Fallacy : “XXX sudah dewasa, maka dia sudah tahu mana yang terbaik untuknya”

Fallacy adalah kekeliruan dalam sebuah pendapat/argumen, yang menyebabkan seluruh argumen/pendapat tersebut keliru.

Salah satu contoh yang sering sekali kita baca di berbagai media atau kita dengar dari orang lain adalah yang tercantum di judul posting ini 🙂
Silahkan ganti XXX dengan si Fulan, Harry, atau bahkan **glek** masyarakat.

Statement (misalnya) “Masyarakat kita sudah dewasa, maka mereka sudah tahu mana yang terbaik bagi mereka” adalah keliru karena asumsi yang digunakan sudah keliru.

Asumsi yang digunakan adalah jika dewasa = sudah tahu mana yang benar.
Padahal, bukan sekali dua kali kita menemukan orang yang dewasa secara fisik, namun secara mental setara dengan anak kita.

Sialnya, statement ini sering sekali digunakan dalam berbagai argumen oleh berbagai orang. Saya juga bingung kenapa. Karena statement model begini (generalisasi) bisa dipastikan tidak akan pernah bisa 100% benar.

Satu contoh lagi, kalau memang statement ini benar, maka mustinya tontonan sinetron picisan yang kini banyak di berbagai saluran TV kita tidak akan laku sama sekali 🙂
Tapi, kita sudah tahu sendiri bagaimana kenyataannya.

Satu contoh lagi, jika statement tersebut benar, maka tentunya kita tidak akan menemukan orang yang menyakiti dirinya sendiri (narkoba, bunuh diri, dst).
Tapi, kita tahu sendiri bagaimana kenyataannya.

Satu contoh lagi, … mm, atau mungkin saya cukupkan dulu sampai disini saja deh 🙂
Tapi silahkan saja jika ada yang ingin melanjutkan di komentar posting ini, tidak dilarang lho.

OK, posting ini kemungkinan akan menjadi rujukan bagi banyak posting saya selanjutnya di masa depan…

28 thoughts on “Fallacy : “XXX sudah dewasa, maka dia sudah tahu mana yang terbaik untuknya”

  1. Maksud Pak Harry baik, saya setuju dengan maksud baik Pak. Tapi saya kuatir Pak jatuh ke fallacy yang lain 🙂

    Pertanyaannya terus jadi gini Pak: siapa yang tahu mana yang terbaik untuknya (nya = siapapun)?

    Rasanya kita terus jadi menempatkan diri sebagai ‘orang yang tahu yang terbaik untuk dia (dia = siapapun)’. Apakah betul demikian Pak?

  2. Saya kira pernyataan ini:
    “XXX sudah dewasa, maka dia sudah tahu mana yang terbaik untuknya” adalah definisi dewasa. Definisi harus selalu (dianggap) benar.

    Dan konvers dari definisi diatas, “XXX tidak tahu mana yang terbaik untuknya, maka dia belum dewasa”, juga harus benar.

    Oleh karena itu, ketika kita jumpai orang yang menyakiti dirinya sendiri (narkoba, bunuh diri, dst), bukan menentang definisi tersebut, tetapi menyimpulkan bahwa pelakunya adalah tidak atau belum dewasa.

    Ketika kita jumpai bahwa masyarakat masih menyukai tontonan picisan (buat yang belum dewasa), kesimpulannya adalah masyarakat kita belum dewasa.

    dst.

    Selanjutnya, apakah karena belum ‘dewasa’ jadi tidak layak dihukum? Menurut saya sih, hukuman bisa membantu untuk menjadikan seseorang dewasa. Jadi kalau usia sudah di atas batas tertentu (misal 17) belum juga dewasa, sepantasnya mendapatkan hukuman.

  3. @Albert – wah, saya tidak berani sampai kesitu. Itu sudah “slippery slope”, terutama ketika entitas seperti pemerintah sudah merasa sebagai pemegang absolut kebenaran. CMIIW 🙂
    .
    Concern saya adalah selama ini saya sudah terlalu sering menemukan orang-orang yang berargumentasi, untuk hal-hal yang penting, seperti ini, padahal secara logika keliru.
    Itu saja.
    .
    Tapi kalau tetap ditanyakan (siapa yang tahu yang terbaik bagi XXX); jawabannya secara garis besar mungkin bisa dibagi 2. Bagi yang percaya adanya Tuhan, maka Tuhan lah yang, secara absolut, tahu mana yang terbaik bagi kita.
    .
    Karena absolut, jadi mempermudah sangat banyak masalah.
    Tapi kemudian ada potensi masalah yaitu penafsirannya (sabda Tuhan); namun saya kira ini sudah topik yang berbeda.
    .
    Bagi yang tidak percaya Tuhan, mungkin mereka akan merefer ke entitas yang lebih bijaksana dari mereka (orang tua, tetua, dst); namun mungkin tidak ada yang bisa absolut.

  4. @DiN – “XXX sudah dewasa, maka dia sudah tahu mana yang terbaik untuknya” adalah definisi dewasa. Definisi harus selalu (dianggap) benar.
    .
    Menarik sekali… betul, definisi selalu benar. Kalau salah, maka tentu harus di definisikan ulang 🙂
    .
    Asumsi saya, “dewasa” diatas adalah secara mental, bukan secara fisik. Jadi bisa saja anak kecil disebut sudah dewasa.
    .
    Namun – definisi diatas bisa menjadi keliru ketika kita menyadari bahwa manusia ==/== sempurna. Atau, berarti tidak ada manusia yang sudah dewasa di muka bumi.
    Pick your choice: definisi keliru, atau tidak ada yang berhasil memenuhi definisi tsb?
    .
    Selanjutnya, apakah karena belum ‘dewasa’ jadi tidak layak dihukum? Menurut saya sih, hukuman bisa membantu untuk menjadikan seseorang dewasa. Jadi kalau usia sudah di atas batas tertentu (misal 17) belum juga dewasa, sepantasnya mendapatkan hukuman.
    .
    Nah ini kembali lagi, mengaitkan “kedewasaan” dengan fisik (umur) dong jadinya.
    .
    Salah satu potensi masalahnya adalah misalnya ketika ada “anak” (menurut definisi dewasa umur) yang melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh orang “dewasa” (contoh: menikah)
    Padahal secara fisik sendiri sang anak itu telah dewasa (organ reproduksinya sudah berfungsi baik) dan mentalnya juga sudah dewasa.
    .
    Kawan saya bercerita bahwa neneknya (di Inggris) dulu pada umur 13 tahun sudah melahirkan. Kalau ini terjadi sekarang, neneknya itu bisa-bisa dilecehkan oleh masyarakat habis-habisan.
    .
    Waduh saya malah jadi keasyikan diskusi, back to work ! 🙂

  5. Premis yang lebih tepat mungkin adalah, “XXX sudah dewasa, maka dia berhak memilih mana yang terbaik menurut dia.”

  6. Fallacy yang paling sering diucapin orang2 macam ini adalah kalimat “MUNAFIK”

    contoh :
    “Saya sih gak munafik ya, saya juga ikut2 buka website xxx”
    “Bukan seperti orang yang munafik, saya seperti orang normal yang kumpul kebo juga” (????)

    jadi zaman super edan begini kalimat munafik itu udah salah arti, yang disebut munafik itu malah orang2 alim, gak kumpul kebo, yang ngelarang2 majalah playboy, yang gak ikutan ngebor waktu inul masih ngetren

    padahal arti munafik yang bener itu orang yang gak bisa dipercaya, yang ngomongnya gak bener, yang suka lempar batu sembunyi tangan.
    cape deeeeh

  7. betul jika kata “bagi” di ganti dengan kata “menurut”.

    Tapi walaupun sudah tahu, secara sadar atau tidak sadar mereka bisa memilih yang lain, bukan yang terbaik malah bisa yang terburuk.

    Tugas kita semua untuk memperingatkan agar sadar atau agar kembali ke jalur yang “benar”

  8. Kalau merujuk pada ucapan di atas, seharusnya semua orang dewasa dijamin masuk surga
    hehehehehe… 🙂

  9. Kok baru tau ya kalo namanya Fallacy? *dasar kurang baca* :))
    Saya juga sering sih menemukan yang seperti ini, atau bahkan sebagai pelaku…*sigh*. Apakah itu berarti kurang “dewasa”? Hehe. Yang jelas, saya sering menemukan -atau melakukan- fallacy lebih sebagai pembelaan atau pembenaran?! Heu3x.

