Pedagang yang tidak suka duit

Saat ini saya sedang mencoba berbagai provider CDMA, karena sebal melihat tarif GSM yang tidak masuk di akal. Untuk saat ini kelihatannya Esia yang cocok untuk keperluan saya, tapi pulsanya sudah hampir habis.
Di perjalanan pulang saya melihat-lihat berbagai kios voucher, namun memang sedikit sekali yang menjual esia.

Mendekati rumah tiba-tiba terlihat sebuah kios yang cukup besar, yang menjual pulsa elektronik Esia.
Saya menghentikan mobil, dan kemudian menanyakan voucher Esia seharga Rp 50.000. Um.. tapi kok dia malah mengeluarkan voucher Jempol ya?
Lha, ternyata agak budek 🙂 saya kemudian ucapkan lagi dengan agak keras.

“Oh, Esia enggak ada pak”. Gedubrak.
Duh, kalau gitu ya jangan ditulis dong ada Esia di papannya.

Tapi tidak hanya sampai disitu, kebetulan terlihat ada box handphone CDMA yang cukup bagus, saya pikir mungkin istri saya akan tertarik.

“Bang, yang ini harganya berapa?”. “Oh, itu sudah kejual pak”, katanya.
Yeh.. kalau gitu ngapain juga kotaknya dipajang terus ?

Sekilas mungkin cerita ini terbaca lucu – namun ini adalah kesalahan fatal yang banyak dilakukan oleh para pedagang kecil:

  • Barang dagangan sebaiknya lengkap, karena customer akan lebih memilih toko yang bisa memenuhi semua kebutuhan mereka.
  • Jika toko Anda tidak lengkap, maka para customer akan menghindari datang lagi di masa depan.
  • Kalau ada suatu barang yang kebetulan kita tidak punya, minta maaflah kepada customer tersebut, dan janjikan bahwa barang tsb sudah akan tersedia di toko kita (misalnya) minggu depan. Ini akan menyenangkan mereka dan memperkecil kemungkinan mereka menghindari toko Anda.
  • JANGAN berbohong. Ini mungkin adalah pantangan terbesar bagi seorang pedagang yang ingin sukses.

Dalam cerita ini, Anda bisa menjamin bahwa saya tidak akan mampir lagi ke toko voucher tersebut, walaupun hampir setiap hari melewatinya.

One thought on “Pedagang yang tidak suka duit

  1. Saya rasa, dia berpendapat bhw dengan memasang logo barang yang tidak dia jual, maka calon pembeli akan “terperangkap” masuk ke kiosnya, dan mudah2an membeli produk lain yang kompatibel dengan yg dicarinya.
    Yang tidak disadarinya, bahkan binatang yang “terperangkap” tidak akan pernah lagi masuk ke perangkap yang sama.
    Begitulah kalau manusia diperlakukan sebagai binatang, bukan calon langganan !

    Saya heran, mengapa banyak penjual di Indonesia masih menerapkan cara primitif spt ini 🙁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *