Fahmi Salim: Al-Quran tetap terjaga keasliannya – bagian pertama

Sebagai bantahan klaim dari Luthfi Assyaukanie, berikut saya postingkan bagian pertama dari artikel Fahmi Salim.

Semoga bermanfaat.


SEJARAH OTENTIKASI AL-QURAN; TINJAUAN KESARJANAAN MUSLIM DAN ORIENTALIS

by: Fahmi Salim

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran dan Kami pulalah yang akan memeliharanya”
(Q.s. 15:9)

Awwalan

Alquran memperkenalkan dirinya dengan beberapa ciri dan sifat. Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT. Dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara, sebagaimana tersurah dalam ayat Alquran sebagaimana yang dikutip di atas. Demikianlah Allah menjamin keotentikan Alquran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum beriman. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Alquran tidak berbeda sedikitpun dari apa yang pernah dibaca oleh Nabi saw. dan yang didengar serta dibaca sahabat Nabi saw. Akan tetapi adakah bukti lain yang dapat membuktikan keotentikan Alquran selain kepercayaan yang diyakni setiap muslim itu? Sebagai muslim kita dengan tegas mengatakan ya, dengan didasari dengan bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan kita pada kesimpulan tersebut. Lagi pula banyak kalangan yang sepakat bahwa Alquran merupakan satu-satunya kitab yang paling otentik yang pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan. Sementara kitab-kitab suci agama lain diriwayatkan beberapa abad setelah diturunkan, Alquran ditangani dan dipelihara secara serius semenjak wahyu tersebut diturunkan pada masa Rasulullah saw. hidup.

I. Bukti-bukti otentisitas

I.a. Dari Alquran

Sebelum kita mengamati lebih mendalam bukti-bukti sejarah yang mendukung keotentikan Alquran, ada baiknya kita mencermati pandangan seorang ulama Syi’ah kontemporer, Muhammad Husain al-Thabathabâ`i, yang mengatakan “Sejarah Alquran demikian jelas dan terbuka semenjak turunnya sampai saat ini. Ia dibaca oleh kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Alquran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut mengenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa saja untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti Alquran yang ada ditangan kita adalah bahwa Alquran yang diturunkan kepada Nabi tanpa pergantian atau perubahan adalah berkaitan dengan sifat dan ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.” 1

Sebelumnya Hârits al-Muhâsibî (w.234h) telah menyatakan hal yang serupa dalam bukunya Fahm al-Sunan ketika menjawab pertanyaan mengapa kaum muslimin menaruh kepercayaan kepada catatan dan hafalan para penulis wahyu. Di antaranya menurut al-Muhâsibi, karena mereka telah meresapi serta mampu membedakan kosakata yang memiliki nuansa i‘jaz dengan yang tidak. Hal itu tidak mustahil, karena mereka lah yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengarkan bacaannya langsung dari mulut Nabi selama sekitar duapuluh tahun. Artinya, salah satu dari beberapa prinsip metode kritik ilmiah dalam menilai palsu atau tidaknya sebuah teks adalah “Bahasa Teks” berikut sifat dan cirinya. Atau dengan kata lain, unifikasi sastra yang menghubungkan bagian-bagian teks yang memiliki karakter umum meskipun wahyu turun dalam ruang dan waktu yang berbeda.2

Di antara bukti-bukti keotentikan Alquran adalah ditemukannya keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya yang menunjukkan ketelitian redaksi-redaksi Alquran. ‘Abd al-Razzâq Nawfal dalam karyanya yang monumental al-I’jâz al-‘Adadî li al-Qur`ân al-Karîm telah membuktikan hal tersebut.

I.b. Bukti-bukti Historis

Ada beberapa faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Alquran yang terlebih dahulu mesti dikemukakan, sebagai berikut:

a. Masyarakat Arab ketika turunnya Alquran belum mengenal budaya baca tulis, karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.

b. Masyarakat Arab dikenal sangat sederhana dan bersahaja, yang dengan kesederhanaannya itu memberikan mereka waktu luang yang cukup untuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan mereka.

c. Masyarakat Arab pada waktu turunnya Alquran dikenal sangat menggandrungi kesusasteraan, mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.

d. Alquran mencapai tingkat tertinggi dari aspek keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin tetapi juga bagi orang-orang kafir.

e. Alquran demikan pula Rasul (hadis) saw., menganjurkan kaum muslimin untuk memperbanyak bacaan dan mempelajari Alquran. Anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.

f. Ayat-ayat Alquran turun berdialog dengan mereka, mengomentari peristiwa-peristiwa yang mereka alami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu Alquran turun sedikit demi sedikit sehingga memudahkan pencernaan makna dan proses penghafalannya.

g. Alquran juga memuat petunjuk untuk bersikap teliti dan hati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Terlebih lagi apabila yang disampaikan itu berupa firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.

Faktor-faktor diatas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya Alquran. Itulah sebabnya banyak riwayat yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan para sahabat yang menghafalkan Alquran. Bahkan dalam peperangan Yamâmah yang terjadi setelah wafatnya Rasul telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh sahabat penghafal Alquran. Walaupun Nabi dan sahabat menghafal Alquran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu dan keotentikannya beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, melainkan juga tulisan.

II. Pengumpulan dan Penulisan Naskah Alquran

Pembahasan tentang kompilasi Alquran merupakan salah satu pokok dalam menjelaskan upaya pelestarian dan pemeliharaan Alquran, serta pengidentifikasian otoritasnya yang menjadi ajang perbedaan metode antara sarjana-sarjana muslim dan peminat studi-studi keislaman (Orientalis). Dengan dalih kebebasan riset dan orisinalitas metode kritik sejarah, mereka giat melakukan kajian terhadap teks Alquran yang sering kali menjerumuskan kita kepada pemahaman yang keliru terhadap upaya kompilasi Alquran pada masa Khulafaurrasyidin. Di antara kekeliruan tersebut adalah upaya mereka untuk menginterpretasikan sejarah Islam dengan “Tafsiran Ekonomi” yang menafikan setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam, termasuk di dalamnya adalah proses kompilasi Alquran, didorong oleh tujuan dan target yang mulia semata-mata lillahi ta’ala. Di samping itu tidak jarang dalam mengkaji sejarah Alquran mereka mengambil informasi-informasi sejarah yang lemah sebagai sandaran untuk mendukung prakonsepsi yang ada di kepala mereka.

Beberapa kesalahan fatal prinsip yang mereka pakai adalah menyamakan kedudukan Alquran dengan kitab-kitab suci terlebih, bahkan karya-karya sastra humanis, sebagai teks kuno yang terimbas perubahan zaman, serta asumsi yang mereka kembangkan bahwa kajian historis atas teks-teks kitab suci mengantarkan kita untuk bisa memilah teks yang asli dengan yang palsu. Hal itu sering diadvokasikan oleh seorang sarjana Barat, Arthur Jeffery ketika menyunting dan menerbitkan kitab al-Mashâhif susunan Ibnu Abî Dâwud al-Sijistânî. Ide kritik historis dan penerapannya dalam mengkaji teks-teks kuno pertama kali diintrodusir oleh seorang ahli dari Jerman bernama Wolf 3 yang tertarik mengkaji kitab “Ellyas” karya Homerus yang mengantarkannya mampu mengungkap fase-fase yang dilalui buku tersebut. Sehingga mendorong beberapa sarjana Eropa untuk menerapkan metode tersebut untuk mengkaji teks-teks Alquran.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sejarah umat manusia, sebagaimana yang telah disinggung, tidak mengenal kitab paling otentik selain Alquran, sehingga metode kritik sejarah yang diusung para Orientalis tidak proporsional. Karena bukti-bukti historis menginformasikan dengan akurat perhatian serius yang dilakukan kaum muslim dalam upaya melestarikan dan memelihara Alquran sejak diturunkannya. Terlebih lagi, jika kita menilai bahwa (1) kurun waktu selama kurang lebih dua puluh dua tahun yang dipergunakan Nabi saw. untuk menerangkan hukum-hukum setiap ayat Alquran dan ayat yang nasikh-mansukh, serta (2) prinsip otoritas mutlak Tawqîfî yang dipegang kaum muslim dalam segala hal yang berkaitan dengan Alquran, cukup untuk menolak diterapkannya metode kritik sejarah dalam mengkaji naskah Alquran. Sehingga tidaklah berlebihan bagi sarjana muslim, apabila kajian terhadap tiga fase pengumpulan Alquran yang terkenal itu tidak dimaksudkan sebagai langkah-langkah pengakurasian teks, melainkan ‘lebih merupakan cerminan perkembangan kehidupan negara Islam’.4 Maksudnya, motivasi penggerak upaya kompilasi Alquran dalam tiga periode tersebut sangat berkaitan erat dengan gerak maju ekspansi negara Islam keluar kawasan Arab.