  10. Mengutip Mas Harry:

    Salah satu potensi masalahnya adalah misalnya ketika ada “anak” (menurut definisi dewasa umur) yang melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh orang “dewasa” (contoh: menikah)
    Padahal secara fisik sendiri sang anak itu telah dewasa (organ reproduksinya sudah berfungsi baik) dan mentalnya juga sudah dewasa.
    .
    Kawan saya bercerita bahwa neneknya (di Inggris) dulu pada umur 13 tahun sudah melahirkan. Kalau ini terjadi sekarang, neneknya itu bisa-bisa dilecehkan oleh masyarakat habis-habisan.

    – Soal pandangan thd perempuan yg hamil di usia 13 tahun, harus dilihat dari konteks sosial di waktu bersangkutan. Saat ini, anak usia 13 tahun seharusnya masih duduk di bangku SMP, dus, tidak ada untungnya untuk cepat2 menikah dan punya anak (anyway, pernikahan dibawah umur semacam ini masih sering terjadi di Indonesia).
    – Kalau akil balig yang dijadikan patokan dalam menentukan “kedewasaan” seseorang, maka akan terjadi ketimpangan. Perempuan bisa hamil di usia 13 tahun, tapi laki2 dalam usia sebegitu kemungkinan masih belum bisa “menghamili” perempuan :). Perempuan jadi cenderung harus bertanggung jawab secara hukum thd perbuatannya di usia yg lebih muda dari laki2. Kejadiannya bisa seperti di Iran (disana batas usia minimal seseorang bisa diadili sebagai “orang dewasa” adalah 9 tahun untuk perempuan dan 14 tahun untuk laki-laku!)
    – Kesepakatan saat ini, orang bisa dianggap dewasa secara mental apabila sudah melewati periode remaja (diatas usia 18 thn). Tentu saja ada anak yg secara mental lebih dewasa daripada usia sebenarnya, tapi ini adalah suatu anomali, dan anomali tidak bisa dijadikan ukuran dalam memandang seluruh persoalan (Kalau Bill Gates sukses setelah DO dari universitas, maka semua orang yg DO juga akan sukses -> ini juga fallacy)
    – Terakhir, kalau pernikahan di usia 13 tahun saat ini dianggap wajar, apakah hal semacam ini kalau terjadi sekarang juga bisa dianggap wajar?

  11. @dhani – Soal pandangan thd perempuan yg hamil di usia 13 tahun, harus dilihat dari konteks sosial di waktu bersangkutan. Saat ini, anak usia 13 tahun seharusnya masih duduk di bangku SMP, dus, tidak ada untungnya untuk cepat2 menikah dan punya anak (anyway, pernikahan dibawah umur semacam ini masih sering terjadi di Indonesia).
    .
    Ini salah satu concern saya juga — kadang kita kalau melihat ada yang berbeda, maka langsung dihakimi “salah!”.
    .
    Padahal pada konteks mereka mungkin ini sangat baik & malah vital bagi survival mereka.
    .
    Kita mungkin masih ingat pameo lama “banyak anak banyak rezeki”, karena pada masyarakat agraris, makin banyak anak == makin banyak yang bisa digarap == makin makmur.
    Dan menikah dini adalah salah satu cara juga untuk mencapai ini.
    .
    Tapi karena berbeda dengan kita, maka langsung divonis “salah”. Padahal, dan yang paling utama, dalam agama kita sendiri ini adalah halal.
    .
    – Kalau akil balig yang dijadikan patokan dalam menentukan “kedewasaan” seseorang, maka akan terjadi ketimpangan. Perempuan bisa hamil di usia 13 tahun, tapi laki2 dalam usia sebegitu kemungkinan masih belum bisa “menghamili” perempuan :).
    .
    Hehe… kalau konteks zaman dahulu, memang lazimnya usia laki-laki JAUH lebih tua dari mempelai wanitanya. Ayah saya saja 10 tahun lebih tua daripada ibu saya.
    .
    Perempuan jadi cenderung harus bertanggung jawab secara hukum thd perbuatannya di usia yg lebih muda dari laki2. Kejadiannya bisa seperti di Iran (disana batas usia minimal seseorang bisa diadili sebagai “orang dewasa” adalah 9 tahun untuk perempuan dan 14 tahun untuk laki-laku!)
    .
    Hm, dipatok umur juga ya. Padahal kalau mereka mengaku menggunakan hukum Islam, tentu tidak begitu.
    .
    – Kesepakatan saat ini, orang bisa dianggap dewasa secara mental apabila sudah melewati periode remaja (diatas usia 18 thn). Tentu saja ada anak yg secara mental lebih dewasa daripada usia sebenarnya, tapi ini adalah suatu anomali, dan anomali tidak bisa dijadikan ukuran dalam memandang seluruh persoalan (Kalau Bill Gates sukses setelah DO dari universitas, maka semua orang yg DO juga akan sukses -> ini juga fallacy)
    .
    Lalu kenapa zaman dahulu bisa “anak kecil” sudah dewasa pada umur yang, well, masih kecil ? Pernahkah kita memikirkan ini ?
    .
    Kesimpulan saya sejauh ini; berbagai sistem di masyarakat kita cenderung melenakan. (pembahasannya secara komprehensif bisa jadi buku tersendiri saya kira).
    Akibatnya, banyak anak-anak kita yang tidak pernah menjadi dewasa. Hanya badannya, namun pikirannya terjebak di masa kanak-kanak.
    .
    Akibatnya sungguh membuat kita sedih. Sudah umur 35 tahun, tapi masih serba gamang dalam meniti hidup. Belum tahu apa tujuan dia hidup.
    Nanti umur 40 tahun menikah, lalu ketika anaknya baru besar, dia sudah setua kakeknya dulu.
    Putuslah komunikasi dengan anaknya, karena dia sudah tidak “nyambung” lagi. Badan juga sudah tidak kuat, dan tidak lama kemudian tibalah dia pada umur pensiun. Sedangkan anak-anaknya masih kecil-kecil dan sekolah, serta masih butuh dukungan dari dia.
    Kacau balau semuanya.
    .
    Sounds familiar ?
    .
    Situasi saat ini sudah sangat tidak beres.
    .
    – Terakhir, kalau pernikahan di usia 13 tahun saat ini dianggap wajar, apakah hal semacam ini kalau terjadi sekarang juga bisa dianggap wajar?
    .
    Ini enggak benar dong; ybs kan cacat mental. Biasanya orang cacat mental itu bebas dari hukuman, dan dirawat oleh negara.
    .
    Namun kalaupun ybs waras, kita musti coba melihat situasi ini secara jernih, tidak emosional (protes: dia kan masih kecil ! jawab: kecil menurut definisi yang mana ? dst)
    Kalau kita mengaku beragama Islam, tentu kita ikuti patokannya dari situ.
    .
    Anyway, saya sendiri pada saat ini berusaha keras mendidik agar anak-anak saya bisa memahami dunia nyata dengan baik, dst. Tapi, saya perhatikan bahwa usaha ini terhalang oleh sistim pendidikan di sekolah.
    Sisitim pendidikan yang ada pada saat ini **sangat** memutuskan anak didik dengan dunia nyata. Mungkin kita masih ingat dulu kita bertanya-tanya “buat apa sih saya belajar rumus xxxxx ?? wong minat & bakat saya ada di bidang seni rupa, dst”, dan Indonesia juga termasuk negara yang kurikulum pendidikannya paling berat di dunia.
    .
    Rencananya nanti anak-anak saya waktu SMP akan saya homeschooling, sehingga mereka bisa lebih nyambung dengan dunia di sekitar mereka. Jangan sampai dunia mereka hanya sekolah — dan lalu ketika lulus kuliah baru mereka terhenyak (seperti saya dulu), karena dunia yang nyata ternyata sangat, amat berbeda.

  12. @adityo – dewasa berarti harus mau bertanggung jawab dengan keputusan yang dia ambil
    .
    Saya kira inilah esensi makna dari kata “dewasa” 🙂
    Setuju sekali.

  13. Dalam banyak hal saya sepakat dengan mas Harry, tapi ada beberapa hal yang saya rasa biarpun kita tidak sepakat, tapi perlu saya beri penegasan lagi:

    Hm, dipatok umur juga ya. Padahal kalau mereka mengaku menggunakan hukum Islam, tentu tidak begitu.

    Patokan umur itu disesuaikan dg rata2 usia saat memasuki masa akil balig, jadi patokannya tetap saja hukum Islam. Yang menurut saya “berbahaya”, adalah karena saat ini ada kecenderungan anak2 memasuki masa akil balig lebih awal dibandingkan kita2 dulu – bisa jadi karena asupan gizi yg lebih baik atau krn rangsangan dari lingkungan sekitar. Kalau sudah begini, kasihan anak2 itu (terutama yg perempuan) karena harus diperlakukan selayaknya orang dewasa sebelum waktunya.

    Lalu kenapa zaman dahulu bisa “anak kecil” sudah dewasa pada umur yang, well, masih kecil ? Pernhkah kita memikirkan ini ?

    Saya kira di setiap jaman hal semacam ini selalu ada. Sekarang ini juga banyak anak kecil yg kemampuannya di satu bidang jauh diatas rata2 orang dewasa, entah dalam seni, sains, olah raga atau apa saja. Tapi perlu diingat kalau kedewasaan mereka dalam satu bidang tidak menjamin bahwa mereka sudah sepenuhnya dewasa. Anak2 yg dilatih untuk menghadapi Olimpiade Fisika memang kelihatan dewasa kalau sedang mengerjakan soal2 fisika tingkat universitas, tapi lepas dari soal fisika, mereka tetap saja bertingkah sebagaimana ABG pada umumnya. Mozart sudah bisa menulis simfoni sendiri di usia 7 tahun, tapi masih suka bandel, termasuk menulis komposisi yang isinya menyindir ayahnya sendiri :).

    Sebenarnya mengukur kedewasaan mental seseorang juga merupakan dasar test IQ yg kita kenal saat ini. Pada mulanya, test IQ ditujukan untuk mengetahui perbandingan usia mental dengan usia kronologis (umur) seseorang. Anak usia 10 tahun dg IQ 120 artinya bahwa dalam usia sedemikian ia telah memiliki kapasitas mental setara anak usia 12 tahun. Kenyataannya, dari dulu sampai sekarang angka yang dianggap normal (mayoritas) masih berkisar 100, artinya usia mental subjek setara dengan usia kronologisnya. Coba saja dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/IQ. (tolong jangan dibawa keluar konteks dg membahas soal relevansi test IQ, karena test IQ yg sekarang memang sudah banyak berubah, baik dari segi metodologi maupun peruntukannya).

    Ini enggak benar dong; ybs kan cacat mental. Biasanya orang cacat mental itu bebas dari hukuman, dan dirawat oleh negara.
    .
    Namun kalaupun ybs waras, kita musti coba melihat situasi ini secara jernih, tidak emosional (protes: dia kan masih kecil ! jawab: kecil menurut definisi yang mana ? dst)
    Kalau kita mengaku beragama Islam, tentu kita ikuti patokannya dari situ.

    Cerita sebenarnya, ybs bukannya cacat mental dalam artian idiot atau semacamnya, tapi hanya karena ybs sudah ditelantarkan oleh orangtuanya sejak kecil. Karena tidak pernah menjalani kehidupan normal, akhirnya tingkah lakunya juga jadi tidak normal.

    Kasus ini pernah dijadikan rujukan dalam diskusi serupa di AS soal tuntutan pidana bagi terdakwa yg belum dewasa (debatnya waktu itu lumayan seru, termasuk dg argumen2 yg mirip seperti yg diajukan mas Harry – dewasa dari sisi mana dulu?). Tapi akhirnya thn 2005 Mahkamah Agung AS menetapkan bahwa anak dibawah usia 18 tahun tidak bisa diadili dan dipidana selayaknya orang dewasa. Fyi, dalam mengambil keputusan ini AS termasuk terlambat dibandingkan negara2 lain, termasuk Indonesia.

    Nah, kalau Indonesia mau menerapkan definisi dewasa versi kita sendiri itu berarti langkah mundur. Siap-siap saja untuk disejajarkan dengan AS dan Somalia – 2 negara yang sama2 masih belum mau meratifikasi konvensi Jenewa thn 1989. O ya, sepertinya hal ini pernah saya diskusikan juga dengan mas Harry di sini.

  14. Saya kira di setiap jaman hal semacam ini selalu ada. Sekarang ini juga banyak anak kecil yg kemampuannya di satu bidang jauh diatas rata2 orang dewasa, entah dalam seni, sains, olah raga atau apa saja. Tapi perlu diingat kalau kedewasaan mereka dalam satu bidang tidak menjamin bahwa mereka sudah sepenuhnya dewasa.
    .
    Dan tidak hanya pada “anak kecil” saja 🙂 Saya juga sering bertemu dengan orang dewasa (malah orang tua) yang matang untuk satu topik. Namun dalam bersosialisasi bisa luar biasa kekanak-kanakannya. (ada yang ngambekan segala, duh… padahal cukup umur untuk menjadi paman saya)
    .
    tolong jangan dibawa keluar konteks dg membahas soal relevansi test IQ, karena test IQ yg sekarang memang sudah banyak berubah, baik dari segi metodologi maupun peruntukannya
    .
    Betul, untuk pengukuran tingkat kematangan sosial seseorang, EQ / Social IQ saya kira jauh lebih relevan.
    .
    Nah, kalau Indonesia mau menerapkan definisi dewasa versi kita sendiri itu berarti langkah mundur.
    .
    Definisi maju/mundur setiap orang bisa berbeda-beda saya kira.
    .
    Mudah-mudahan kita tidak sampai terjebak misalnya melabeli orang yang berbeda dengan kita sebagai “mundur”.
    .
    Yang menurut saya “berbahaya”, adalah karena saat ini ada kecenderungan anak2 memasuki masa akil balig lebih awal dibandingkan kita2 dulu – bisa jadi karena asupan gizi yg lebih baik atau krn rangsangan dari lingkungan sekitar.
    .
    Nah, ini poin yang sangat valid.
    Zaman sekarang memang banyak yang akil balig lebih awal daripada normalnya, terutama saya kira karena banyaknya zat-zat hormon pertumbuhan yang dikonsumsi anak-anak (terutama melalui dairy products; sapi/susu sapi/ayam/dst yang sudah disuntik hormon agar cepat besar == cepat bisa “dipanen”)
    .
    Sehingga kadang pikirannya masih anak kecil sekali, secara umur juga masih kecil; namun sudah haid / mimpi basah.
    .
    Ini masalah yang cukup serius. Dan tidak ada jawaban yang mudah, karena terkait dengan sangat banyak pihak (peternak, pemerintah, ulama, keluarga, dst).
    Tapi saya kira kita semua sepakat bahwa anak-anak adalah korban dalam kasus seperti ini.
    .
    Anyway, dalam semua diskusi ini (termasuk diskusi kita yang sebelumnya), saya belum sebutkan sepertinya tapi pendapat saya hukum tidak boleh diaplikasikan secara buta.
    Walaupun hukumnya generik, namun pengaplikasiannya untuk setiap individu perlu pertimbangan. Karena ini ada pengadilan, sehingga situasi setiap orang yang berbeda-beda bisa difaktorkan di dalam keputusan pengadilan.
    .
    Tapi memang susah kalau institusi pengadilannya sendiri tidak reliabel dalam kenyataannya, jadi untuk mempermudah diskusi kita asumsikan saja dalam semua diskusi ini bahwa institusi pengadilan dianggap reliabel. Atau silahkan jika ada ide lainnya.

  15. Ada lagi… Kalau orang melihat peristiwa tertentu, spt pemblokiran fitna, pornografi, korupsi anggota dpr dll – banyak sekali yang berpendapat, “Ah, semua kembali ke diri masing-masing.” Ini juga nggak logis. Lha, kembali ke diri sendiri itu adalah premis awal diri kita. Tidak bisa dijadikan alasan, karena itu sudah dilakukan oleh semua orang sebelum peristiwa itu terjadi. Nggak ada maknanya kalau kita bilang, “Semua kembali ke diri kita masing-masing”…. Lebih banyak, istilah itu hanya pembenaran / justifikasi dari ketidakmampuan mengambil tindakan, justifikasi dari ketidakmampuan (atau ketidakmauan) bersikap. Intinya, justifikasi dari sikap status quo. Padahal, secara fitrah, kita dituntut utk terus melakukan perubahan (kalau berhasil dapet pahala 2, kalau salah, ya 1).

    Mungkin lebih tepat, kalau kita ucapkan, “Saya no-comment dulu deh, ilmunya belum nyampe…” 🙂

  16. Padahal, secara fitrah, kita dituntut utk terus melakukan perubahan
    .
    Wah ini keren banget 🙂 nanti saya kutip dimana-mana yaa.
    .
    Ya, seseorang yang sudah tidak lagi berusaha berubah ke kebaikan itu seperti air yang diam; makin lama akan makin membusuk.
    .
    “Saya no-comment dulu deh, ilmunya belum nyampe…”
    .
    Setuju, atau, “no comment dulu, saya akan coba pelajari dulu ya”.

  17. humm bagus juga tulisannya … cuman ukuran kebenaran sebenarnya sudah ada …

    sebagai seorang muslim .. maka kita harus kembalikan semua permasalahan kepada AL QUr’an wa Sunnah .. dan dipahami dengan pemahaman generasi terbaik yang paham akan agam islam ini .. 🙂

    so kalo seornag dibilang sudah dewasa .. dalam hadits istilahnya ba’ah .. maka memang dianjurkan menikah .. 🙂

    so meski gadis umur 13 tahun .. daripada timbul hal2x yang mudhorot .. maka memang lebih baik dinikahkan .. 🙂

    bukankah sudah ada contoh dari Rasulullah .. 🙂

    Salam mas .. tambah bagus aja rek tema tulisannya .. 🙂 ajarin dong mas .. 😀

  18. well nambah lagi mas .. baru kepikiran 😀
    ini cuma pengalaman aja … keponakanistriku yang masih berumur 6 tahun .. meski sering nggak suka pakai baju kalo sesudah mandi .. tapi pemikirannya kadang menakutkan .. masak ada orang berduaan di kamar di intip .. 😀 ..
    dah gitu sekarang di dukung televisi dan kurangnya perhatian orang sekitar akhirnya .. kesukaannya kalo malem nonton Sinetron .. dari yang berjudul “Suci” atau yang lainnya .. 🙁
    kalo di matiin protes dah .. 🙁
    kalo siang sih mainnya sama anak sebayanya .. tapi nggak tahu mainannya apa .. cuman menakutkan kalo tiba2x muncul hal2x yang diluar dugaan yang sebenarnya kita pikir lom terpikirkan oleh anak kecil .. hiiii ..

  19. Setuju dengan Bung Albert. Kategori dewasa bisa dilihat dari 2 sisi: (i) usia; (ii) mental/psikis. Dalam hukum, katakanlah di bidang tenaga kerja, dikatakan dewasa jika telah berumur 16 tahun atau lebih, demikian pun uu perkawinan. Demikian pun seorang yg telah berusia 17 tahun berhak untuk membuat KTP, SIM, termasuk nonton film2 syurr.
    Jadi, kita gak punya hak ‘menjadi hakim’ menilai apakah seorang udah dewasa untuk melakukan hal tertentu. Gunakan patokan yang umum saja. Misal sudah 17 tahun harus dianggap telah memiliki kematangan untuk menonton film hot misalnya, atau ikut pemilu, dan sebagainya..

  20. tepatkah menggunakan istilah fallacy untuk sebuah kebijakan publik???sedangkan manusia itu tidak hanya terdiri atas rasio semata. yang artinya sebuah statment untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan tingkah laku manusia tidak hanya mempertimbangkan sisi rasionalitas, namun juga sisi naluri, rasa, efektifitas kata2, sebab mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap sebuah penyampaian maksud.

    mungkin istilah fallacy lebih nyaman terdengar dalam atmosphere penelitian (sebuah hipotesa misalnya), ruang sidang terdakwa kasus korupsi atau pembunuhan, yang membutuhkan data dan fakta2 sebagai hakim tertingginya :D:D:D bukan berarti saya menganggap halal fallacy.
    sekedar ingin menempatkanya di tempat ternyaman :D:D:D

  21. dewasa itu mengajar kita untuk berfikir lebih matang,,
    baik dan buruk itu datang dari sendiri,,
    sebagai remaja yang menginjak dewasa,
    tak boleh culas dalam mengambil tindakan,
    kerana apa yang kita lakukan memberi effect kepada sekeliling juga.
    terlalu banyak orang dewasa yang silap kala ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *