Monthly Archives: December 2006

Forum Internet Indonesia

Alhamdulillah pada saat ini saya menikmati akses Internet dengan biaya yang terjangkau dan dengan kecepatan yang termasuk cukup bagus (3G dan 128 kbps).

Kemudian saya baru menyadari bahwa belum tentu semua orang tahu bagaimana cara untuk menikmati ini semua.
Atau, mungkin saja ada pilihan lainnya yang ternyata sebetulnya lebih bagus lagi, namun saya belum tahu.

Karena itu, kemudian saya membuat forum InNet (Indonesia Internet). Disitu saya akan berbagi beberapa tips-tips yang saya ketahui, dan Anda juga dapat berbagi yang Anda tahu disana.

Semoga bermanfaat, dan selamat menikmati.

[ forum InNet ]

Hoax atau bukan: Kupon diskon 50% Dufan

Saya sedang berencana untuk mengajak anak-anak saya berkunjung ke Dunia Fantasi di Ancol, setelah mereka terkurung selama berminggu-minggu di rumah karena dikarantina (ke empatnya kena cacar air 🙂 ). Tidak disangka, ada yang mengirimkan kupon ini kepada saya : dufanpdf.zip

Tentu pada awalnya senang menerimanya, tapi kemudian muncul pertanyaan: apakah ini cuma tipuan / hoax ? Apakah benar ada diskon 50% untuk tiket terusan Dufan (harga normal: Rp 70.000) sampai dengan tanggal 16 Desember ?

Lalu saya berusaha menghubungi Dufan di nomor telpon 6471-2000, yang saya dapatkan dari 108. Tapi, tidak pernah ada yang mengangkatnya.

Bagaimana, apakah ini cuma hoax, atau betulan ? Siapa yang tahu, hayo ngacung 🙂

Siapa penemu trik di InvSqrt() ?

Nostalgia lagi…. sore ini menemukan sebuah artikel di Beyond3D yang berjudul Origin of Quake3’s Fast InvSqrt().

Secara ringkas; di source code game Quake 3, ada code berikut ini :

float InvSqrt (float x){
float xhalf = 0.5f*x;
int i = *(int*)&x;
i = 0x5f3759df – (i>>1);
x = *(float*)&i;
x = x*(1.5f – xhalf*x*x);
return x;
}

Ini adalah implementasi algorithma Newton-Raphson untuk menemukan inverse square-root (apa ya bahasa Indonesianya? satu per akar dari X ?) dari suatu angka bertipe float (pecahan?)

Kebanyakan prosesor komputer melakukan perhitungan bilangan bulat (integer) JAUH lebih cepat daripada melakukan perhitungan bilangan tipe float. Function InvSqrt() diatas melakukan ini — dengan satu trik yang membuatnya memiliki performa jauh lebih cepat dibandingkan biasanya.

Algoritma Newton-Raphson menghitung inverse square-root dengan cara memulai perhitungan dari suatu angka, dan kemudian melakukan iterasi sampai akhirnya ditemukan hasil yang sebenarnya. Nah, pada kode diatas, angka awalnya ini ternyata terbukti memang selalu memberikan hasil dalam waktu yang PALING singkat (sampai 4x lipat lebih cepat).

Kode ini kemudian banyak digunakan di berbagai software, dengan hasil yang sangat memuaskan.

Banyak orang kemudian tergelitik dan berusaha menemukan siapa penemu konstanta tersebut. Terutama untuk mengetahui bagaimana ybs menemukan konstanta itu – apakah melalui coba-coba? Atau dengan perhitungan?

Cerita yang panjang dipersingkat – ternyata kode ini sudah cukup tua umurnya. Terakhir berhasil dilacak ke Gary Tarolli, yang menggunakannya ketika masih bekerja di 3dfx.
Sayangnya Gary pun tidak tahu siapa pembuatnya, namun dia menyebutkan bahwa dia sudah menemukan code tersebut sejak 10 tahun sebelumnya ! Maka paling tidak, code tersebut sudah ada sejak 15 tahun yang lalu. Dan sampai saat ini masih terus menjadi misteri tentang siapa penemunya.

Kisah ini juga adalah satu lagi alasan mengapa open source baik bagi kemajuan teknologi dunia. Kalau saja John Carmack tidak membukakan source code ke game Quake 3 nya, maka belum tentu code ini akan menjadi populer, dan banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak.
Dengan open source, banyak orang mendapatkan keuntungan, bahkan pemegang hak cipta software tersebut sendiri.

Pendidikan Tinggi : merugikan mahasiswa ?

Sebuah tulisan di International Herald Tribune kembali mengingatkan saya akan sebuah pertanyaan yang muncul di benak saya sejak beberapa tahun yang lalu; apakah pendidikan tinggi kita justru merugikan mahasiswa ?

Tulisan yang berjudul “For many Indians, higher education does more harm than good” menyimpulkan bahwa demikianlah halnya untuk sebagian mahasiswa. Dengan perkecualian untuk beberapa universitas di India yang memang peduli, universitas-universitas lainnya lebih berfokus kepada kuantitas daripada kualitas.
Hasilnya adalah sebuah paradox – para sarjana mengeluh kesulitan mencari pekerjaan, sedangkan perusahaan mengeluh kesulitan mencari tenaga kerja yang berkeahlian.
Sering jugakah kita mendengar hal seperti ini di Indonesia ?

Beberapa kutipan dari artikel ybs :

most of the 11 million students in the 18,000 Indian colleges and universities receive starkly inferior training, heavy on obeisance and light on marketable skills

Mirip sekali dengan yang saya alami sendiri, dimana saya sering terpaksa bolos kuliah karena sibuk mempelajari berbagai aspek komputer, yang tidak diajarkan di kampus, namun dibutuhkan di “dunia nyata”.

The problem, experts say, is in a classroom environment that infantilizes students well into their mid-20s, emphasizing silent note-taking and discipline at the expense of analysis, debate and persuasion.

Students at second- and third-tier colleges suffer not because of a dearth of technical ability or intelligence, critics note. Most simply lack the “soft skills” sought by a new generation of employers but still not taught by change-resistant colleges: the ability to speak crisp English with a placeless accent, to design and give PowerPoint presentations, to write in logically ordered paragraphs, to work collegially in teams, to grasp the nuances of leadership.

Walaupun kemampuan teknis juga penting, namun “Soft skills” adalah kuncinya. Seperti semangat untuk maju & tidak takut dengan hal-hal yang baru, kemauan untuk mempelajari hal-hal yang baru. kemampuan bekerjasama di dalam suatu tim; secara umum, berpikir dan bertindak positif.

But even as graduates complain of the paucity of jobs, companies across India lament a lack of skilled talent. The paradox is explained, experts say, by the poor quality of the undergraduate experience. India’s thousands of colleges are swallowing millions of new students every year, only to spit out degree holders that no one wants to hire.
.
“It’s when you practice the skills that you actually learn them,” Cherian said.

Saya pikir akan baik sekali jika institusi-institusi pendidikan tinggi di Indonesia mulai menyertakan marketable & soft skills ke dalam kurikulum S1-nya (lebih bersifat praktis). Biarlah kurikulum yang bersifat akademik difokuskan pada level S2 dan S3.
Dengan demikian, mudah-mudahan lulusan universitas akan lebih mudah untuk menemukan / membuat lapangan kerja; dan para akademisi tetap dapat berprestasi di jenjang S2 dan S3-nya.

Bagaimana menurut Anda ?