Frasa kompilasi Alquran yang penulis pakai dalam kaitan pembahasan ini yang berasosiasi tulisan, kumpulan naskah atau manuskrip adalah salah satu pengertian kata jama’ dalam bahasa Arab. Pengertiannya yang lain adalah menghafal, sehingga apabila kita mendengar kalimat Jâm’ al-Qur`ân, kita bisa memaknainya dengan penghafal atau penulis Alquran. Pembicaraan tentang Jam’ al-Qur`ân yang berarti hafalan, menuntun kita untuk mengetahui bahwa proses menghafal Alquran dengan metode talaqqî dan periwayatan yang bersambung sampai Rasulullah, merupakan basis utama dalam pembuktian sah atau tidaknya bacaan Alquran dalam tradisi kaum muslim. Sehingga tulisan hanya berfungsi sebagai pendukung hafalan. Itu sebabnya mengapa tulisan ayat yang terdapat dalam naskah-naskah tua pada masa Nabi saw. berupa kerangka konsonantal.

Ibnu al-Jazarî seorang pakar qiraat terkemuka menegaskan “Pengandalan atas hafalan di luar kepala dalam proses transmisi Alquran dan bukan dengan tulisan dalam bentuk naskah adalah anugerah utama yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam”. Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim ra.:

“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. bersabda: sesungguhnya Tuhanku berfirman, bangunlah dan berilah peringatan kepada kaum Quraisy. Aku pun berkata: Tuhan manapun yang aku dakwahkan kepada mereka untuk menyembahNya, selalu saja mereka memukulku (mendustaiku). Maka Allah pun berkata, sesungguhnya Aku memberikan kamu suatu cobaan, dan memberimu sebuah ‘kitab’ yang tidak hanyut oleh siraman air, dapat kamu baca disaat kamu tidur dan terjaga”

Hadis di atas menyiratkan bahwa Alquran dibaca dari lubuk hati (hafalan) dalam setiap kondisi sehingga pembacanya tidak perlu lagi melihat lembaran yang ditulis dengan tinta pena yang mudah sirna apabila tercuci air.

Adapun Jam’ al-Qur`ân yang berarti penulisan dan pengumpulan Alquran dalam mushaf resmi telah mengambil tiga bentuk dalam tiga periode awal Islam, sebagaimana yang akan kita uraikan sebagai berikut.

II.a. Kompilasi Alquran pada Masa Rasulullah saw.

Telah dimaklumi bahwa Nabi saw. menugaskan para sahabat yang dikenal pandai menulis untuk mencatat wahyu. Di antaranya: Abû Bakr ra., ‘Umar ibn al-Khattâb ra., ‘Alî ibn Abî Thâlib kw., ‘Utsmân ibn ‘Affân ra., Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân ra., Zayd ibn Tsâbit ra., Ubay ibn Ka’b ra., Khâlid ibn al-Walîd ra., Tsâbit ibn Qays ra. Mereka adalah para sahabat yang masyhur sebagai penulis wahyu. Imam al-Hâkim menceritakan dari Zayd ibn Tsâbit bahwa ia berkata: “Kami mencatat Alquran dihadapan Rasul saw. diatas lembaran kulit atau kertas”. Bahkan Regis Blachere dalam Introduction au Coran menghitung tak kurang dari empat puluh sahabat penulis wahyu melalui perbandingan hitungan Frederich Schwally dan Paul Cassanova berdasarkan laporan yang dikemukakan Ibnu Sa’d, al-Thabarî, al-Nawawî, Ibnu Hisyâm dan lain-lain.

