Selama beberapa bulan ini saya sudah baca banyak posting blog yang menyayangkan atau mengkritik pedas pemerintah seputar topik open source — mulai dari MoU dengan Microsoft yang menghebohkan itu, mengapa adopsi open source di Indonesia terasa lambat sekali, anggapan bahwa pemerintah tidak berbuat banyak untuk mendukung migrasi ke solusi open source (OSS = Open Source Solution/Software); dan berbagai posting-posting lainnya yang senada.
Alhamdulillah ternyata banyak sekali yang peduli mengenai soal ini. Ini penting sekali, karena ini adalah salah satu usaha untuk mewujudkan kedaulatan – sebagai suatu topik yang multi dimensi :
- kedaulatan dalam soal pilihan software
- kedaulatan dalam soal akses internet (singtel/taiwan down, indonesia lumpuh!)
- kedaulatan dalam soal ekonomi
- kedaulatan dalam soal pengelolaan sumber daya alam
- kedaulatan dalam soal memutuskan berbagai kebijakan dalam negeri
- Dan seterusnya
Tahap selanjutnya saya kira adalah mendukung. Pemerintah itu bukanlah sebuah entitas serba bisa. Mereka juga butuh dukungan dari kita, agar dapat mencapai tujuan yang kita inginkan.
Kalau kita melulu kritik, saya cemas kalau nantinya akhirnya para pejabat jadi merasa jemu; dan memilih berpaling kepada para pelobi vendor proprietary – yang sangat pandai dan halus dalam menyampaikan misinya.
Mudah-mudahan tidak ada yang salah paham – saya tetap berpendapat bahwa kritik itu sangat penting. Namun saya kira kita perlu perhatikan caranya, dan isinya – konstruktif, atau hanya penumpahan uneg-uneg tanpa solusi ?
Saya sendiri baru bisa memberikan contoh kecil saja pada saat ini. Selain pernah terlibat kecil-kecilan di beberapa proyek open source, pada saat ini staf di perusahaan saya mendapat keringanan untuk terlibat di berbagai proyek open source. Bahkan di kantor pun mereka boleh mengerjakan proyek open source mereka.
Namun dalam waktu dekat, mudah-mudahan perusahaan kami bisa berkontribusi lebih banyak lagi. Barusan saya dikontak mengenai peluang ini. Menilik proyeknya, saya sangat amat antusias bahwa ini akan menjadi terobosan besar dalam mendukung pemanfaatan solusi open source di Indonesia.
Tapi maaf saya akan rahasiakan detil proyeknya, supaya tidak ketahuan oleh pihak-pihak yang kontra 🙂
Saya hanya akan beberkan kepada pihak-pihak yang mungkin bisa berkontribusi untuk usaha ini.
OK, mari kita bersama-sama mendukung IGOS (Indonesia Goes Open Source) sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Mari !
Setuju mas. Saya setuju untuk mengkritik agar pemerintah mau melihat kondisi riil namun juga setuju untuk memberikan kritik yang konstruktif agar ada solusi yang bisa ditawarkan.
BTW, saya termasuk mendukung OSS 😀 berarti boleh dong saya tahu detail proyeknya 😛
Meskipun berbeda makna, kata kedaulatan bertautan erat dengan kata merdeka/independen/swadaya.
Dalam beberapa kasus memang, jika bisa, sebaiknya kita dapat berdaulat (atau berswadaya) dalam menangani beberapa isu dalam negeri. Tentunya dengan skala prioritas, kita harusnya bisa memilih mana yang seharusnya dikerjakan terlebih dahulu.
Saya kagum dengan para bangsawan yang dulu merencanakan kedaulatan negara dan juga kedaulatan politik luar negeri yang bebas aktif. Ini buktinya bahwa kita bisa, meskipun dengan ngoyo dan jatuh bangun.
