Dunia Akademis kita

Disclaimer: saya tidak menyatakan bahwa situasi pada posting ini adalah situasi pada seluruh institusi pendidikan kita di Indonesia. Ini hanya beberapa contoh, dan mudah-mudahan tidak demikian halnya di institusi-institusi lainnya.

[ 1 ] Kawan saya bercerita mengenai seorang dosen di Universitas negeri terbesar di Indonesia. Dosen ini senang terjun ke lapangan, mengadakan proyek-proyek yang riil, dan menulis berbagai hasilnya di berbagai media. Jumlah pointnya sudah 2000, sedangkan jumlah point yang dibutuhkan untuk menyandang gelar profesor adalah 800.
Apa yang terjadi ? Karena kebetulan yang berpengaruh di jurusannya adalah koleganya yang menganut aliran textbook (baca buku-buku teori, hafalkan, maka nilai siswa akan bagus. Penghuni menara gading), maka dosen ini masih tetap belum menjadi profesor.

Untunglah hal ini tidak menjatuhkan semangat dosen tsb. Ybs sampai saat ini terus berkiprah di bidangnya secara aktif, dan malah lebih populer di dunia internasional daripada di negerinya sendiri.

[ 2 ] Sebuah universitas Islam, adalah tempat seorang kawan saya mengabdi. Suatu hari mereka mendapatkan proyek dari luar negeri dengan jumlah yang cukup besar. Maka dengan penuh semangat, kawan saya menyampaikan rencana-rencana kerja untuk realisasi proyek ini. Rencana-rencana tersebut penuh idealisme, sesuai dengan yang dituntut oleh proyek tersebut, dengan hasil yang nyata baik untuk lingkungan maupun dunia riset akademis.

Apa komentar atasan dan koleganya ? “Lha, nanti untuk uang saku kita mana ?”

Proyek tersebut (dan proyek-proyek selanjutnya) kemudian dikerjakan ala kadarnya, dengan sehemat mungkin. Laporannya dibuat dengan bagus, untuk menyenangkan pemberi proyek. Sisa dana proyek kemudian dibagi beramai-ramai antara mereka semua, termasuk juga pihak universitas.

Needless to say, my friend is now looking actively for another job, so he can quit this institution.

[ 3 ] Ada seorang yang baik yang (lucky me) adalah kawan saya yang cukup akrab. Suatu ketika, beliau mendapat kepercayaan untuk memimpin sebuah SMP boarding school di luar kota Jakarta.
Beliau memimpin dengan bijaksana dan penuh kasih sayang kepada semua orang. Maka tentu saja semua orang menjadi sayang juga kepada beliau; para staf, para murid, dan bahkan para orang tua murid.

Ternyata, pelaksana yayasan pemilik sekolah tersebut malah menjadi cemas melihatnya. Bukannya gembira.
Mereka tidak senang melihat kawan saya tersebut menjadi populer. Maka, orang-orang hasad ini kemudian memecat kawan saya tersebut. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Walaupun kemudian para murid dan orang tua mereka mendemo keputusan yayasan tersebut, namun pihak yayasan tidak bergeming, dan tetap mengusir kawan saya dari posisinya tersebut.

Dengan istri dan anak tiga, alangkah beratnya beban kawan saya tersebut ketika beliau mendadak menjadi pengangguran seperti itu. Alhamdulillah, karena beliau memang muslim yang kualitasnya sangat jauh di atas saya, maka beban ini tidak ada terlihat berat pada beliau sama sekali. Masya Allah.
Semoga Allah swt akan menggantikannya dengan yang lebih baik, amin.

Rants over.

5 thoughts on “Dunia Akademis kita

  1. Tapi, selain contoh2 tragis itu, ada juga contoh yang membanggakan. Jurusan Astronomi ITB, contohnya. Ini jurusan yang paling tidak bisa menghasilkan uang. Tidak ada yang bisa diobjekkan. Tidak ada proyek yang sisa dananya bisa dibagi-bagi. Doktor dari jurusan ini harus hidup dg gaji kurang dari 2 juta rupiah sebulan (dan tidak bisa nyambi mengajar di universitas lain krn jurusan astronomi di Indonesia ya cuma ada di ITB).

    Tapi dengan kondisi macam itu, astronomi malahan jadi salah satu pusat unggulan di ITB. Hasil riset yg dilakukan sangat sering menembus jurnal internasional (dibanding dengan fakultas lain yg scr ekonomis lebih “makmur”). Sementara itu, kelengkapan koleksi perpustakaannya boleh diadu dg milik lembaga sejenis di luar negeri. Kenapa? Salah satu sebabnya, menurut saya, krn para akedemisinya bekerja dg dedikasi penuh untuk bidang ilmunya, bukan untuk materi. Sayangnya, ini memang kasus yang sangat langka di negara kita.

  2. risiyanto – saya memang berencana membuat TK di rumah saya di daerah bintaro. mau ikutan ?

    dhani – mudah-mudahan orang-orang seperti ini akan makin terangkat nasibnya di indonesia, amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *