Bicara soal JIL bukanlah bicara soal intelektualitas. JIL belum sampai ke level tersebut.
Baru pada level fakta saja JIL sudah bermasalah.
Artikel berikut ini mengilustrasikannya dengan sangat gamblang.
Selamat membaca.
Yang Sembrono dari Ulil Abshar
Rabu, 05 Desember 2007
Tulisan saya di hidayatullah.com ditanggapi Ulil dengan judul “Amran
dan Beberapa Kekeliruan”. “Ayolah Ulil, tunjukkan di mana kebebasan
dan toleransi Barat?”
Oleh: Amran Nasution *
Ketika masih wartawan, saya menulis sebuah laporan utama sepulang
melakukan liputan di Filipina Selatan. Pak Amir Daud, Redaktur
Pelaksana waktu itu, 1981, memanggil saya ke mejanya. “Berapa usia
Anda?”, katanya. Tentu saya kaget. Untuk apa usia ditanya kalau
masalahnya ada pada tulisan. Tapi saya jawab melihat ia sangat serius.
“Kalau begitu Anda masih bisa berubah. Mulai sekarang, berubahlah,”
ujarnya. Lalu ia menunjuk kesalahan itu. Ternyata, saya sembarangan
meletakkan titik dan koma. Di mata Pak Amir, saya sembrono.
Ya, sembrono. Itulah yang saya lihat setelah membaca tulisan Ulil
Abshar-Abdalla dari Departmen of Near Eastern Languages and
Civilizations, Harvard University, yang dimuat di Milist ICRP juga
dimuat dalam kolomnya di situs Jaringan Islam Liberal (JIL), tanggal
30 November 2007. Ia menanggapi artikel saya, Dari Moshaddeg Sampai
Mount Carmel (www.hidayatullah.com, 23 dan 24 November 2007).
Ia mengabaikan begitu saja pendapat bahwa sanksi penistaan agama yang
terjadi di Eropa dan Amerika jauh lebih kejam dan lebih sektarian.
Tapi kesemboronon Ulil tak terbatas titik, koma. Ia malah berbuat
seenaknya dengan fakta, sesuatu yang di kalangan wartawan ditempatkan
pada posisi amat tinggi. Tentu juga mestinya di kalangan intelektual
semacam Ulil. Bagaimana mungkin dia membuat analisa yang benar, kalau
faktanya salah. Garbage in, garbage out. Yang masuk sampah, pasti
keluarnya sampah.
Berikut saya tunjukkan sampah itu.
Dia menyebut semua sekte, aliran, mazhab, dan keyakinan bisa
berkembang bebas di negeri Barat. Sebagai contoh ia tunjuk Mormon
yang salah satu pengikutnya, Mitt Romney, pernah menjadi gubernur dua
priode di negara bagian Massachusetts. Romney sekarang menjadi bakal
calon presiden dari Partai Republik.
Saya mulai dari garbage kecil ini. Adalah bohong kalau dikatakan
Romney (nama lengkapnya Willard Mitt Romney, 60 tahun) menjabat
gubernur dalam dua priode. Ia cuma satu priode Gubernur
Massachusetts, 2002 – 2006. Pada 1994, eksekutif sukses ini pernah
mencalonkan diri menjadi anggota Senat mewakili Partai Republik, tapi
dikalahkan Edward M.Kennedy (Partai Demokrat). Penyebab terpenting
kekalahannya, ya soal agama Mormonnya itu (lihat artikel Michael
Paulson, the Boston Globe, 9 November 2002).
Dalam pemilihan gubernur 2002 yang dimenangkannya, Romney menghadapi
Shannon O’Brien, seorang Katolik. Untuk diketahui Massachusetts cukup
heterogen, banyak etnik dan agama. Tapi mayoritas penduduknya Katolik
(44%), lalu Kristen 22%, sisanya Atheis, Yahudi, Buddha, Hindu,
Islam, dan Mormon.
Pada masa kampanye kali ini soal Mormonnya tak ditembaki lawan.
Masalahnya, lawan juga sedang grogi bila agama dibawa-bawa. Isu
penyelewengan seksual oknum pastor dengan anak altar sedang
menghangat waktu itu. Kemudian nama Romney lagi berkibar sebagai
penyelanggara Olimpiade Musim Dingin di Salt Lake City. Perhelatan
akbar itu nyaris gagal karena panitia dilanda berbagai skandal.
Romney muncul sebagai penyelamat.
Bagaimana peluangnya kini sebagai bakal calon Presiden Partai
Republik? Tipis sekali. Penyebabnya agamanya itu. Itulah sekarang
yang menjadi isu hangat di sekitar pencalonan Romney. Survei the Wall
Street Journal/NBC, awal November lalu, menunjukkan mayoritas
responden tak bisa menerima seorang Mormon menjadi Presiden Amerika
Serikat. Yang menyatakan bisa hanya 38% (the Washington Post, 28
November 2007). Nah, benar kan? Kalau masukan salah analisa salah
pula.
Sekarang mengancik ke soal sampah yang lebih serius. Kata Ulil,
Mormon bebas berkembang di Amerika. Dari mana cerita itu didapatnya?
Sejarah menunjukkan banyak darah berceceran di sekitar eksistensi
sekte yang resminya disebut the Church of Jesus Christ of Latter-Day
Saints.
Pencetus dan pemimpin pertama Mormon adalah Joseph Smith, lahir di
Vermont pada 1805. Smith mengaku bertemu langsung dengan Tuhan dan
Malaikat lalu mendapat petunjuk untuk menyebarkan ajarannya yang ia
peroleh dari tulisan di piring emas di pegunungan New York. Tulisan
ia terjemahkan selama berbulan-bulan dan menjadi kitab suci orang
Mormon, the Book of Mormon. Jadi Mormon agama yang lahir di Amerika.
Ajarannya mirip Kristen tapi mengharamkan arak, menghalalkan
poligami.
Tentu Joseph Smith dan pengikutnya tak bisa diterima masyarakat. Ia
dianggap menyebarkan ajaran aneh yang bid’ah. Konflik sering terjadi.
Mereka terlibat beberapa perkelahian dengan penduduk Missouri.
Akhirnya, pada 27 Oktober 1838, Gubernur Missouri, Lilburn Boggs,
mengeluarkan perintah memburu kaum Mormon yang disebut extermination
order (perintah pembasmian). Sekitar 2500 tentara menyerbu
perkampungan Mormon. Sejumlah pengikut Smith terbunuh, banyak wanita
diperkosa. Smith dan beberapa pendetanya ditangkap. Untuk diketahui,
extermination order itu berlaku 100 tahun lebih sampai dicabut oleh
Gubernur Missouri Christopher Bond di tahun 1976.
Sekian lama ditahan, akhirnya Smith dan kawan-kawan dibebaskan.
Mereka membangun perkampungan di tepi Sungai Missouri. Lama kelamaan
banyak orang baru bergabung sehingga jumlah jemaah bertambah besar.
Mereka kembali bentrok dengan masyarakat. Joseph Smith, adiknya Hyrum
Smith, dan dua pembantunya ditangkap. Pada pagi 27 Juni 1844, sekitar
200 massa mengepung penjara. Mereka bunuh Smith, adik, dan
pembantunya (lihat artikel Jay Lindsay di Associated Press, 28
Januari 2006).
Sejak itu pengikut Smith kocar-kacir sampai belakangan datang
pemimpin baru, Brigham Young, yang mengkonsolidasikan mereka. Dan itu
tak gampang. Hanya berkat kegigihan dan keuletan saja mereka bisa
bertahan. Di Massachusetts, misalnya, seperti ditulis Jay Lindsay,
baru di tahun 1960-an, Mormon bisa datang kembali.
Dengan kisah berdarah-darah ini –sudah ditulis di banyak buku–
bagaimana Ulil berani mengatakan semua sekte, aliran, mazhab, dan
keyakinan bisa berkembang bebas di negara Barat?
Apalagi, dengan gagah berani ia menulis: “Saat ini, di seluruh negeri
Eropa dan Amerika (juga Kanada dan Australia) nyaris `’mustahil”,
sekali lagi nyaris mustahil, kita jumpai kasus sebuah sekte
diberangus atau dirusak propertinya karena membawa ajaran yang
menyimpang.”
Rupanya, peristiwa 19 April 1993, ketika FBI meledakkan dan membakar
habis perkampungan Sekte Cabang David, mengakibatkan kematian David
Koresh dan 80-an pengikutnya di Mount Carmel, Waco, Texas, tak
dilihat Ulil sebagai perusakan properti sebuah sekte, aliran, atau
ajaran.
Ilmu sihir apa yang telah menutup mata Ulil sehingga tak mampu
melihat fakta itu? Guna melengkapinya di sini saya cuplikkan beberapa
peristiwa yang relevan, yang sempat saya kumpulkan:
The New York Times, 7 Maret 2004, menulis, pada hari Jumat, dua
masjid dibakar di Annecy dan Seynod (Francis). Tak ada korban jiwa.
Tapi peristiwa itu membuat marah kalangan Islam setempat karena tak
ada respons dari pemerintah. Itu sangat kontras dengan pembakaran
sebuah sekolah Yahudi, November sebelumnya. Ketika itu, hanya
beberapa jam kemudian, Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy, langsung
meninjau ke lapangan dan mengomentari peristiwa itu sebagai tindakan
rasis.
Esoknya, baru Kantor Presiden mengeluarkan siaran pers menanggapi
pembakaran masjid, mengatakan bahwa Presiden Chirac sangat terkejut
atas serangan dan dengan keras mengecam aksi yang menjijikkan itu.
The New York Times, 24 Desember 2004, memuat berita sebuah masjid
yang baru selesai dibangun di kota kecil Usingen, di barat laut
Frankfurt (Jerman), telah terbakar. Menurut polisi, pembakaran
dilakukan seseorang dengan sengaja. Pada bulan lalu, setelah terjadi
pembakaran masjid di Belanda, sebuah botol berisi minyak tanah
dilemparkan seseorang ke sebuah masjid di dekat Kota Sinsheim,
Jerman.
Fakta di atas, sekali lagi, terbatas yang sempat saya kumpulkan. Saya
tak tahu persis sudah berapa banyak Sinagog – belakangan Masjid –
yang dirusak selama ini di Eropa atau Amerika.
Di dalam buku A Brief History of Blaspemy (The Orwel Press, 1990),
Richard Webster menulis, kebencian orang Eropa kepada Yahudi yang
dikenal sebagai anti-semit, sesungguhnya punya akar yang dalam.
Sekadar contoh, tulis Webster, di dalam risalahnya, Of the Jews and
Their Lies, pelopor reformasi gereja Martin Luther menyatakan seluruh
orang Yahudi sebagai tamak dan rakus.
Tapi terutama setelah pembunuhan orang Yahudi oleh Nazi Jerman selama
Perang Dunia II, perlahan-lahan prasangka dan kebencian terhadap
orang Yahudi berpindah kepada orang Arab dan Islam. Jadi tak usah
heran kalau aksi perusakan Sinagog di Eropa kini pindah ke Masjid.
Karena itu pula orang Islam di Jerman, Inggris, Francis, Belanda, dan
sejumlah negara Eropa lainnya, bukan main sulit membangun masjid.
Saya punya segepok kliping koran yang menulis berita itu. Banyak
rencana membangun masjid sampai bertahun-tahun tak bisa terlaksana.
The New York Times, 6 Juli 2007, sampai menuliskannya di dalam
editorial soal sulitnya pembangunan masjid di Cologne, Jerman, dengan
judul, ”Celebrating, Not Hiding”.
Di Amerika juga sama. Kelompok Ahmadiyah berencana membangun masjid
dan pusat kebudayaan di atas tanah seluas 90 ha di kawasan terpencil
di Walkersville, Maryland, sampai sekarang tak kunjung berhasil.
Masyarakat setempat keberatan (The Washington Post, 23 Oktober 2007).
Ayolah Ulil, tunjukkan di mana kebebasan dan toleransi Barat yang
Anda cekokkan kepada teman-teman Anda selama ini? Mereka itu rasis
Ulil. Terlalu banyak fakta sejarah yang tak bisa dihapus: mulai
pemusnahan Indian, perbudakan orang hitam, pembunuhan dan pengusiran
orang China, sampai sekarang giliran orang Arab dan Islam.
Seolah terlihat hijau
Akhirnya, saya khawatir Ulil melihat Barat seperti melihat hutan dari
jauh: semua terlihat hijau royo-royo. Padahal bila didekati kelihatan
pohon yang sudah gundul terbakar, tebing yang longsor, pohon-pohon
tumbang ditebang penduduk untuk kayu bakar, atau sungai yang dicemari
bungkus plastik supermie dan puntung rokok.
Tapi yang paling mengagetkan saya pernyataan Ulil berikut.
Katanya, “Eropa belajar dari sejarah kelam itu hingga sekarang.
Hasilnya tentu bukan main: lahirnya negara sekuler yang melindungi
kebebasan beragama. Atau tepatnya melindungi agama dari intervensi
negara (versi Roger William), dan melindungi negara dari intervensi
agama (versi Thomas Jefferson). Kedua intervensi itu sangat buruk
akibatnya baik bagi agama atau negara sendiri.”
Padahal sudah beberapa tahun ini, setidaknya sejak peristiwa serangan
teroris terhadap menara kembar WTC di New York, 2001, tak sedikit
buku yang terbit, tak terhitung artikel ditulis, yang menyoroti
bagaimana Amerika Serikat tak lagi membatasi hubungan agama dengan
negara seperti yang digembar-gemborkan Ulil itu.
Saya tak ingin memperdebatkan baik-buruk, manfaat-mudharat, dari
terbaurnya hubungan itu. Seperti saya juga tak mau memperdebatkan di
sini konsistensi sikap Thomas Jefferson, nama yang dikutip Ulil. Ia
merancang Declaration of Independence yang begitu muluk bicara
tentang kebebasan, sementara ia sendiri memiliki ratusan budak. Malah
sampai meninggal dunia ia meninggalkan budak-budak yang diburu dari
Afrika sebagai harta warisan.
Jefferson rupanya gambaran dari negara yang diwariskannya: mengekspor
demokrasi ke mana-mana sembari membunuhi jutaan rakyat tak berdosa di
mana-mana. Mulai Vietnam, Laos, Korea, Iraq, Lebanon, Nikaragua,
Guatemala, Panama, dan banyak lagi. Inilah satu-satunya negara di
dunia yang tega membunuh lebih 200 ribu rakyat tak berdosa dengan bom
atom uranium di Nagasaki dan Hirosima. Picing mata pada pembangunan
arsenal nuklir Israel di Dimona, tapi mencak-mencak kepada nuklir
Iran.
Amerika kini merupakan satu-satunya negara besar di dunia yang
menolak meratifikasi Protokol Kyoto, karena para tokoh Kristen
Evangelical yang sangat berpengaruh di Partai Republik dan Gedung
Putih menganggap bukan karbon dioksida yang menyebabkan perubahan
iklim. Semua ditentukan oleh Yang Mahakuasa (Almighty).
Iraq diserang, Saddam Hussein ditumbangkan, karena ia dianggap
pengganti Nebuchadnezzar, Raja Babylonia yang memerangi Israel dan
merusak Jerusalem pada tahun 586 sebelum Masehi. Jadi senjata
pemusnah massal atau upaya demokratisasi hanyalah dalih.
Selanjutnya setahun setelah Baghdad dikuasai, koran the Los Angeles
Times melakukan survei dan menemukan 30 misionaris Evangelical di
kota itu yang menempel (embeded) pada tentara pendudukan Amerika.
Kyle Fisk, Kepala Administrasi the National Association of
Evangelicals, mengatakan kepada wartawan koran itu, ”Iraq akan
menjadi pusat penyebaran ajaran Jesus Kristus ke Iran, Libya, dan ke
seluruh Timur Tengah.” (the Los Angeles Times, 18 Maret 2004).
Pemberantasan penyakit Aids dengan cara pantang berhubungan seks
sembarang (abstinence), abortus diharamkan, begitu pula riset sel
tunas (stem-cell research), dan banyak lagi nilai-nilai Gereja
lainnya. Meski akhir tahun lalu, Partai Republik kalah dalam Pemilu
sela dan kehilangan suara mayoritas di Senat dan DPR, ternyata
Oktober lalu, DPR tetap menyetujui menaikkan anggaran program
abtinence dari 28 juta menjadi 200 juta dollar setahun. Kenapa?
Karena para tokoh Partai Demokrat pun keder pada kelompok Evangelical
yang diduga punya pengaruh atas sekitar 30% pemilih.
Pantaslah Bill Moyers, bekas wartawan televisi yang kini menjadi
aktivis Gereja Evangelical, ketika berbicara di Harvard Medical
School, 4 Desember 2004, berkata, “Untuk pertama kali dalam sejarah
kita, ideologi dan theologi memonopoli kekuasaan di Washington.”
Dimulai sejak zaman Presiden Reagan, tapi terutama pada dua priode
kepemimpinan Bush, pelan-pelan Amerika sudah mendekati negara
theokrasi dan Partai Republik merupakan partai Kristen pertama dalam
sejarah Amerika. Bacalah American Theocracy (Viking Penguin, 2006)
ditulis Kevin Phillips, penasehat politik utama Partai Republik di
zaman Nixon.
Fenomena itu cukup jelas diterangkan Profesor Samuel P.Huntington di
dalam Who Are We? America’s Great Debate (The Free Press, 2005). Saya
tak ingin mengulangi lagi cerita itu. Sudah saya tulis di
www.hdayatullah.com: An-Naim dan “Perang” Presiden Bush, 15 Agustus
2007, dan Hizbut Tahrir, Sekularisme dan Fenomena Global, 27 Agustus
2007. Cerita ini saja sudah terlalu panjang. [www.hidayatullah.com]
* Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung
dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
Ref: http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5919&Itemid=1
Whoa. I can really feel hatred in that article.
Facts Amran Nasution have presented could be true and valid nonetheless …but the hatred. It said something else.
Liberalism, as I know of, got nothing to do with the Americans, their administration, or their politics. Liberalism is liberalism. Humanity is humanity. Kindness is kindness. There are also liberal Christians harshly critisizing Christian politicians/leaders because of the misuse of Christianity as a belief.
Please excuse my sudden urge to quote myself:
“The series of incidents concerning Islam, if not handled seriously and wisely by world leaders and the media, can promptly bring about another dead-end conundrum for the peacekeeping efforts. The debate will inevitably altered into interreligous and interracial topical disputes, which will surely remind people of the violence, deaths, and the horror experienced back then –and if there’s any law that can be placed upon humanbeings of any beliefs, it is the law of fear.”
Thanks for sharing, pak Harry.
… And no, I got nothing to do with JIL. I’m not funded by any organizations. And I’m not here for any conspiracy theory.
Just a humble thought.
Ah…JIL lagi…
cuma satu obsesi mereka kok, demi perut mereka yang digaji dari sebuah negri bernama Amerika …
persis jaman penjajahan dulu, sekelumit kecil bangsa Indonesia yang berkhianat demi roti dan keju … ketimbang harus makan bekatul !
Saya koq merasa bahwa diluar perbedaan pandangan diantara keduanya, Amran dan Ulil sebenarnya sama2 sedang menunjukkan bahwa apabila agama dibawa keluar terlalu jauh dari ruang privat, hasilnya adalah bencana.
Saya sendiri sedang berusaha untuk kembali membawa agama ke ruang privat, minimal untuk diri saya sendiri. Beberapa tahun belakangan saya selalu menghindar untuk menulis isu2 agama di blog saya – yang saya anggap merupakan ruang publik.
Ulasan yang menarik, semoga banyak yang tersadar
Semoga semua tersadar dari dosa aja deh. 😀
Pak Harry, saya request comment saya di-delete ajah yah..
Serem ey kalo udah urusan agama. Nanti semua orang ngojok-ngojok ngga menentu di blog saya.
Maaf, saya non-muslim dan saya ngga anti Amerika. Jadi kalo ada disebut-sebut perihal yang berbau “anti non-muslim dan anti Amerika” di suatu post seorang blogger teknologia yang cukup disegani, serta merta itu akan merepresentasikan blogger Indonesia lainnya donq. Apalagi pak Harry pernah mengulas soal Bridge Blogging.
Tapi ko jadi ngga enak ya kedengerannya?
Jadi nyesel komen disini.
Permisi..
Fakta tetap fakta, dinyatakan dengan cool atau dengan berapi-api.
Keberpihakan juga beda lagi urusannya, sepertinya JIL cs sudah mendapat tempat tersendiri di hati non-muslim.
Sy tidak anti non-muslim, dan apa yang terjadi dengan liberalisme agama-agama selain Islam, I really don’t care.. , mungkin hubungan penganut2 agama akan lebih baik jika penganut agama bukan Islam juga melakukan hal yang sama.
mbak marisa,
Kok Anda terkesan “melecehkan” integritas dan intelektualitas pembaca blog ini ya? pro dan kontra mah biasa mbak. dan kami sih terbuka aja atas segala pendapat, atas berlandaskan argumentasi, data, dan fakta yang jernih.
segitu paranoidnya atas perbedaan pendapat. santai aja…
Jalan pikiran Amran ini mengimplikasikan bahwa kalau di Eropah atau Amerika ada peristiwa kekerasan yang disulut kebencian sesuatu kelompok agama kepada lainnya, maka hal ini dijadikan excuse jika hal yang sama terjadi di Indonesia. Yang bener aja.
Bukan mbak Liberal (Free) Will,
Amran cuma bilang kalo eropa atau amerika gak sesuci yang dikatakan Ulil. Udah bener kayaknya..
Dear mbak Marisa dan mbak/mas Free Will, sepertinya ada kesalah pahaman dari berbagai sisi disini.
.
Secara ringkas – pada saat ini Islam, sebagaimana juga dengan agama-agama lainnya; sedang mengalami masalah ekstrimitas. Nah, yang sering luput kita sadari adalah bahwa ekstrim itu bukan melulu dalam hal fundamentalisme, namun kita pun bisa ekstrim dalam hal liberal / kebebasan.
.
Nah, JIL (Jaringan Islam Liberal) ini sudah sangat keterlaluan dalam liberalnya. Celakanya, karena berkemasan “intelektualitas”, banyak yang jadi terkecoh.
.
Padahal sebagaimana yang dijelaskan oleh Amran di artikel ini, JIL sama sekali tidak intelek.
.
Boro-boro intelek, sekedar menyampaikan fakta dengan benar saja belum.
Bagaimana mau intelek?
.
Saya kira sih beberapa kawan JIL mungkin pada awalnya concern / prihatin dengan masalah ekstrimisme kesempitan wawasan dalam beragama. Namun, mereka juga perlu berhati-hati agar dalam beragama jangan malah menjadi anarkis – tidak ada rambu & batasannya sama sekali.
Seperti banyak aktivis JIL yang telah lakukan selama ini.
.
Dan mas Ardiansyah saya kira benar – Amran hanya menunjukkan kekeliruan fakta pada artikel Ulil. Bukan membenarkan berbagai tragedi yang terjadi di Amerika maupun Eropa.
Silahkan kita semua bisa baca ulang kembali artikel tersebut dengan kepala dingin.
.
Nah, kembali ke soal ekstrimisme, muslim moderat seperti Amran jadi prihatin dengan sepak terjang JIL yang sudah sangat ekstrim. Karena itu dia mau repot-repot menunjukkan berbagai kesalahan JIL yang terlalu mendasar, saya pikir sudah bisa kita anggap sebagai misleading.
.
Ekstrimisme dalam hal apapun bukanlah hal yang baik. Apalagi dalam beragama. Dan JIL bukanlah Islam yang moderat; JIL justru adalah salah satu aliran paling ekstrim di dalam Islam.
.
Demikian, semoga menjelaskan.
Thanks.
apabila agama dibawa keluar terlalu jauh dari ruang privat, hasilnya adalah bencana
.
Saya juga sempat berpikiran begini, terutama setelah saya dihujat habis-habisan pada topik Helio/Geosentris 🙂
Masih terlalu banyak orang yang cuma jadi emosional ketika kepercayaannya dibahas dan ternyata kemudian ditemukan kemungkinan besar sebenarnya keliru.
.
Tapi setelah saya pikir lagi, kalau diskusi / sharing untuk bersama-sama mencari pencerahan, saya kira justru perlu dan bermanfaat.
Yang penting niatnya jangan cuma sekedar untuk debat kusir, karena ini tidak pernah ada manfaatnya.
.
Khusus posting yang ini, ini adalah usaha saya untuk mendokumentasikan berbagai kekeliruan JIL.
Harapan saya mudah-mudahan yang menemukan artikel ini jadi berpikir dan mengevaluasi ulang pandangan mereka terhadap JIL dengan lebih berimbang.
.
Memang tidak ada apa-apanya saya kira, mengingat mereka punya akses ke sangat banyak media massa. Tapi kalau saya tidak melakukan yang kecil & bisa saya lakukan ini, rasanya kok tidak benar juga.
.
Mungkin demikian. Thanks.
Salah satu contoh kesalah pahaman lainnya bisa kita baca di posting ini.
.
Kalau saya mau “balas” dengan kesalah pahaman lagi, terutama kutipan terakhir dari posting Benny tsb (kira-kira tulisan Tjipta Lesmana Widyaiswara yang dimuat di Kompas itu bakal diprotes sama orang-orang tertentu gak ya?), itu bisa saja.
Misalnya; dari kalimat tersebut, saya anggap Benny sama seperti sebagian orang Amerika, menganggap orang Islam adalah teroris = menghina orang Islam.
.
Cuma saya mencoba berprasangka baik, dan berasumsi mungkin Benny belum tahu cerita yang selengkapnya.
Apalagi sifat media massa yang memang serba terbatas (atau kadang memang sengaja memprovokasi, hi detik.com ™ ), sehingga artikel-artikelnya rentan disalah pahami.
Salah satu contohnya bisa dibaca pada komentar Mieka di posting Benny tsb (kemudian saya berkomentar untuk mengklarifikasinya)
.
Jadi saya memilih berprasangka baik, dan menjelaskan sisi-sisi lainnya dari topik tersebut.
.
Saya kira ini yang paling ideal – jika ada kesalah pahaman, kita coba meluruskan dengan baik. Apalagi sekarang sudah ada blog, kita bisa berkomentar atau kita bisa membahasnya di posting kita sendiri.
.
Namun memang tidak mudah, dan kadang kita juga bisa lupa (dan saya mungkin yang paling sering). Namanya juga manusia, jadi kita perlu juga memaklumi ini.
Kuliah S3 kok malah makin nggak bener ya? Ada apa ini?
JIL dan Ulil memang tidak ada habisnya yah, selalu seru untuk dibahas karena posisi mereka yang selalu berlawanan dengan mainstream.
Menurut saya, sesuatu yang benar dapat menjadi salah kalau diberikan dengan salah, dan saya melihat JIL sedikit atau banyak salahnya dalam membungkus pesan-pesan intelektulitas yang ingin mereka sampaikan. Masyarakat Indonesia belum siap untuk menerima gaya JIL yang mungkin terlalu bebas dan berani. Tapi patut diakui bahwa JIL sendiri memang memiliki banyak pemikir muda yang berpotensi. Menurut hemat saya, mereka ada bukan untuk dimusuhi tapi untuk dirangkul dan diajak bersahabat. Toh, kita ini sama-sama umat Muslim yang saya yakin punya tujuan mulia dalam hidup ini.
Salam damai untuk semua.
Kebanyakan pengikut atau pendiri JIL adalah orang yang kuliah agama di Eropa atau Amerika, Apakah salah kuliah di Eropa atau Amerika? tentu tidak, karena memang disana bisa dibilang sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan modern. Sangat cocok kalau ingin belajar mengenai teknologi atau yang berhubungan dengna ilmiah.
Tapi menjadi sangat tidak cocok kalau kuliah di Eropa atau Amerika untuk urusan kuliah agama Islam. Karena mayoritas dosennya kemungkinan besar adalah non muslim, mana mungkin orang non muslim bisa mengajar agama Islam dengan baik? Pasti disesuaikan dengan cara berfikir mereka tentang agama.
Seorang ahli ekonomi pasti akan menjadi salah kaprah jika melakukan tafsir tentang kesehatan karena tidak memiliki dasar tentang itu. Begitu juga dengan orang yang tidak ahli dalam Islam termasuk AlQuran kok mau menafsirkan AlQuran, jadinya ya salah kaprah, kurang lebih seperti itulah JIL…CMIIW
Ah, kuliah di Amerika untuk belajar agama Islam juga tidak ada salahnya. Memangnya belajar Islam harus selalu pada orang Islam? Apa anda yakin kalau semua khazanah ilmu keislaman itu sudah dikuasai semua oleh orang Islam? Tahukah anda bahwa banyak manuskrip kitab-kitab klasik hasil para pemikir Muslim di jaman keemasan Islam sekarang justru berada di perpustakaan2 barat?
Saya lihat dari kawan2 saya yang belajar di Azhar Kairo, skripsi mereka kebanyakan malah tentang issue2 kontemporer, jarang sekali yang memeriksa warisan intelektual kaum Muslimin. Apalagi mahasiswa di Indonesia.
Justru di barat lah Ibn Khaldun dan Ibn Rusyd dibahas kembali. Justru di barat lah pemikiran2 Mu’tazilah diteliti lagi dan diselidiki mengapa sampai dituduh sesat oleh banyak ulama.
Lha di kita? Belum2 sudah dianggap sesat.
Saya setuju dengan guebukanmonyet bahwa persoalan JIL adalah persoalan packaging. Orang Indonesia belum siap untuk menerima pemikiran radikal.
Emangnya belajar Islam harus dengan Barat?
Apa yakin khasanah ilmu keIslaman sudah dikuasai semua oleh Barat?
Apakah manuskrip kitab2 (atau bentuk digital deh hehe) klasik hasil pemikir Muslim jaman keemasan tidak ada di perpustakaan di negara2 Islam?
***
Jangan2 ini permainan “ngadu fakta” bagian kedua ya 😀
Dari Free Will dan guebukanmonyet bisa kita lihat salah satu cara-cara berpikir dan mengecoh orang2 lain dalam beragumentasi *JIL banget :d*, selalu berputar2 tidak jelas bukan pada aspek perkaranya, memutar bahasan ke hal lain yang menimbulkan perdebatan baru padahal intinya tidak disinggung.
Hello yang kita omongkan sekarang ini masalah ketidak jujuran atau ketidak telitian mungkin dalam mengambil fakta untuk berargumen. Ya bahas itu dong.
Kami umat Islam butuh ilmu dan sumber yang benar, terserah kalau yang lain mau begitu. Karna ini masalah akhirat, yang hasrat kami atasnya jauh lebih besar dari dunia ini, jadi kami jauh lebih hati2. Sedangkan di dunia ini anda2 semua tidak ada yang mau dioperasi jantung oleh Dokter Gigi ?? Atau apakah anda akan diam saja begitu tau ada dokter mallpraktek atau tidak punya ijin praktek ????
Kalau Ulil keliru mengutip bahwa Romney jadi gubernur 2 kali, padahal yang sebenarnya adalah sekali — saya yakin dia tidak bermaksud berbohong. Ini kekeliruan yang bisa terjadi ama siapapun. Ini adalah kenyataan yang dengan sangat mudah bisa ditemukan oleh orang yang bisa nge-google. Seharusnya Amran melihat bahwa message dari tulisan Ulil itu adalah the fact bahwa Romney was elected despite his being a Mormon.
Peristiwa2 “persekusi” yang dikutip Amran itu merupakan eksepsi, bukan sesuatu yang normatif. Coba lihat deh, berapa juta kaum Muslimin imigran dari Pakistan yang menetap di Inggris, yang sekarang bahkan banyak di antaranya sudah jadi “sir” atau “lord.” Banyak di antara imigran itu yang lari ke barat karena persekusi di tanah airnya. Kenapa mereka tidak melarikan diri ke Indonesia? atau ke Brunei? atau ke Iran?
Amran bilang susah banget orang Islam bikin mesjid di Amerika. Secara paralel, fundamentalis Kristen juga bisa bilang: hampir mustahil mendirikan gereja di perkampungan Islam di Indonesia.
Kalau hasil pemilu dipengaruhi oleh afiliasi keagamaan para voters … ah, ini mah wajar banget, dan bukan karena kebencian atau persekusi. Orang itu kan kalau ngumpul “likes with likes.”
Bahwa banyak kelemahan barat dalam konteks relasi mereka dengan kaum Muslimin, itu juga sebuah kenyataan yang harus diakui. Tapi jangan sampai kita menutup mata dari sekian banyak kelebihan yang mereka tunjukkan kepada orang Timur (termasuk orang Islam.)
Saya kira analogi “dokter gigi ngoprasi jantung” betul2 tdk tepat dan salah kaprah. Mestinya Muhammad Subair melihat dulu CV orang2 yang mengaku dirinya Islam liberal itu (maaf saya bukan termasuk mereka lho). Banyak mereka itu lulusan Azhar, IAIN, pesantren2, dsb. Artinya mereka punya kredential yang memungkinkan mereka mengemukakan pendapat secara otoritatif. Hati-hati ah, jangan sembarangan nyebut orang tidak “intelek.”
Kalau menurut saya, daripada nuduh orang bohong atau tidak intelek, mendingan analisa saja pendapat yang dikemukakannya dan konfrontir dengan fakta lain. atau mungkin juga dengan melihat persoalan yang diajukan dari perspektif yang berbeda. Saya kira apa yang dilakukan oleh Amran sudah cukup baik, tinggal bahasanya saja dipoles.
Kalau Ulil keliru mengutip bahwa Romney jadi gubernur 2 kali, padahal yang sebenarnya adalah sekali — saya yakin dia tidak bermaksud berbohong
.
Kalau ini orang lain, memang idealnya kita berprasangka baik dulu.
.
Tapi ketika kita bicara JIL, yang sudah berkali-kali terbukti membelokkan fakta dan berbagai trik lainnya (1), maka naif sekali kalau kita mempercayai begitu saja.
Sudah jelas mereka punya agenda, dengan sponsor yang bias terhadap Islam, dan lalu aksi-aksinya juga sudah terbukti kontra-produktif & menghalalkan cara-cara yang tidak benar.
.
Kalau masih juga sampeyan percaya buta dengan mereka, maka otomatis intelektualitas Anda saya ragukan.
.
Peristiwa2 “persekusi†yang dikutip Amran itu merupakan eksepsi, bukan sesuatu yang normatif. Coba lihat deh, berapa juta kaum Muslimin imigran dari Pakistan yang menetap di Inggris, yang sekarang bahkan banyak di antaranya sudah jadi “sir†atau “lord.†Banyak di antara imigran itu yang lari ke barat karena persekusi di tanah airnya. Kenapa mereka tidak melarikan diri ke Indonesia? atau ke Brunei? atau ke Iran?
.
Ya, saya juga bingung dengan hal ini. Tapi, sepertinya ini masalah image.
Istilah inggrisnya : neighborhood’s grass is always greener
.
Baru beberapa hari yang lalu saya meeting dengan seorang brother Uzbekistan. Dia bertanya-tanya kepada saya mengenai cara masuk ke Inggris atau Amerika.
Padahal istri saya sampai sempat di harass di Inggris & setelah 9/11 banyak muslim yang dizalimi di Amerika, tapi dia tetap mengira hidup disana lebih baik.
.
Alhamdulillah setelah agak lama berdiskusi akhirnya dia mau mempertimbangkan Kanada. Tapi tetap tidak tertarik untuk ke Brunei. Padahal saya sudah ceritakan mengenai beberapa kawan saya yang sudah sukses disana.
Ya sudahlah, setidak-tidaknya Kanada masih agak mendingan, mereka cenderung sangat toleran dengan pendatang.
.
Yah, begitulah keadaan umat Islam saat ini, Barat-minded banget. Serba kebarat-baratan.
Semua yang dari Barat itu menurut mereka pasti bagus. Langsung terpesona dengan berbagai kerlap-kerlipnya. Begitu ada sesuatu dari Barat, filter kritis di otak kita langsung mati duluan.
.
Nah, JIL, yang katanya gerombolan intelektual itu, ternyata malah justru Barat-mindednya yang paling parah.
Alamak… asal dari Barat, maka langsung tidak pakai filter; langsung ditelan mentah-mentah tanpa dikritisi lagi. Sedangkan pondasi-pondasi agama justru digoyang-goyang terus.
Padahal kalau gedung yang kita ganggu pondasinya, musti siap-siap saja jadi runtuh dan kita semua mati terkubur di reruntuhannya itu.
.
Jadinya mengecewakan sekali.
.
Amran bilang susah banget orang Islam bikin mesjid di Amerika. Secara paralel, fundamentalis Kristen juga bisa bilang: hampir mustahil mendirikan gereja di perkampungan Islam di Indonesia.
.
Sori mas, konteksnya berbeda jauh. Kebetulan saya sudah mengalami sendiri, jadi saya tahu betul situasinya.
.
Di luar negeri, kita membuat mesjid adalah sekedar untuk keperluan komunitas sendiri. Kita tidak tertarik untuk melakukan konversi (memurtadkan) orang lain dari agama mereka.
Kecuali, tentu saja, kalau mereka yang datang sendiri ke mesjid kita dan bertanya-tanya tentang Islam, tentu biasanya diladeni dengan baik.
.
Nah, di Indonesia ini sayangnya adalah gudang para ekstrimis (2) (3), baik Islam maupun Kristen, dll. Yang ekstrimis Kristen (bukan yang moderat ya) ini sangat doyan berusaha memurtadkan umat agama lainnya. (kalau soal ini saja masih denial sebaiknya Anda baca artikel ini dulu; dan ini masih contoh yang belum terlalu parah. Kalau mau data yang lebih lengkap, bisa datang ke perpustakaan Dewan Dakwah misalnya)
Ini jelas menyusahkan semua pihak karena mereka menghalalkan berbagai cara, termasuk ketika dilarang beroperasi maka mereka tetap melakukannya secara sembunyi2 (misal: dengan memanfaatkan rumah menjadi pusat operasinya, dst). Juga berbagai modus operandi yang tidak etis, seperti aid for faith, dst.
.
Baik di luar negeri maupun di Indonesia sudah ada aturan mainnya untuk membuat rumah ibadah. Tinggal diikuti saja.
Dan setelah rumah ibadah itu jadi, jangan luput untuk bermuamalah secara baik dengan umat di sekitar kita. Common sense saja ini saya kira.
.
OK, itulah beberapa tambahan dari saya. Mudah-mudahan menjadi jelas.
Thanks.
.
.
catatan :
.
(1) beberapa contoh:
JIL tertangkap basah
JIL tertangkap basah (lagi)
Disinformasi dari kubu JIL
.
(2) Sekedar informasi; saya punya banyak kawan yang bukan muslim. Dan bagi kami tidak ada masalah, sesama prinsip lakum dinukum waliyadin bisa dilaksanakan, maka beda agama bukan penghalang untuk bermuamalah.
Bagi yang menjalankan agamanya dengan benar, maka akan bisa berhubungan secara baik dengan siapa saja.
.
(3) Saya keberatan menggunakan istilah “fundamentalis” untuk mewakili para ekstrimis.
Karena secara literal, seseorang yang fundamentalis justru bagus. Istilah lainnya yang setara mungkin adalah “back to basics”; kembali ke hal-hal dasar yang memang relevan & penting.
Saya tidak suka menggunakan istilah fundamentalis yang diplesetkan / digunakan untuk mewakili para ekstrimis. Para ekstrimis bukanlah fundamentalis – karena mereka telah berlebih-lebihan dalam beragama. Dan dalam Islam, ini justru dilarang dengan tegas.
.
Jadi, ketika ada pihak yang dengan sengaja menggunakan istilah fundamentalis untuk merujuk kepada para ekstrimis, seperti yang banyak dilakukan oleh para orientalis sejak dulu; maka saya anggap mereka sepaham dengan para orientalis ini dan memiliki agenda yang sama — untuk menjelekkan para fundamentalis, dan justru membiarkan para ekstrimis yang sebenarnya (terutama mereka sendiri) bebas bertindak tanpa terkena label yang berkonotasi negatif.
.
Secara ringkas: bukan orang yang baik & bisa kita percaya.
Banyak mereka itu lulusan Azhar, IAIN, pesantren2, dsb. Artinya mereka punya kredential yang memungkinkan mereka mengemukakan pendapat secara otoritatif.
.
Saya pribadi selalu berusaha untuk tidak tersilaukan dengan gelar akademis begitu saja, dan lebih mencoba fokus ke substansi yang mereka bawakan.
.
Sudah terlalu sering saya mendapat pelajaran hidup yang berharga justru dari orang-orang yang biasanya tidak dilirik oleh orang lainnya; sementara berbagai “ustadz” / “kiyai” / “intelektual” / “pakar” malah sudah banyak yang mengecewakan.
.
Malah ada beberapa kawan saya yang sudah menjadi apatis terhadap Islam (konversi menjadi agnostic / atheis), karena trauma dengan “kiyai” / “ustadz” (lulusan Saudi, Mesir, dll) yang kelakuannya benar-benar sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.
.
Jadi sebaiknya memang kita fokus ke substansi, bukan label / kemasan. Supaya kita tidak jadi kecewa sendiri di kemudian hari.
Thanks.
http://akmal.multiply.com/journal/item/206
Mbak Liberal(Free) Will dan mbak gebukanmonyet
Kliping om Akmal. Silahkan dibaca.
Selama pemikiran kaum liberal (JIL, sebagian IAIN, sebagian Depag) dikonsumsi sendiri saya gak perduli. Jadi perdamaiannya adalah hingga mereka berhenti dengan “dakwah liberal” nya.
Kita harus membedakan antara pelajaran hidup dengan “intellectual exchange.” Kalau menurut saya, tulisan Amran, terlepas dari gaya bertuturnya, merupakan intellectual exchange. Pelajaran hidup dapat diperoleh dari siapapun, bahkan kita bisa belajar sangat banyak dari anak kecil yang kini banyak beroperasi di lampu merah di banyak tempat di Jakarta.
Dalam konteks diskusi dengan JIL, it goes without saying bahwa yang dimaksudkan adalah “intellectual exchange” ini, atau lebih tepat lagi (barangkali) adalah “academic exchange.”
Assalamualaikum wr wb
Fyi saja, di web JIL, artikel Pak Ulil yang di respon sama Pak Amran sekarang sudah lenyap. “Article not found… ” ceunah. Entah apa hanya krn web-maintenance atau alasan lain. Apakah modus yang sama dg artikel re. “Quran kitab paling porno” terulang. He.. he … su’udzhan saya …
Kalau ada yang mau baca artikel lengkap Pak Ulil ini saya lampirkan:
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1310
Amran dan Beberapa Kekeliruan
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
30/11/2007
Seseorang mengirimkan sebuah artikel yang ditulis oleh Amran Nasution, bekas
wartawan Tempo dan Gatra, tentang aliran sesat di Indonesia. Artikel ini dimuat
oleh Majalah Hidayatullah edisi November 23. Secara keseluruhan, artikel Amran
ini memperlihatkan cara berpikir yang sangat rancu. Ada tiga hal yang ingin saya
kemukakan terhadap artikel ini.
Pertama, Sdr. Amran menyebut sejarah kelam Eropa berkenaan dengan persekusi
agama yang dilakukan oleh gereja Katolik. Menurut dia, sikap agama Katolik
terhadap sekte-sekte yang menyimpang lebih kejam. Dia lalu mengatakan bahwa
fatwa mati yang dikeluarkan oleh Ayatullah Khomeini terhadap Salman Rushdie
adalah sesuatu yang sudah dikenal dalam sejarah Eropa.
Argumen ini tentu amat menggelikan. Sejarah kelam gereja Katolik justru
menjadi pemantik lahirnya reformasi besar-besaran dalam agama itu dan akhirnya
melahirkan agama Protestan. Sejarah kelam ini pula yang melahirkan sejumlah
traktak filsafat politik penting mengenai pentingnya toleransi agama seperti
yang ditulis oleh John Locke, John Stuart Mill, atau Roger William (di Amerika).
Eropa belajar dari sejarah kelam itu hingga sekarang. Hasilnya tentu bukan
main: lahirnya negara sekuler yang melindungi kebebasan beragama. Atau tepatnya:
melindungi agama dari intervensi negara (versi Roger William), dan melindungi
negara dari intervensi agama (versi Thomas Jefferson). Kedua intervensi itu
sangat buruk akibatnya baik bagi agama atau negara sendiri. Saat ini, di seluruh
negeri Eropa dan Amerika (juga Kanada dan Australia) nyaris “mustahil”, sekali
lagi nyaris mustahil, kita jumpai kasus sebuah sekte diberangus atau dirusak
propertinya karena membawa ajaran yang menyimpang.
Semua sekte, aliran, mazhab, dan keyakinan bisa berkembang bebas di
negeri-negeri Barat. Di Amerika Serikat, misalnya, ada sebuah sekte besar dalam
agama Kristen bernama Mormon yang jelas dari sudut ortodoksi Kristen bisa
dianggap menyimpang jauh. Tetapi agama ini berkembang bebas, terutama di negara
bagian Utah. Bahkan salah satu pengikutnya, yaitu Mitt Romney, pernah menjadi
gubernur dua periode di negara bagian Massachusetts. Romney saat ini malah ikut
menjadi calon presiden Amerika dari Partai Republik.
Sejarah kelam Eropa mestinya menjadi pelajaran bagi siapapun. Yang
menyedihkan, umat Islam, sekurang-kurangnya seperti kita lihat di Indonesia saat
ini, pelan-pelan justru sedang mengulang sejarah “buruk” itu. Pada saat umat
Katolik dan Kristen sudah mulai meninggalkan sejarah “sesat-menyesatkan” itu,
sekarang malah umat Islam mulai belajar mengulangi kembali. Tentu ini amat
menyedihkan.
Lebih menyedihkan lagi bahwa hal ini terjadi pada agama yang selalu
membanggakan diri dengan ayat “la ikraha fi al-din”, tidak ada paksaan dalam
agama. Sikap yang selalu “dilantunkan” oleh Depag dan MUI bahwa Jamaah
Ahamadiyah harus kembali ke jalan yang benar, yakni mengikuti ajaran Islam
“mainsream”, misalnya, adalah jelas bentuk dari pemaksaan keyakinan, dan jelas
pula berlawanan dengan ayat yang selalu dibanggakan oleh umat Islam itu. Sudah
tentu, kalangan “ortodoks” Islam akan mengatakan bahwa kebebasan beragama
seperti dikemukakan oleh ayat itu tidak berlaku “seenaknya” saja. Tafsiran
ortodoks inilah yang dipakai sebagai salah satu argumen oleh Sdr. Amran.
Mengenai ini, saya akan menanggapi dalam poin kedua berikut ini.
Kedua, Sdr. Amran mengemukakan sesuatu yang menarik. Saya akan kutip
pernyataan dia selengkapnya: “Kalau Moshaddeg membuat agama baru yang tak dia
kaitkan dengan Islam, apakah namanya Progresif, Liberal, atau Neocon, lalu dia
susun ajarannya sesuka hati, pasti tak ada yang keberatan, apalagi membuat
fatwa. Paling dia dianggap gila, atau orang salah jalan yang harus didakwahi.
Sebenarnya, keberatan, protes, atau marah, ketika agama yang dia muliakan
dihina, bukan monopoli ummat Islam, apalagi ummat Islam Indonesiaâ€. Pandangan
Amran ini, saya duga, merupakan cara berpikir standar kalangan Islam konservatif
di Indonesia. Ada “kerancuan” dalam cara berpikir seperti ini:
[a] Kita tak bisa mencegah siapapun untuk mengemukakan tafsiran atas agama
Islam, termasuk mengubah syahadat, jumlah rakaat salat, dsb. Saya sendiri jelas
tak setuju dengan tindakan seperti ini. Kalangan ortodoks bisa mengeluarkan
“fatwa” bahwa tindakan semacam itu adalah salah dari sudut pandang ajaran Islam
“mainstream”. Kalangan ulama berhak pula memberikan peringatan kepada umat agar
hati-hati terhadap ajaran seperti ini.
Tetapi MUI atau siapapun tidak berhak melarang “sekte” seperti itu, atau
memaksa mereka kembali kepada ajaran yang menurut MUI benar. Hak sekte tersebut
untuk berkeyakinan seperti itu, tak bisa dicegah, karena dilindungi oleh
konstitusi. Kata-kata yang selalu saya ingat dari Roger Williams, seorang
pejuang gigih kebebasan beragama di Amerika, adalah “iman yang dipaksakan akan
terasa “bau” di hidung Tuhan”. Masyarakat tidak bisa dicegah untuk memeluk
keyakinan apapun, asal keyakinan itu tidak menimbulkan kerusakan fisik yang
melanggar hukum sipil yang ada. Inilah prinsip kebebasan beragama yang menurut
saya konsisten dengan deklarasi Qur’an, “la ikraha fil al-din”.
(b) Kalau kita mau sedikit menoleh sejarah ke belakang, pernyataan Amran ini
juga amat janggal. Dilihat dari kaca mata Kristen, jelas agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saat itu melakukan “tampering” atau mencomot dari ajaran
Kristen “dengan seenaknya” (memakai istilah Sdr. Amran) dan mengubahnya sesuai
dengan keyakinan Nabi.
Dari kaca mata Kristen, tindakan itu tak beda jauh dengan tindakan Ahmad
Mushaddeq saat ini: mengubah ajaran agama lain dan menambahi atau mengurangi
dengan seenaknya. Kalangan Kristen saat itu saya bayangkan akan mengatakan hal
serupa seperti dikatakan oleh Amran saat ini terhadap aliran al-Qiyadah
al-Islamiyah: “Wahai Muhammad, kalau kamu mau bikin agama baru silahkan, tetapi
jangan mencampuri keyakinan kami.”
Karena alasan inilah, hingga jauh di abad pertengahan, dan bahkan mungkin di
kalangan tertentu yang “fundamentalis” mungkin masih bertahan hingga saat ini,
kalangan Kristen memandang Nabi Muhammad sebagai “impostor” atau nabi palsu.
Mereka juga melihat agama Islam sebagai “versi yang distortif” dari agama
Kristen. Pandangan yang lebih positif melihat Islam sebagai “reformed
Christianity”, sebagaimana agama Kristen sendiri merupakan “reformed Judaism”.
Cara pandang Amran dan kalangan Kristen abad pertengahan itu berdiri atas asumsi
yang sama.
Ketiga, isu terkhir dalam tulisan Amran yang ingin saya tanggapi adalah
berkaitan dengan masalah “blasphemy” atau penghinaan atas agama. Amran
mengatakan bahwa penghinaan atas agama juga tak diperbolekan dalam hukum positif
yang berlaku di negeri-negeri Eropa dan Amerika. Artikel tentang “blasphemy”,
kata dia, ada dalam hukum yang berlaku di negeri Inggris, misalnya. Pernyataan
Amran ini memang benar. Memang, pasal tentang blasphemy ada dalam hukum yang
berlaku di sejumlah negara-negara Barat. Sebagaimana kita tahu, sejarah hukuman
yang ditimpakan kepada mereka yang dianggap sebagai menghina agama Kristen di
Eropa sangat brutal. Sejarah seperti ini tak perlu dicontoh di negeri Islam.
Tetapi, apa yang dikatakan oleh Sdr. Amran barulah separoh dari cerita. Di
negeri-negeri Barat, pasal blasphemy itu hanyalah pasal ompong. Secara formal
memang ada dalam hukum mereka, tetapi semakin lama semakin jarang dipakai. Ini
terjadi, antara lain, karena suksesnya perjuangan kelompok-kelompok kebebasan
berpendapat di sana.
Di Inggris sendiri, kalau saya tak salah, pasal soal blasphemy ini dipakai
terakhir kali pada tahun 1977 dalam kasus Mary Whitehouse, seorang aktivis yang
dengan gigih ingin menegakkan moralitas Kristen dalam ruang publik. Dia menuntut
majalah Gay News yang menyiarkan sebuah puisi karya James Kirkup yang ia anggap
melecehkan figur Yesus. Pengadilan akhirnya memenangkan Mary. Keputusan
pengadilan ini mendapat tentangan yang keras dari kalangan “humanis” dan pejuang
kebebasan sipil di Inggris. Setelah kasus itu, isu blasphemy tak pernah muncul
kembali. Kalangan Islam hendak memakai pasal itu untuk melawan Salman Rushdie,
seperti diceritakan dengan benar oleh Sdr. Amran dalam artikelnya. Usaha itu
gagal karena perlawanan dari kalangan pejuang kebebasan sipil, seperti kelompok
Article 19. Perlawanan ini jelas bukan diarahkan semata-mata kepada Islam,
tetapi juga kepada agama Kristen, sebagaimana kita lihat dalam kasus Mary
Whitehouse.
Di Amerika Serikat sendiri, pasal tentang blasphemy juga masih bertahan di UU
beberapa negara bagian, antara lain negara bagian Massachusetts. Pasal ini
dipakai untuk terakhir kali di Massachusetts pada tahun 1838 dalam kasus
Commonwealth v. Kneeland. Setelah itu, pasal ini tak lagi dipakai. Kasus ini
muncul untuk terakhir pada level pengadilan federal pada tahun 1952 dalam kasus
Joseph Burstyn, Inc. v. Wilson. Dalam kasus itu, Mahkamah Agung menolak memakai
pasal “blasphemy” karena melanggar prinsip kebebasan berpendapat.
Pasal penghinaan agama ini juga ada dalam KUHP kita. Kita, terutama para
aktivis yang bergerak dalam isu kebebasan beragama, perlu dengan sungguh-sungguh
memikirkan masalah definisi penghinaan agama ini. Pasal seperti ini persis
seperti “hatzaai artikelen” atau artikel kebencian yang dulu kerap dipakai oleh
rezim otoriter Suharto untuk memberangus kritik. Pasal seperti ini bisa dipakai
oleh kalangan konservatif Islam untuk memberangus tafsiran-tafsiran yang
dianggap melawan tafsiran kaum ortodoks.[]
Referensi:
@Om Budi : good job !
Tahun lalu, di Korea ada professor yang diberhentikan karena hasil risetnya tentang kloning yang diterbitkan di jurnal bergengsi diketahui sebagai dusta karena data yang dimanipulasi.
Tahun lalu juga seorang professor di universitas no 1 di Jepang dipecat karena kasus yang sama.
Ada satu karakter yang harus melekat pada diri orang yang mengaku “intelek” atau terpelajar yaitu kejujuran. Dan rupanya sekelompok orang yang mengaku intelek membuktikan kalau mereka tidak memiliki karakter itu.
kapan ya tulisan2 ttg JIL disini bisa ngalahin peringkat di google klo orang nge search ttg JIL 🙂
One Words
Fight….fight….fight….
Si Ulil suruh taubat tu…
Kalau kagak HALAL DARAHnya tu orang – orang JIL.
Musuh yang paling berbahaya, ya itu orang – orang
kayak dia
Sorry yah mas esmosi.
Semoga Sadar dengan apa yang dia telah lakukan… yang saya sering heran kok Media seperti Kompas, Jawa Post dan banyak lagi bisa memuat artikel berbau aneh seperti ini….
Kalau ada yang berminat, kelanjutan dari polemik ini bisa di ikuti pada link berikut:
http://groups.yahoo.com/group/insistnet/message/8870
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6150&Itemid=1
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6164&Itemid=1
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Mari kita bangun negara kita tercinta ini, Indonesia merdeka 🙂
JIL iku nek neng kampungku jenenge wong keblinger…
karepe ben diarani wong pinter, tapi keminter….
njajal di takoni, ben wulan oleh bayar piro seko amerika lan organisasi londo2 kuwi?
dadine sing mesthi,: ben tersu dibayari gajine ben wulan, yo kudu ngapik apik ndorone, kudu gelem babune sing siap ndilati Ndorone…
Orang2 JIL adalah orang2 yg yang terlihat pinter dimata manusia karena akal mereka yang licik dengan men-tuhankan pikiran mereka sendiri sadar atau gak sadar, karena itu mereka gak bakal takut dengan tuhan manapun. Ini sama banget dengan fir’aun…jadi rasanya percuma kalo dinasehati, dimarahin, dihina…wong Tuhan aja mereka ga takut apalagi manusia…he.he…JIL=menuhankan akal=menuhankan diri sendiri=sirik se-sirik2nya….
Yang paling mereka takuti itu kalo orang-orang gak menerima pemikiran mereka…gak menerima kata-kata mereka…makanya yang gak mau menerima mereka bakal dikatain konservatif, kolot, gak terbuka, keliru, pengetahuannya kurang plus seribu alasan lainnya…dan yang paling-dan paling mereka takuti itu…kalo gak lagi dapet kucuran dana terutama dari israel dan amrik…karena kalo gak dapet kucuran dana perut mereka kosong. Terus kalo perut mereka kosong pikirannya gak jalan trus mati deh tuhan mereka..khan tuhan JIL=akal=perut…jadi sebener2nya tuhan mereka itu..ya PERUT mereka sendiri….ha..ha..ha…
Dan…….. sebenernya mereka itu sudah diberi peringatan sama Allah…contohnya si gus dur…ha..ha..dibuat picek..bute…tapi ngakunye msh ngliat..iye yg diliat cma dirinya sendiri….ha..ha.. termasuk para pengikut dan simpatisan gus dur banyak jg yg dibuat picek tapi tetep aj gak nyadar…tapi yakinlah orang2 seperti itu umurnya panjang biar penderitaannya di dunia ini tambah lama sampe mereka berharap dimati’in oleh Tuhan…tuhan yg mana…he..he..kan mereka sendiri yg jadi tuhan…..
makanya silahkan sebarkan seluas-luasnya tentang kesesatan JIL ini ke semua keluarga ente, sahabat-sahabat, teman-teman, relasi dan tetangga-tetangga ente semua biar pada tau nih…si JIL “musuh besar dalam selimut” untuk seluruh umat Islam di Indonesia yang tentunya lebih sangat bahaya dari yahudi kalo didengerin apalagi kalo sampe ngikut…yah kayak setan gitchu…setrilyun tipu daya ujungnya ngajak masuk neraka deh…malah kalo bsa dibuat program dakwah sebulan penuh di seluruh masjid di Indonesia mengupas tentang “KESESATAN JIL ” yang merupakan biang munculnya aliran2 sesat di Indonesia ini biar seluruh umat Islam di Indonesia pada tau dan ngerti….
btw ada gak yg udah bentuk pasukan khusus untuk menumpas JIL???….gue mau nih ngikut…lumayanlah kalo bsa ikut nyembelih ulil and the gank khan darah orang2 kayak mereka dihalalkan buat membahasahi bumi…..
afwan……
wah….kenapa saya baru tahu ya ada forum yang membahas tentang JIL (Jaringan Iblis Liberal), Sory kata Islam saya ganti Iblis, karena saya beranggapan mereka bukan orang Islam, tapi penyesat umat Islam? penyesat umat Islam=Iblis. saya harap, semoga saya tidak telambat lagi mengikuti forum2 seperti ini tanpa tertinggal satu topikpun. lumayan bisa buat tambahan pengetahuan ‘n bekal kalo pas ikut acara debat. Thx a lot….
saya sangat setuju dengan tulisan saudara arman, karena Ulil dalam penulisan tidak pernah memberikan fakta seperti dikatakan barat sangat sooan dalam kebebasan beragaama, ternyata tidak seperti larangan jilbab fi perancis, itu dalam hal kebebasan beragama hal yang lain adalah pemberabgusan Buku Harun yahya atlas of creation yang melawan teory darwin dan mengatakan konsep pemerintahan islam Khilafah sebagai konsep kegelapan, disini bukan masalah memberikan justifikasi dengan apa yang terjadi pada negeri kita, tapi hanya memberikann gambaran bahwa negeri kita ini lebi baik dari mereka dalam hak kebebasan dan akan melangkah kepada kesempurnaan, kenapa terlihat Umat Islam yang diwakili oleh para segelintir kaum “ekstrim” banyak menuntut, karena konsep demokrasi tidak dijalankan apa itu “pox popili pox dei” dimana mereka sebagai mayoritas nasibnya hanya ditentukan oleh sekelompok orang, sebagai contoh masalaha syariat Islam tidak pernah diaadakan reefrendum tentang pemakaian ataupun penghapusan isi sila tersebut walaupun dalam UUD 45 ada pasal tentang referendum tapu hanya dipustuskan oleh sekitar 4 orang, ini terkesan ada pemarginalaan hak Umat islam dan hal ini lah yang membbuat Umat Islam berlaku Eksterem agar eksistensinya diakui sebagai pemegang saham terbesar, sama seperti orang russia pada jaman Uni sovyet dimana mereka wilayah dan kompsosisi bagian paling besar tapi tidak mempunyai negara bagian yang memiliki hak otonom dan yang kecil2 seperti georgia punya dan mereka tidak pernah menjabat sebagai kepala negara, lenin berasal dari asia tengah, stalin dari georgia lalu ini membuat mereka manjadi ekstrim dengan menyebut Georgia sebagai Babushkya anak kecil yang suka mereka dan teroris, hal yang sama terjadi juga pada Islam di indonesia karena banyak hak mereka di anulir membuat Islam menjadi radikal dan menolak paham – paham baru dan menganggap agama lain sebagai lawan dari ekssitensi Islam/
melihat fenomena JIL bikin saya ngeri, mudah2an generasi2 setelah saya dijauhkan dari paham2 liberal seperti yg diyakini JIL (walaupun orang2 JIL sendiri mungkin juga tidak yakin akan keyakinannya sendiri).
Ulil2x lagi. cari duit dari ngejelek-jelekin agama islam
mendingan gak usah di anggap deh si ulil.
bahasanya ajah aneh!
susah ngertinya terlalu bertele-tele kesana kemari.
maksudnya tetep jelekin agama islam
denger2 yang namanya Ulil padahal sempet kuliah juga di LIPIA ya? terus dapet biasiswa, pindah kuliah. jadinya liberal.
Aduh2 ga ada habisnya ya, sebenarnya pd capek ga sih ngurusin masalah umat baik versi JIL & versi Islam 100% murni (kaffah). Mungkin sudah saatnya menjadi diri sendiri tanpa hrs mempersoalkan yg lain. Ikuti saja slogan orang betawi \Elo asik Gue santai. Elo usik Gua bantai\ jd pd akur aj ya jgn saling menganggu.
MKV Converter
Hi buddy, your blog’s design is simple and clean and i like it. Your blog posts are superb. Please keep them coming. Greets!!!
Ed: Harap dapat berkomentar dengan santun, terimakasih –
Ulil itu kan bibirnya sumbing, jadi kalo dia bicara sering kepelset, makanya kalo orang yg tuli nggak denger apa yg dia bilang pasti di yg dia tahu ulil itu ngomongnya bagus, padahal kayak suaru mesin rusakAnother great post, thanks for sharing.
yang suka dari JIL (dan Ulil) bukan hasil pemikiran per-pemikiran, tapi semangat kebebasan berpikirnya. Bagi saya, kita harus menjadikan kebebasan berpikir sebagai metode, bukan sebagai isme yang harus disembah2….
saya kira kita tidk bisa menilai ulil hanya dari kesalahan ini
apapun kepercayaan dan aliran pemikirannya, yg pentin kontributif bagi bangsa dan kemanusiaan
tape deh..