Kembali dalam konteks Teknologi Informasi, kita sebenarnya mampu, apalagi kalau memang dipaksa untuk menggunakan OSS/FS. Tapi, ketergantungan inilah yang membuat kita merasa seakan-akan tidak mampu dan lebih melihat ke masalah daripada ke solusi dan hasil. Misalnya saja, kalau tidak ada pengendali (driver) mesin cetak untuk OSS/FS, ya buatlah agar para produsen membuat pengendali untuk OSS/FS atau bahkan membuat sendiri. Wong bambu runcing saja jadi kok.
Seperti biasa, biarkan pemerintah berjalan sendiri jika memang tidak bisa sejalan dengan rakyat. Bukankah kita memang sudah terbiasa dengan hal ini dan kemudian mengakali/mensiasati keadaan yang kemudian berujung malah membuat kita semakin kreatif.
Tidak semua orang bisa berjalan dengan kecepatan yang sama, apalagi dengan tujuan yang sama.
Ah, andai-andai kita masih punya semangat ’45 yang berani mati kalo tidak menggunakan Windows.
Mungkin sebenarnya rakyat sudah jenuh dengan melihat ketidaksinkronan antara para pemimpin dan pejabat negeri ini, seolah tidak punya cetak biru perencanaan pembangunan ( termasuk informatika & multimedia ).
dukung IGOS !!
Kang Harry, bukan mo comment nih niyy, mo minta masukan or pendapat tepatnya 😀
Kan udah rahasia umum tuh, bahwa seringkali mentalitas org2 Indonesia jadi salah satu penyebab penetrasi OSS di sini lambat. Di luar negeri, karena beli s/w asli mahal sedangkan bajakan mungkin gak banyak tersedia, ya jadilah OSS alternatif yang menarik. Klo di Indonesia, dengan Rp 20 – 50 ribu, bisa dapat CD or DVD yang isinya komplit banget. Hal ini yang sering dituding jadi penyebab terbesar malesnya org pindah ke OSS.
Nah, menurut saya, salah satu kesalahan ‘kecil’ komunitas OSS adalah dalam cara mengajak. Mereka selalu menggunakan alasan “kemandirian”, “bebas”, “terbuka”, “hemat devisa” dsb (ngerti maksudnya ya Kang…) padahal banyak org gak peduli tentang hal itu.
Jadi kira-kira format komunikasi seperti apa yang tepat utk org yang sudah mahir ber-komputer ria (dalam skala ringan) utk berpindah ke OSS yah? Klo harga atau alasan yang nasionalis, saya kira memang masih belum mengena – utk saat ini 🙁
Makasih yak Kang… 😉
@Vavai – saya akan dapat detail lebih lanjutnya minggu ini. Nanti saya kabari lagi insyaAllah 🙂
.
@AhSya – nah, ini dia pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh semua advokat OSS ! 😉
.
Beberapa ide dari saya pribadi :
.
1. Supaya tidak kena razia, dendanya mahal lho ! (kampanye FUD yuk, hihihi). Thanks pak polisi 😛
.
2. Supaya tidak kena virus.
Walaupun (secara teknis) OSS bisa kena virus juga, namun (secara kenyataannya) jumlahnya jauh lebih sedikit.
.
3. Agar bisa tenang bekerja – dan bukannya sibuk mengurus komputer yang hang, crash, BSOD.
Untuk ini perlu pilihan distro yang tepat juga – kalau gantinya Windows justru Fedora versi beta, ya siap-siap saja justru makin diomeli 🙂
.
Kalau dari saya mungkin itu yang teringat saat ini. Ada yang bisa menambahkan ?
.
Thanks!
@harry –> kok niru2 gini… 😛
Iya yaa… itu ide komunikasi yang cakep juga… boleh dicoba… Insya Allah saya mo coba bikin workshop Linux kecil2an… sasarannya temen2 remus yang masih awam. Kayaknya klo masih awam -seharusnya- lebih gampang “diracunin” non-windows.. hehe..
Btw, ngerjain proyek apa sih Kang? *penasaran_mode… hayyah..
Makasih byk!
oss selalu dipandang sebagai alternatif, bukan dipandang berdasarkan kelebihan dan kemampuannya, hal inilah yang membuat oss harus tetap sebagai alternatif. mungkin yang harus ditekankan kepada para pengambil keputusan adalah bahwa menggunakan oss itu kelebihannya ini dan itu, bukan sebagai pengganti alternatif (mungkin ga ya?). ambil contoh openoffice, mungkin lebih ditekankan bahwa aplikasi ini bisa mengurangi penyebaran virus makro, mungkin juga lebih ditekankan bahwa dengan aplikasi ini ga perlu repot apabila harus bikin file PDF?
migrasi pun bisa dilakukan secara bertahap, ok lah klo mau ga mau kita harus beli sistem operasi berbayar, tapi minimalnya aplikasi bisa menggunakan “gratisan” toh dengan ini akan mengurangi setidaknya sekian persen dari dana yang harus dikeluarkan. seberapa dalam sih penggunaan makro pada aplikasi office untuk penggunaan kantoran di Indonesia? terutama dipemerintahan. seberapa ngejelimet sih penggunaan tabel di laporan pemerintahan?
mungkin cara yang tepat adalah mendidik generasi baru untuk menggunakan oss, karena tampaknya sudah agak terlanjur basi untuk generasi saat ini. kita hanya bisa berharap, ada sedikit kemauan dari para pengambil kebijakan untuk setidaknya membebaskan “sd,smp,sma dan lembaga pendidikan lainnya” dari ketergantungan terhadap produk tertentu. kalau sampai hal ini juga tidak bisa dilakukan, dukungan tinggal dukungan, kritikan tinggal kritikan, oss tetap akan sebagai alternatif, bukan sebagai perangkat lunak mandiri yang memiliki keunggulan dimata masyarakat kita dan siap-siaplah para aktifis oss harus “membenturkan kepala ketembok”
Pak Harry,
Problem di Indonesia itu bukan mencari orang/entitas bisnis yang mumpuni untuk bikin code berkelas dunia.
Problemnya adalah mencari interseksi antara kemampuan, kemauan, dan ketersedian dari masing-masing individu.
Itu pertama.
Kedua, masalah paling gawat, entah kita ini mungkin terlalu pinter (atau terlalu bodoh?) cepet banget meremehkan pimpinan. Akibatnya krisis kepemimpinan.
“Kalau sang jendral tidak ada ditempat, ya gw gak akan submit code”.
Saya dulu pernah bikin open source amatiran. ‘Sesuatu’ yang mestinya inovatif (waktu itu kami siap-siap untuk ikut Belua Conference I) tapi ya mati ditengah jalan karena hal diatas itu.
Poin saya, maju perang beginian ga cukup bekal skill dan ide inovatif. Tapi harus ada jendral-jendral tangguh dan strategi.
Saya yakin pak Harry, sebagaimana natur seorang jendral, sudah mikir hal-hal “remeh-temeh” seperti ini 😀
Saya tulis disini karena satu hal: sebagai pengingat buat saya pribadi.
Krisis kepemimpinan seperti lingkaran setan yang nggak ada ujungnya.
* duh.. ngomong opo toh aku *
@Vavai – @Ahsya — sorry banget, belum bisa dibocorin 🙂 tapi saya janji nanti setelah selesai pasti akan saya beberkan, karena bisa banyak manfaatnya.
.
@Andry – spot on banget. Saya ya lagi banyak banget mengalami ini. Solusinya saya kira adalah kemampuan diplomasi dan manajemen.
Tapi, saya yang introvert ini sebetulnya bukan orang yang pas untuk men tackle soal ini he he. Jadi saya sambil jalan juga minta tolong dengan kawan-kawan lainnya. Kalau cuma sendirian sih saya ga bisa apa-apa. Fokus utamanya, betul sekali lagi, yaitu memutus lingkaran setan itu.
Thanks.
saya mo nanya nih.. di Bali lagi ada pilgub tapi salah satu calonnya masih polisi aktif buktinya saat pencoblosan beliau tidak mencoblos karena alasannya masih dalam proses,,,, gimana ney para aparat dan penegak hukum kok diem aja???? apa karena beliau orang spesial ???? padahal kan dalam UU kepolisian polisi ga punya hak memilih dan dipilih ???? apa kata dunia kalau hukum cuma dipakai buat candaan ???