyakan alasannya (kenapa saya tidak merayakan + tidak mengucapkan selamat Natal).Â
Hanya ada 1 kolega yang bertanya, dan setelah saya jelaskan, dia tetap menghargai keyakinan saya (walaupun belum tentu dia sepakat).
Dari mereka saya banyak belajar tentang menghargai orang lain. Saya pun tidak keberatan sama sekali ketika ada yang lupa mengucapkan "Happy Eid !" kepada saya. It's not a problem at all.Â
Saya bekerja keras, berusaha membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan saya. Dan setiap Natal, semua orang makin senang dengan saya; karena berkat saya, mereka semua jadi bisa mengambil cuti Natal, karena masih ada saya yang datang ke kantor 😀 dan demikian seterusnya; mereka semua memberikan contoh yang baik, dan saya selalu berusaha membalasnya dengan lebih baik lagi.Â
Dan itu semua menghasilkan kejutan terbesar di hari terakhir saya bekerja – lazimnya, semua orang di kantor akan mengumpulkan uang sebagai hadiah perpisahan untuk rekan kerja yang keluar / pindah kerja. Demikian pula ketika mengetahui bahwa saya akan kembali ke Indonesia, mereka segera urunan untuk mengumpulkan uang hadiah bagi saya.Â
Saya kaget bukan main ketika Nenek Christine, sekretaris di departemen saya, menyerahkan uang hadiah tersebut. Saya lupa bahwa ada tradisi itu 🙂
Makin terkejut ketika dia tersenyum lebar dan berkata, "This is be biggest collection we have ever had, Harry. Well done!" – baru kali ini ada terkumpul uang sampai sebanyak itu untuk seorang rekan yang akan pergi.Â
Terharu ketika menyadari bahwa ternyata saya berhasil meraih hati & simpati mereka. Sambil terbata, saya ucapkan banyak terimakasih, dan pamit kepada mereka semua.Â
Kembali ke Indonesia, sambil membawa banyak oleh-oleh pelajaran hidup dari mereka.
(1) belakangan saya baru tahu, bahwa Natal di Inggris sudah dianggap sebagai perayaan budaya / komersial, bukan / tidak terlalu religius lagi. Namun, tetap saja ketika itu saya cukup kaget 🙂
KLARIFIKASI
Para pembaca yang bermata tajam pasti sudah sadar bahwa ternyata tidak ada larangan mengucapkan selamat Natal di fatwa MUI :)Â
Fatwa MUI hanya membahas mengenai larangan ikut serta merayakan Natal bersama.Â
Namun, tetap saja banyak orang mengatasnamakan MUI dalam menolak mengucapkan selamat Natal.
Dan demikian pula dengan para penentang mereka, malah menyalahkan MUI / Buya Hamka atas hal tersebut.Â
Sama-sama error 🙂
Dalam soal ini, mengucapkan selamat Natal, ada berbagai pendapat ulama. Ada yang membolehkan, ada yang tidak.Â
Lebih lengkapnya bisa dibaca misalnya disini : http://samardi.wordpress.com/2012/12/24/fatwa-fatwa-tentang-selamat-natal/
PENUTUP
Toleransi sejati tidak membutuhkan basa-basi. Dia berasal dari hati, dan menjadi hasil yang hakiki. Dan perbedaan keyakinan yang bagaimana pun tidak akan bisa meluluhkannya.Â
Saya belum tentu setuju dengan keyakinan Anda, namun saya menghormati keyakinan Anda tersebut, sebagai bagian dari hak Anda sebagai manusia.
Sebagaimana telah dinyatakan di dalam Al-Qur'an : "Lakum dinukum wa li ya diin" = Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Bersama-sama, semoga bisa kita wujudkan toleransi sejati di Indonesia ini. Aamiin !
REFERENSI
http://www.kaskus.co.id/thread/50d83a920975b4692b0000a9/sejarah-fatwa-mui-tentang-natal-1981/
Berbagai fatwa seputar ucapan selamat Natal : http://samardi.wordpress.com/2012/12/24/fatwa-fatwa-tentang-selamat-natal/
http://www.islampos.com/buya-hamka-mengundurkan-diri-dari-mui-karena-natal-34291/