Kompilasi Alquran pada masa Rasul dimulai sejak turunnya wahyu5 dan berakhir sampai wafatnya Nabi saw. Alquran pada waktu itu masih berupa kepingan naskah yang berserakan dan masih belum terkumpul dalam satu mushaf, karena Nabi saw. masih menunggu wahyu yang kemungkinan berisi ayat yang menghapus ayat yang turun terdahulu. Al-Zarkasyî berkata, “Alasan Alquran tidak ditulis dalam mushaf pada masa Nabi saw. agar tidak terjadi perubahan pada setiap saat. Oleh sebab itu penulisannya (dalam mushaf) terlambat sampai tuntas turunnya wahyu dengan kewafatan beliau”6. Adapun informasi yang mengatakan bahwa Zayd pernah berkata bahwa Alquran belum dikumpulkan pada suatu apapun ketika Rasulullah wafat, tidak berarti Alquran tidak pernah tercatat pada masa Nabi. Akan tetapi penafian tersebut tertuju kepada sesuatu yang bagian-bagiannya belum tersusun rapi seperti kompilasi Abû Bakr dan ‘Utsmân ra. Lagi pula sanad riwayat tersebut lemah. Karena Ibrâhîm ibn Basyar, salah seorang perawi didlaifkan
oleh para kritikus hadis. Sedangkan ‘Ubaid, perawi lain bersifat majhûl (biografinya tidak dikenal). Spesifikasi lain dari kompilasi Alquran pada masa Rasulullah adalah cakupannya terhadap Ahruf Sab’ah dan ayat beserta surahnya terpisah-pisah dalam kepingan pelepah kurma, kulit, tulang unta, lempengan batu dan lain-lain.

II.b. Kompilasi Alquran Masa Abû Bakr ra.

Berita wafatnya Nabi saw. menimbulkan goncangan hebat dalam komunitas muslim yang baru tumbuh. Belum lagi kaum muslim keluar dari hiruk-pikuk proses pengangkatan suksesor dan penguburan jenazah Nabi, mereka dikejutkan dengan berita pembangkangan di pelosok kawasan Arab dan gerakan apostasi (riddah) yang terjadi di beberapa daerah kekuasaan Islam. Semua itu menghalangi kaum muslim untuk memikirkan masa depan Alquran. Karena selain para sahabat sibuk dengan perang yang berkecamuk, mereka tidak merasakan terjadinya ‘sesuatu’ akan masa depan Alquran. Menurut mereka toh Alquran telah ditulis dan dipelihara di rumah istri-istri Nabi dan lagi pula para penghafal Alquran masih banyak. Akan tetapi terjadi sesuatu yang tak terduga sama sekali. Dalam perang Yamâmah, telah gugur sekitar seribu orang syahid, termasuk di antaranya sekitar empat ratus lima puluh sahabat menurut hitungan al-Thabarî yang membuat ‘Umar risau terhadap Alquran. Imam al-Bukhâri menginformasikan dengan sanadnya dari Zayd, ibn Tsâbit berkata:

“Abû Bakr mengutusku dan mengabarkan bahwasannya ‘Umar datang kepadaku dan berkata, perang Yamamah telah banyak menewaskan para penghafal Alquran dan aku khawatir peperangan lain juga turut menewaskan para qari` di daerah-daerah, sehingga banyak bagian dari Alquran yang akan hilang. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya anda memerintahkan untuk mengumpulkan Alquran”. Saya balik bertanya kepada ‘Umar; “Bagaimana mungkin saya mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah”. ‘Umar menjawab, “demi Allah, itu adalah ide yang baik dan ia terus berusaha meyakinkan saya sehingga Allah melapangkan jalan untuk menerima ide itu”. Zayd berkata: Abû Bakr berkata:”Anda adalah anak muda yang cerdas dan kami mempercayaimu, lagi pula dahulu kamu turut mencatat wahyu pada masa Rasul. Maka cari dan kumpulkanlah Alquran”. Zayd berkomentar, “demi Allah sekiranya mereka menyuruhku untuk memindahkan sebuah gunung, tidaklah lebih berat dari pada perintah mengumpulkan Alquran”. Aku (Zayd) bertanya, “Bagaimana mungkin kalian mengerjakan sesuatu yang tidak penah dilakukan Rasul”. Beliau menjawab, “Demi Allah, ini adalah ide baik, dan Abû Bakr terus meyakinkan saya sehingga Allah melapangkan dada saya seperti yang dialami Abû Bakr dan ‘Umar. Maka aku kumpulkan Alquran dari catatan-catatan lembaran lontar dan lempengan batu serta hafalan para sahabat, sampai akhirnya saya mendapatkan akhir surah al-Tawbah dari Abî Khuzaimah yang tidak kuperoleh dari selainnya yaitu ayat Laqad Jâ`akum Rasûlun min Anfusikum… maka shuhuf-shuhuf itu disimpan oleh Abû Bakr sampai beliau wafat, kemudian oleh ‘Umar semasa hidupnya kemudian oleh Hafshah”.

Dalam riwayat lain terdapat keraguan Zayd dari Abî Khuzaymah7 atau Khuzaymah.8 Syekh Muhammad Abû Syahbah menegaskan bahwa riwayat pertama lah yang benar.9

Seandainya ‘Umar tidak berhasil meyakinkan Abû Bakr dalam soal pengumpulan Alquran, besar kemungkinan, menurut ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, mereka berdua akan melakukan jajak pendapat kepada para sahabat mengenai masalah kompilasi Alquran. Karena keputusan bersejarah itu tidak dapat diambil oleh dua orang sahabat saja mengingat Alquran merupakan Undang Undang Dasar Negara Islam.

Khalifah Abû Bakr menyusun juklak bagi komisi yang diketuai Zayd yang menyaratkan penerimaan catatan Alquran sesuai dengan hafalan sahabat lain dan catatan tersebut ditulis dihadapan dan atas perintah Rasulullah saw., di samping harus dikuatkan oleh dua orang saksi. Juklak itu dilaksanakan dengan teliti sampai-sampai konon ‘Umar membawa ayat perajaman, akan tetapi Zayd menolak untuk menulisnya, karena ‘Umar tidak mendatangkan dua orang saksi. Demikian pula perbedaan antara ‘Umar dan Zayd yang didukung oleh Ubay ibn Ka’b tentang ada tidaknya huruf (æ) setelah kata (ÇáÃäÕÇÑ) dalam Q.s. 9:100 serta upaya Zayd meyakinkan ‘Umar bahwa ada tambahan (æ) yang kemudian didukung argumentasi Ubay bahwa hal yang sama juga terdapat di tiga tempat dalam Alquran, membuktikan bahwa juklak itu dilaksanakan dengan amat teliti.

Pengecualian akhir surah al-Tawbah dari kaidah tersebut, disebabkan catatannya hanya ditemukan pada Abî Khuzaimah al-Anshârî berdasarkan kemutawatiran hafalannya, sehingga menempati dua orang saksi bahwa ayat tersebut ditulis di hadapan Rasulullah.10 Hal ini diperkuat penegasan al-Zarkasyî dalam al-Burhân: “Adapun perkataan Zayd: “Saya tidak menemukannya kecuali pada Abî Khuzaimah”, bukan berarti penetapan Alquran dengan khabar âhâd karena Zayd dan sahabat lain menghafal ayat tersebut dan pencariannya kepada sahabat bertujuan untuk menampakkannya bukan sebagai pengetahuan baru.”11

Para ulama mencatat beberapa spesifikasi yang terdapat dalam kompilasi Abû Bakr di antaranya:

a. Naskah tersebut hanya memuat ayat-ayat yang tidak dinaskh bacaannya dan membuang unsur-unsur asing selain Alquran.

b. Pengumpulan yang dilakukan oleh Abû Bakr tidak menerima kecuali yang disepakati sebagai Alquran melalui jalur mutawatir.

c. Kompilasi tersebut masih ditulis dengan Ahruf Sab’ah.

d. Ayat-ayatnya tersusun rapi seperti yang ada sekarang, sedangkan surah-surahnya “berdiri sendiri” (dalam shuhuf). Kemudian shuhuf-shuhuf tersebut dikumpulkan dan diikat menjadi satu.

Perlu diingat bahwa kompilasi Alquran dengan tingkat ketelitiannya yang tinggi beserta cakupannya terhadap spesifikasi di atas, hanya shuhuf Abû Bakr sajalah yang memenuhi kriteria tersebut. Karena mushaf-mushaf yang ditulis sebagian sahabat, dikabarkan mencantumkan ayat yang telah dihapus dan yang melalui kategori âhâd. Sebagian yang lain mencantumkan sisipan penafsiran kosakata ayat tertentu dan beberapa doa yang ma`tsur. Oleh sebab itu naskah Alquran yang dimiliki Abû Bakr merupakan naskah otentik dan memiliki legitimasi yang kuat.12

II.b.1. Pandangan Orientalis

Pada umumnya pandangan mereka seputar pengumpulan Abû Bakr terkesan “minor”. R. Blachere misalnya mempertanyakan apakah pengumpulan Abû Bakr itu solusi bagi kecemasan ‘Umar? Sebenarnya, lanjut Blachere, masyarakat membutuhkan kumpulan wahyu tertulis yang diakui otoritasnya. Tetapi apakah itu yang dikehendaki shuhuf Abû Bakr? Tidak, karena shuhuf-shuhuf itu milik pribadi Abû Bakr dan ‘Umar bukan dalam kapasitas mereka sebagai kepala negara yang secara umum menunjukkan bahwa khalifah pertama dan kawannya itu merasa inferior atau gengsi alangkah baiknya kalau seorang kepala negara tidak lah lebih rendah posisinya dari beberapa sahabat yang beruntung memiliki mushaf sendiri. Oleh karena itu tidak ada dalam benak Abû Bakr dan ‘Umar membuat mushaf acuan bagi kaum muslimin.

Kritikan lain juga datang dari Richard Bell mengenai kumpulan resmi Alquran yang menurutnya “mungkin kritikan paling berat” karena bentuk formal demikian dapat diduga memiliki keabsahan formal yang dinisbatkan kepadanya, tetapi bukti untuk hal ini tidak bisa kita temukan. Kumpulan-kumpulan Alquran yang lain masih tetap dipandang absah di berbagai daerah. Pertikaian yang mengarah kepada resensi Alquran di masa ‘Utsmân mungkin tidak akan timbul jika waktu itu sudah ada naskah resmi di tangan khalifah yang bisa dijadikan rujukan. Demikian pula, gambaran tentang diri ‘Umar yang menegaskan bahwa ayat perajaman berasal dari Alquran, terasa amat sulit untuk diselaraskan masalah kepemilikannya atas kumpulan resmi Alquran yang berasal dari masa Abû Bakr.

Mari kita menjawab tuduhan-tuduhan miring tersebut dengan hati dan kepala dingin.

1. Analisis kaum Orientalis terhadap upaya pengumpulan naskah Alquran sangat beraroma penafsiran historis yang tidak pada tempatnya dan memakai sandaran riwayat-riwayat yang lemah untuk mendukung tesis yang mereka kemukakan. Analisis tersebut sangat rentan terhadap kritikan. Banyak sekali pertanyaan historis sebagai umpan balik yang dapat diajukan berkaitan dengan asumsi yang mereka kembangkan, sehingga penafsiran yang bertumpu pada kritik historis menjadi sia-sia belaka. Seandainya kumpulan Abû Bakr itu demi kepentingan pribadi, untuk apa beliau bersikeras membentuk komisi pengumpulan dan menyuruh orang untuk menyerahkan bahan-bahan naskah Alquran untuk diteliti komisi Zayd? Jika shuhuf Abû Bakr dianggap kepemilikan pribadi mengapa beliau tidak mengamanatkan ahli warisnya untuk menyimpan shuhuf tersebut dan bahkan mewariskannya kepada ‘Umar yang berarti kepemilikan itu resmi milik negara?. Sepintas kita dapat menilai tindakan ‘Umar yang menyerahkannya shuhuf itu kepada Hafshah, putri ‘Umar dan janda Nabi saw., sepeninggalnya dan bukan kepada ‘Utsmân, yang berarti sifatnya khusus. Kecurigaan tersebut tidak berdasar, karena berbeda dengan proses pengangkatan ‘Umar sebagai khalifah yang melalui cara ta’yîn (aklamasi), maka proses pengangkatan ‘Utsmân dilakukan melalui mekanisme musyawarah dalam sebuah tim suksesi yang dibentuk oleh ‘Umar sebelum ia wafat. Sedangkan tuduhan Abû Bakr berkoalisi dengan ‘Umar yang hanya memikirkan ego pribadi serta tidak memperhatikan maslahat yang lebih besar. Secara logika, apa sih harga sebuah naskah Alquran bagi seorang yang telah menghafalkannya pada masa Rasulullah? Dan apa pula harga naskah tertulis pada saat orang sangat mengandalkan dan mempercayai hafalan Alquran di luar kepala? Kalau bukan demi kemaslahatan umat seluruhnya.

2. Kita tidak menafikan adanya usaha-usaha individual untuk mencatat Alquran yang mendahului atau bahkan bersamaan dengan pengumpulan Abû Bakr, tetapi perlu dicatat bahwa tujuan mereka bukan untuk pengumpulan resmi tetapi sebatas sebagai pendukung hafalan yang mereka miliki. Yang terjadi adalah ketika para sahabat mengetahui tim yang dibentuk oleh Abû Bakr mereka berbondong-bondong menyerahkan naskah yang ada pada mereka untuk diteliti Zayd dan kawan-kawannya. Akan tetapi target kaum Orientalis hendak mengesankan bahwa pengumpulan Abû Bakr tersebut tidak serius karena sifatnya yang pribadi sehingga menghilangkan spesifikasi tawâtur dalam usaha pengumpulan Abû Bakr.

3. Klaim keabsahan mushaf-mushaf individual di berbagai daerah kekuasaan Islam, juga sangat lemah jika dihadapkan kepada fakta-fakta sejarah dan riwayat yang otentik. Mushaf awal yang resmi berbeda dengan mushaf-mushaf individual dari aspek kesesuaiannya—yang mutlak—dengan teks wahyu yang otentik sesuai murâja’ah terakhir yang dilakukan Rasul dengan Jibril as. pada tahun kewafatannya. Karena seperti yang pernah disinggung, mushaf-mushaf lain terkadang ditulis berdasarkan hafalan yang tak jarang berisi beberapa tafsiran ayat atau doa-doa ma`ts­ûr seperti mushaf Ibnu Mas’ûd dan mushaf Ubay. Akan tetapi, memang harus diakui, menurut M. ‘Abd Allâh Dirâz13, meski keutamaan mushaf Abû Bakr lebih tinggi, pelestariannya yang hanya terbatas pada figur dua khalifah pertama, telah sedikit banyak mengesankan sifat pribadi dan belum menjadi dokumen resmi bagi khalayak umum sampai saatnya pembebasan Armenia pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmân. Oleh karena itu, menilik sejarah penulisan dan pengumpulan Alquran lebih erat hubungannya dengan memahami tantangan-tantangan sosio-politik yang dihadapi negara Islam berikut cara merespon tantangan itu.14

4. Klaim kontradiksi antara keyakinan sementara ‘Umar bahwa ayat perajaman bagian dari Alquran dengan kepemilikannya atas mushaf resmi yang berasal dari Abû Bakr, tidak memperhatikan kaidah ilmiah yang diterapkan sahabat dalam usaha kompilasi Alquran. Melihat ‘Umar tidak berhasil menghadirkan dua saksi, Zayd menolak ntuk mencantumkannya. Sehingga para ulama 15 menganggapnya sebagai riwayat âhâd yang tidak bisa dibuktikan sebagai Alquran. Paling tidak apa yang diyakini ‘Umar itu merupakan sunah Nabi. Dari sana para pakar mengartikan pernyataan ‘Umar:æßÇä ÝíãÇ ÇäÒá Úáíå tidak bertentangan dengan mafhum sunah. Karena sebagaimana diyakini mayoritas ulama dan umat Islam bahwa Jibril as. turun membawa wahyu berupa Sunah di samping Alquran. Sehingga statemen ‘Umar: æÇáÑÌã Ýí ßÊÇÈ Çááå ÍÞ harus dipahami dalam kontek bahwa perajaman adalah bagian tak terpisahkan dalam syariat Allah, hukum dan ketentuan-Nya, atau bisa jadi statemen beliau merujuk kepada ayat al-Nisa`:15, yang mana Sunah telah menjelaskan rinciannya yaitu mencambuk ghair muhshan dan merajam muhshan. Di samping itu terdapat bukti lain bahwa ‘Umar tidak meyakini ayat al-Syaikhu wa al-Syaikhatu sebagai Alquran. Ibnu Hamdawaih meriwayatkan dengan sanadnya dari Hasan al-Bashrî dari ‘Umar ia berkata, “Saya berniat mengundang beberapa sahabat muhajirin dan anshor yang dikenal nama dan nasabnya untuk bersedia mencatat kesaksian mereka dipinggir mushaf: “Inilah kesaksian ‘Umar bersama fulan dan fulan bahwa Rasul pernah merajam pezina yang telah menikah. Karena saya cemas orang-orang Islam nanti kan mengingkari hukum rajam karena mereka tidak menemukan ketentuannya dalam Kitabullah”. Dalam riwayat lain ‘Umar berkata, “Kalau tidak karena gunjingan orang bahwa saya menambah-nambahi Alquran niscaya akan saya tulis (ayat rajam) di dalam mushaf”. Lagi pula dalam pengamatan para ahli, redaksi al-Syaikhu wa al-Syaikhatu tidak teliti (sebagaimana kebiasaan redaksi Alquran) sehingga mengaburkan keistimewaan pemilihan redaksi Alquran yang mu’jiz, karena redaksi ayat itu berarti “Kakek-kakek dan nenek-nenek yang berzina” yang mengesankan bahwa hukum rajam diperuntukkan bagi orang tua serta tidak menekankan muhsan tidaknya pelaku zina tersebut. Sehingga kontan redaksi tersebut mengundang kritikan Zayd bin Tsâbit: “Bukankah dua pasang muda yang telah menikah juga dirajam?” 16. Dengan demikian gugurlah argumen-argumen yang dikemukakan kalangan Orientalis yang dengan sengaja hendak menebarkan benih-benih keraguan seputar pengumpulan Abû Bakr.

—– BERSAMBUNG di bagian kedua

———————————

1 Dikutip dalam M. Quraish Shihab, “Membumikan” Alquran, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. V, hlm.22
2 Al-Sayyid Muhammad Khalîl, Dirâsât fî al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1969), Cet. I, hlm.90
3 Ibid., hlm. 86
4 Ibid., hlm. 87
5 Kita tentu ingat bahwa proses masuk Islamnya ‘Umar didahului oleh bacaan Alquran: Surah Thâhâ dari lembaran yang dimiliki saudarinya, Fâthimah. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa-masa kritis, minat para sahabat mencatat Alquran tidak surut.
6 Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), Vol. I, hlm. 262
7 Beliau bernama lengkap Abû Khuzaimah ibn Aws ibn Yazîd ibn Atsram dari klan Banî Najjâr., wafat pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmân ra
8 Beliau bernama lengkap Khuzaimah ibn Tsâbit ibn al-Fakih ibn Tsa’labah, dijuluki “Dzû Syahâdatain” oleh Rasulullah. Gugur dalam peperangan Shiffîn di pihak Khalifah ‘Alî Ibnu Abî Thâlib
9 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 244
10 Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1990), Cet. XVIII, hlm. 76
11 Badr al-Dîn al-Zarkasyî, op.cit., hlm. 296
12 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, op.cit., hlm. 246
13 Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II, hlm. 38
14 Al-Sayyid Muhammad Khalîl, op.cit., hlm. 93
15 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, op.cit., hlm. 271
16 Ibid., hlm. 273

2 thoughts on “Fahmi Salim: Al-Quran tetap terjaga keasliannya – bagian pertama

  1. Saudara Fahmi,

    Mohon bertanya tentang bahagian kedua artikel ‘Sejarah Otentikasi Al-Quran’, apakah sudah siap? Jika ya, saya mohon satu salinan.
    Terimakasih banyak!

  2. Assalamualaikum, wr wb.
    Terima kasih atas artikel tersebut tentang Al-Quran tetap terjaga keasliannya.
    Wassalamualaikum wr, wb.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *