Sebagai bantahan klaim dari Luthfi Assyaukanie, berikut saya postingkan bagian kedua (terakhir) dari artikel Fahmi Salim.
Semoga bermanfaat.
II.c. Kompilasi Alquran Masa ‘Utsmân ra.
Penjelasan tradisional tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Alquran, menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan serius qiraat terdapat dalam salinan-salinan Alquran yang ada pada masa ‘Utsmân ra. di berbagai wilayah. Dikisahkan bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Alquran muncul di kalangan tentara muslim yang direkrut dari Syiria (mengacu kepada qiraat Ubay) dan sebagian lagi dari Irak (mengacu kepada qiraat Ibnu Mas’ûd). Perselisihan ini muncul serius hingga menyebabkan pimpinan tentara muslim—Hudzayfah—melaporkannya kepada Khalifah ‘Utsmân sambil mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan bacaan tersebut. Khalifah lalu berembug dengan sahabat senior dan akhirnya menugaskan Zayd ibn Tsâbit menyalin Alquran. Bersama Zayd ditunjuk ‘Abd Allâh ibn al-Zubair, Sa’îd ibn al-‘Ash dan ‘Abd al-Rahmân ibn al-Hârits untuk menyalin naskah Abû Bakr ke dalam beberapa mushaf. Satu prinsip yang harus mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy harus dijadikan pilihan.
Keseluruhan Alquran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan shuhuf Abû Bakr yang disimpan oleh Hafshah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Alquran selesai dikerjakan. Dengan demikian suatu naskah otoritatif Alquran telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan disebarkan ke pusat-pusat utama daerah Islam. Salinan-salinan Alquran yang ada sebelumnya diperintahkan khalifah untuk dimusnahkan.
Dari informasi tersebut kita bisa menarik beberapa keterangan berharga, di antaranya:
a. Bahwa alasan utama dalam perintah penyalinan shuhuf Abû Bakr kedalam beberapa mushaf yang resmi dan teratur urutan ayat beserta surahnya seperti sekarang, adalah perbedaan dalam qiraat, sehingga tidak beralasan pendapat R. Blachere yang mengatakan bahwa hal itu didorong oleh ‘watak ‘Utsmân yang aristokrat’.17
b. Panitia yang ditugaskan menyalin naskah tersebut beranggotakan empat orang sahabat senior. Inilah yang disepakati berdasar riwayat yang sahih. Anehnya Ibnu Abî Dâwud, penyusun kitab al-Mashâhif—karena kegemarannya menyebut aneka riwayat dalam satu tema walaupun tampak kacau—menyebut panitia-panitia lain semisal “Panitia Dua” (terdiri dari Zayd ibn Tsâbit dan Sa’îd ibn al-‘Ash) dan “Panitia Dua Belas” yang menjadi bahan kritikan para Orientalis semisal F. Schwally dan R. Blachere.
c. Panitia empat diatas mulai menyalin naskah pada tahun 25 H, bukan pada tahun 30 H sebagaimana yang diyakini sarjana-sarjana Barat dan sebagian kecil sarjana muslim semisal Dr. ‘Abd al-Shabûr Syâhîn.18 Karena menurut bukti sejarah, pembebasan Armenia terjadi pada tahun 24 H sebagaimana yang ditarjih oleh Ibnu Hajar, seorang pakar sejarah dan kritikus hadis terkemuka. Dengan demikian, pendapat R. Blachere bahwa keikutsertaan Sa’îd ibn al-‘Ash dalam panitia empat itu hanya sebatas anggota kehormatan bukan teknis (karena ia telah menjadi wali kota Kufah pada tahun 30 H), tidaklah benar. Dengan selesainya penyalinan naskah asli, shuhuf Hafshah dikembalikan, sedangkan salinan-salinan baru tersebut telah dijilid dan disebarkan ke beberapa daerah.
Dari paparan di atas, akan timbul sebuah pertanyaan; jika prakarsa ‘Utsmân hanya sebatas menyalin, maka kita tentu berhak bertanya akan arti pentingnya penyalinan tersebut dari aspek bacaan. Nah, untuk memahami target kompilasi ‘Utsmân dengan baik kita akan berbicara surut ke belakang pada masa pengumpulan Abû Bakr yang kemudian diteruskan oleh ‘Umar yang mana pada saat itu belum dibutuhkan adanya penyeragaman naskah Alquran berikut sosialisasinya. Hal itu disebabkan oleh karena pelancongan para sahabat penghafal Alquran ke daerah relatif terbatas, dan perselisihan dalam bacaan Alquran sebagaimana yang terjadi pada masa ‘Utsmân, belum muncul. Maka tatkala perselisihan itu muncul ke permukaan, ‘Utsmân yang didukung oleh para sahabat Nabi, berinisiatif menyebarkan mushaf resmi dalam skala masif. Di samping itu tujuan lain dari kompilasi ‘Utsmân telah terpenuhi dengan adanya penyeragaman bacaan di antara sekian banyak qiraat yang banyak digunakan di daerah-daerah, sehingga dapat mencegah terjadinya perpecahan yang mengancam integritas umat. Artinya ‘Utsmân hanya meneruskan tradisi penyebaran teks Alquran dengan dialek Quraisy yang telah dilakukan oleh Abû Bakr dan ‘Umar.19
Untuk mendukung langkah-langkah ke arah itu, khalifah ‘Utsmân dikabarkan mengutus beberapa pakar qiraat (muqri`) beserta mushaf-mushaf resmi yang telah disebarkan. Tercatat bahwa Zayd ibn Tsâbit sebagai muqri` mushaf Madinah, ‘Abd Allâh ibn al-Sâ’ib sebagai muqri` mushaf Mekah, al-Mughîroh ibn Syihâb al-Makhzûmi sebagai muqri` mushaf Syiria, Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulami sebagai muqri` Kufah dan ‘Âmir ibn ‘Abd al-Qays sebagai muqri` Basrah. Selain itu beliau memerintahkan untuk membakar naskah-naskah yang ditulis sebagian sahabat dan pengikutnya. Semuanya mematuhi langkah-langkah tersebut kecuali ‘Abd Allâh ibn Mas’ûd.
II.c.1. Sikap Ibnu Mas’ûd terhadap Kompilasi ‘Utsmân
Dikisahkan bahwa Ibnu Mas’ûd menentang proyek ‘Utsmân dengan menolak perintah membakar mushafnya dan menyuruh para pengikutnya untuk tetap berpegang teguh kepada mushafnya sambil berkata, “Bagaimana mungkin kalian menyuruhku membaca qiraat Zayd. Ketika Zayd masih kecil bermain dengan kawan sebayanya saya telah menghafal lebih dari tujuh puluh surah langsung dari lisan Rasulullah. Demi Allah tidaklah wahyu turun kecuali saya tahu dimana tempatnya, tiada yang lebih tahu mengenai Kitabullah lebih dari diriku, walaupun aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Sekiranya aku mengetahui ada seseorang yang lebih tahu mengenai Kitabullah dariku, walaupun harus melalui perjalanan unta, niscaya akan kutemui dia”. Dalam riwayat lain ia mengatakan, “Wahai segenap kaum muslim, bagaimana mungkin saya disingkirkan dari panitia pengumpulan yang diketuai oleh seorang yang demi Allah, ia masih dalam sulbi orang kafir ketika saya memeluk Islam”. Kesemuanya mengindikasikan adanya bukti yang mencoreng konsensus para sahabat akan keabsahan naskah tersebut. Yang ada hanyalah bahwa memang terdapat bacaan-bacaan tidak resmi yang diyakini bersumber dari Nabi saw. dan tidak dikuatkan oleh bukti fisik yang mendukung bacaan tersebut. Hal ini tetap dipelihara tanpa harus mengalahkan bacaan-bacaan formal yang telah menjadi konsensus.20
Ketersinggungan Ibnu Mas’ûd dan kemarahan beliau adalah wajar, karena beliau selain sahabat senior yang disingkirkan dari kepanitian, juga dipaksa menyerahkan mushafnya untuk dimusnahkan. Akan tetapi kemarahan sementara itu tidak beralasan karena beliau sedang berada dalam tugas-tugas resmi di Irak. Dan tidak mungkin menunda penyalinan Alquran hanya untuk menunggu kepulangannya. Sementara di kalangan sahabat di Madinah masih banyak yang memiliki dokumen-dokumen yang absah. Syukurlah kemudian beliau merevisi sikapnya, karena setelah tahu bahwa sikapnya itu hanyalah syubhat belaka dan Zayd tidak bekerja sendirian dalam komisi tersebut melainkan dibantu sahabat-sahabat lain, beliau akhirnya merubah sikap dan menyetujui langkah-langkah ‘Utsmân dengan tulus hati demi menjaga keutuhan umat. Dengan demikian, berakhirlah kontroversi seputar mushaf, sehingga konon orang-orang ramai berkumpul ketika ‘Utsmân membakar mushaf dan tidak ada di antara hadirin yang menentangnya, sebagaimana diungkapkan oleh Mush’ab ibn Sa’dah.
Di antara beberapa spesifikasi pengumpulan ‘Utsmân adalah sebagai berikut:
a. Ditulis dengan satu dialek saja yaitu dialek Quraisy
b. Hanya menerima bacaan yang mutawatir dan diterima secara otentik pada detik-detik akhir kehidupan Rasul. Yang artinya mengeliminir bacaan âhâd dan mansukh tilâwah.
c. Pengaturan nomor dan susunan surah seperti dikenal sekarang.
d. Menetralisir Alquran dari berbagai bentuk titik, baris dan tafsiran kosa-kata Alquran.
II. c.2. Sikap Syi’ah terhadap Mushaf ‘Utsmâni
Meski sering mendengar tuduhan kelompok Syi’ah bahwa teks Alquran telah mengalami distorsi, terutama yang menyangkut ‘Alî kw. dan Ahlulbait, bagaimanapun juga mushaf ‘Utsmâni merupakan satu-satunya naskah yang beredar di dunia Islam termasuk di kalangan Syi’ah, sebagaimana pendapat Abî Ja’far al-Umm yang mewakili sekte Syî‘ah Imâmiyyah yang terkenal paling radikal, yang mengatakan, “Keyakinan kami tentang Alquran yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad adalah semua yang termuat dalam naskah yang beredar, tak lebih dari itu yang jumlah surahnya mencapai 114 surah dalam hitungan umum walaupun menurut kami surah al-Dluha dan al-Insyirâh merupakan satu surah demikian pula al-Fîl dan al-Quraisy, juga al-Anfal dan al-Tawbah. Oleh sebab itu, siapapun ang menisbatkan kepada kami keyakinan bahwa Alquran lebih dari itu adalah pendusta”. Atas dasar itu pula Sir William Muir dalam The Live of Muhammed setelah memperhatikan bahwa ada satu naskah otentik yang dipegang oleh faksi-faksi Islam yang berseteru, mengatakan bahwa penggunaan yang kompak atas sebuah teks yang diterima semua pihak adalah argumen terbesar bagi keotentikan Alquran.
III. Unifikasi Alquran ala ‘Utsmân dan Problem Qiraat
Dengan proyek unifikasi naskah Alquran, khalifah ‘Utsmân tidak bermaksud seperti yang diyakini oleh sebagian orang, memberangus setiap perbedaan bacaan Alquran yang ditolelir oleh Nabi saw. Kita tidak yakin ‘Utsmân lebih konservatif dari Nabi dalam masalah ini. Bahkan mushaf beliau yang berupa “kerangka konsonantal” (suatu bentuk teks ketika titik-titik tertentu ditiadakan) menampung berbagai corak qiraat. Di samping itu, beliau selalu menjelaskan bacaan-bacaan yang dikenal oleh teks pada setiap kesempatan dimana rasm tidak mampu memuatnya, kecuali hanya satu jenis bacaan. Misalnya kita melihat kata ãÓíØÑ yang ditulis dengan Ó di atasnya diberi tanda huruf Õ atau sebaliknya dan contoh-contoh lain yang dapat dilihat dalam buku-buku qiraat. Hal itu tidak berarti cetakan ‘Utsmânî, terlebih yang asli, menampung semua model qiraat yang pernah diajarkan Nabi yang kemudian poluler dengan Ahruf Sab’ah. Karena cetakan tersebut selain mengandung secara riil bacaan-bacaan yang disepakati sesuai ‘urdlah akhîrah (bacaan akhir yang diterima Rasul dari Jibril as. secara otentik), juga menyingkirkan setiap model bacaan âhâd yang tidak memenuhi syarat tertentu.
Penyeleksian tersebut tidak berarti membredel qiraat-qiraat yang ditransmisikan melalui tradisi oral, karena dengan begitu, akan membuka kesempatan bagi setiap orang yang meyakini bacaan tertentu yang bersumber dari Rasul secara bebas dan bertanggung jawab tanpa harus memaksa bacaannya kepada orang banyak. Sikap yang moderat dan masuk akal ini, tampak jelas dari jawaban ‘Utsmân kepada para pembangkangnya: “Adapun Alquran, saya tidak akan menghalangi kalian, hanya saja saya khawatir bila terjadi perpecahan di antara kalian (sebab perbedaan bacaan Alquran) dan silakan kalian membaca (Alquran) dengan harf yang menurut kalian mudah”. Bahkan sampai sekarang, karena kebebasan yang diberikan dan kebijaksanaan yang ambivalen tersebut, qiraat-qiraat âhâd masih terus dipelajari dipusat-pusat studi Ahlussunnah dalam kapasitasnya sebagai hadis âhâd, bukan Alquran.21 Dengan demikian, jargon-jargon yang diprovokasi kalangan Orientalis bahwa mushaf ‘Utsmânî hanyalah sebuah mushaf di antara sekian banyak mushaf yang menyainginya -karena sifatnya sebagai pendatang baru yang strukturnya terasa asing dari naskah-naskah tua dan sengaja dipaksakan sebagai basis utama karena “intervensi” Madinah-, sama sekali tidak berdasar.
Penyusun kitab al-Mashâhif sebagaimana dikutip oleh M. ‘Abd Allâh Dirâz, mencium adanya keraguan seputar qiraat-qiraat yang tidak resmi dan terakomodir dalam naskah ‘Utsmânî dari tiga aspek:
1. Keotentikan sanad, karena tidak jarang sebagian qiraat-qiraat itu dicurigai telah memasukkan sanad yang kuno agar memiliki pengaruh yang luas
2. Penetapan sumber, terbukti pada banyak kasus adanya kekacauan (idltirâb) dalam menyandangkan sanad kepada perawinya.
3. Kesesuaian format, sehingga amat sulit mengecek mana yang valid dari beberapa model bacaan yang dinisbatkan kepada seseorang qari`. Contohnya adalah mushaf Ibnu Mas’ûd, seperti yang pernah diamati oleh Ibnu Ishâq, dari beberapa naskah mushaf tersebut tidak ditemukan dua naskah yang sama persis. Demikian pula Ibnu al-Nadîm dalam al-Fihritsnya bahwa ia melihat sebuah salinan mushaf Ibnu Mas’ûd yang terdapat di dalamnya, surah al-Fâtihah berbeda dengan keyakinan sementara orang bahwa beliau tidak mencantumkannya dalam mushafnya.22
Fakta-fakta di atas sengaja penulis kemukakan agar kita bertambah yakin bahwa satu-satunya naskah Alquran yang otentik adalah naskah ‘Utsmânî yang berasal dari kumpulan Abû Bakr ra. Dan naskah Abû Bakr itu pulalah yang ditulis di hadapan dan atas perintah Nabi saw. Dengan demikian, bukti-bukti historis telah gamblang bahwa Alquran yang kita baca sekarang ini adalah juga yang dibaca Rasul dan para sahabatnya.
IV. Beberapa Keraguan Seputar Pengumpulan Alquran
Proses pengumpulan dan penulisan Alquran bagi sementara kalangan Orientalis masih diliputi berbagai misteri dan syubhat di sekitarnya. Sebenarnya keraguan mereka bukan ‘temuan’ baru, karena sebenarnya apa yang mereka angkat telah disinggung oleh sarjana Islam klasik dan telah dijawab secara tuntas tanpa ada sedikitpun dalam benak mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu digunakan sebagai senjata untuk menyerang dan meruntuhkan otoritas Alquran. Tentu saja jawaban sarjana-sarjana kita tidak digubris oleh mereka. Argumen-argumen yang mereka pakai pada umumnya riwayat-riwayat yang tidak lolos seleksi, walaupun ada beberapa di antaranya yang akurat dan argumentatif, tetapi dalam pandangan para pakar memiliki jalan keluar alternatif yang benar dan dapat diterima, yang tentu saja mereka tidak peduli akan kepentingan untuk memberikan solusi-solusi itu.
Alquran, kata mereka telah mengalami penambahan terbukti dengan tidak dicantum-kannya surah al-Mu’awwidzatain dalam mushaf Ibnu Mas’ûd yang menurut sebuah riwayat, Ibnu Mas’ûd hanya mengatakan Nabi saw. cuma menyuruh kita untuk memohon perlindungan dengan al-Mu’awwidzatain. Riwayat tersebut menurut sarjana Islam tidak benar dan diduga keras palsu. Ibnu Hazm, sarjana besar Islam asal Andalusia, mendustakan orang yang menisbatkan perkataan tersebut kepada Ibnu Mas’ûd. Karena terbukti dalam qiraat Imam ‘Ashim (salah satu dari tujuh otoritas dalam transmisi qiraat yang mu’tabar) yang berasal dari Ibnu Mas’ûd terdapat bacaan al-Mu’awwidzatain dan al-Fâtihah.
Sebaliknya, menurut mereka telah terjadi pula kesengajaan menghapus beberapa bagian Alquran, karena konon Ubay ibn Ka’ab menulis dua surah yang dinamai al-Khul dan al-Hifd dalam mushafnya yang mana kedua surah tersebut berisi doa dengan redaksi berikut:
Ãááåã ÇäÇ äÓÊÚíäß æäÓÊåÏíß æäÓÊÛÝÑß æäÎáÚ æäÊÑß ãä íÝÌÑß….Ãááåã ÅíÇß äÚÈÏ æáß äÕáí æäÓÌÏ Çáíß äÓÚí æäÍÝÏ
Kita tidak percaya bahwa doa-doa tersebut adalah Alquran dan pencantumannya dalam mushaf Ubay tidak berarti adalah Alquran. Karena seperti yang kita ketahui, beberapa mushaf sahabat terbukti mengakomodir bacaan âhâd, ayat-ayat yang mansûkh tilâwah, beberapa tafsiran kosakata dan doa-doa ma`tsûr seperti dalam mushaf Ubay. Walaupun kita berspekulasi bahwa doa-doa itu adalah bagian Alquran tetap saja tidak bisa menandingi Alquran yang otentik dan mutawatir karena informasi Ubay hanya berada pada tingkatan âhâd.
Gaya Alquran, sebagaimana diamati para pakar, memang bermacam-macam tetapi hampir tidak ada yang keliru. Keseluruhan Alquran demikian jelas mencerminkan keseragaman, sehingga keraguan mengenai keasliannya sangat mustahil. Seorang sarjana Perancis, Silvestre de Sacy meragukan keaslian Q.s. 3:144 yang berbicara tentang kemungkinan wafatnya Nabi saw. dan dinyatakan dalam hadis bahwa ayat itulah yang dikutip oleh Abû Bakr ketika ‘Umar menolak mempercayai berita wafatnya Nabi. Gustav Weil kemudian memperluas keraguan ini ke bagian Alquran lainnya yang menyiratkan makna kemungkian wafatnya Nabi (Q.s. 3: 185, 21: 35, 29: 57, 39: 30). Menjawab tuduhan tersebut, banyak rekan sejawat mereka yang membantah pendapat ini. Richard Bell dalam Introduction to The Quran mengadvokasikan bahwa Abû Bakr tidak mungkin mereka-reka ayat itu pada kesempatan tersebut; tidak pula pernyataan bahwa ‘Umar dan kaum muslim lainnya belum pernah mendengar ayat semacam itu, dipertimbangkan dengan cermat. Menurutnya suatu ayat yang disampaikan pada suatu waktu dapat secara mudah dilupakan dengan berlalunya tahun demi tahun. Jika ayat itu benar-benar tidak selaras dengan konteknya, maka hal ini karena ia merupakan suatu ayat peralihan sebagaimana yang dikesankan oleh pengulangan ungkapan ‘rima-rima’ senada. Ayat tersebut cocok dengan situasi kesejarahannya, karena ia merupakan suatu rujukan yang disisipkan dalam suatu amanat yang disampaikan sebelum Uhud dan disampaikan ulang setelah kekalahan di Uhud untuk membantah kabar yang santer selama pertempuran dan tidak diragukan lagi, merupakan suatu faktor yang turut memberi sumbangan kepada gerak mundur tentara Islam yang morat-marit bahwa Nabi Muhammad saw. telah terbunuh. Tidak ada alasan untuk mempermasalahkan keaslian ayat yang demikian cocok dengan keadaan-keadaan langsung di sekitarnya sementara untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat itu begitu cocoknya dengan konteks yang betul-betul selaras dengan sisa keseluruhan Alquran. Menurutnya, segi manusiawi Nabi merupakan bagian kontroversi Muhammad dan musuh-musuhnya, yang mengeluarkannya dari Alquran sama saja dengan mengeluarkan beberapa bagian Alquran yang paling khas.23
Selain itu ditemukan pula sebuah riwayat yang mengindikasikan bahwa beberapa bagian Alquran telah hilang. Ibnu Abbâs dikabarkan mengatakan saya mendengar Rasulullah bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat, sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba”. Yang dalam riwayat lain ia berkata, “Saya tidak tahu apakah kalimat tersebut Alquran atau bukan?” Demikian pula dilaporkan bahwa Ubay bekata, “Kami menganggapnya Alquran sampai turun al-Hâkumuttakâtsur”. Sekali lagi riwayat-riwayat tersebut tidak menunjukkan bahwa kalimat-kalimat itu bagian dari Alquran, melainkan merupakan hadis qudsî karena kebiasaannya menyuruh kaum muslim untuk bersikap zuhud.
Sebenarnya masih banyak keraguan sarjana Barat yang tidak perlu kami kemukakan semuanya. Karena tulisan sederhana ini tidak berniat menggantikan karya-karya para pakar yang mengupas dan m2enelanjangi metodologi Orientalisme yang dibungkus dengan jargon-jargon ilmiah yang bombastis padahal sangat rapuh, tak ubahnya seperti yang dinyatakan dalam Q.s. 29:441 sebagai Bayt al-‘Ankabût. Karena pada hakekatnya “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, akan tetapi Allah enggan kecuali menyempurnakan cahayaNya walaupun orang-orang kafir dengki”. Wa mâ tawfîqî illâ bi-‘Llâh.
———————————
17 Shubhî al-Shâlih, op.cit., hlm. 79
18 ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, Târîkh al-Qur`ân, (Kairo: Ma’had al-Dirâsât al-Islâmiyyah, tt), Cet. I, hlm. 182
19 Ibid., hlm. 187-188
20 Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, op.cit., hlm. 49
21 Ibid., hlm. 44-45
22 Ibid., hlm. 47
23 Richard Bell, Pengantar Studi Alquran, edisi revisi W. Montgomery Watt, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), cet. II, hlm. 78-79
Mas, saya tertarik dengan pustaka maya ini. Bisa minta bantuan daftar milis yang Mas ikuti. Biar kami juga bisa menimba ilmu secara lebih luas. Jazakallah.
Silahkan mas, bisa mendaftar di:
http://milis.isnet.org/cgi-bin/mailman/listinfo/is-lam
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Perkenalkan nama saya Yudhie, tinggal di Sydney. Maaf sebelumnya, kalau tidak keberatan bolehkah kiranya saya dikirimi artikel aslinya? Tadinya saya ingin copy paste dari sini, tapi beberapa huruf tidak jelas. Mungkin aslinya lebih jelas? Mohon maaf kalau merepotkan. JazakumuLlah khair.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Maaf ketinggalan, tentunya beserta bagian pertamanya… ^_^ … Mohon maaf sekali lagi… JazakaLlah khair…
sangat bagus sekali dengan teman kita yang satu ini, terus lah berjuang untuk agama sialam yang saat ini di Indonesia telah banyak mengalami erosi terutama dari temen2 kita sendiri yang perlu disyahadatkan kembali, dan ana yakin mereka itu adalah temen2 kita juga yang pernah belajar di tempat yang sama (pesantren), jadi tolong mas fahmi beri mereka reason yang jelas agar mereka kembali memperjuangkan Islam bukan mengkebiri Islam dengan pendapat mereka yang nyeleneh. makasih
VLC Converter is so far the most easy-to-use conversion program to convert vlc files with super speed and lossless quality. If you happenly want to convert vlc files, I strongly recommend you this powerful VLC converter.
If you need a VLC to MP3 converter, I strongly recommend you this powerful VLC to MP3 converter which can extract audio from vlc files and convert to audio formats like mp3, wma, wav, etc.
vlc to dvd Creator is an easy-to-use DVD authoring software and the best VLC to DVD converter to convert VLC to DVD, burn DVD disc, DVD folder and ISO file from all popular media formats like MP4, AVI, WMV, MOV, MPG, MPEG, DAT, MKV, FLV etc.
The almighty vlc to mp4 converter is specially designed for VLC users to convert vlc to mp4 and other video and audio formats like avi, wmv, mpeg, mpg, flv, mkv, mp3, wma, wav, etc with super speed and lossless quality.