Category Archives: Sosial

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat ….

Kisah Sedih Pencuci Piring

Siapa yang paling berbahagia saat pesta pernikahan berlangsung?

Bisa jadi kedua mempelai yang menunggu detik-detik memadu kasih. Meski lelah menderanya namun tetap mampu tersenyum hingga tamu terakhirpun. Berbulan bahkan hitungan tahun sudah mereka menunggu hari bahagia ini. Mungkin orang tua si gadis yang baru saja menuntaskan kewajiban terakhirnya dengan mendapatkan lelaki yang akan menggantikan perannya membimbing putrinya untuk langkah selanjutnya setelah hari pernikahan. Atau bahkan ibu pengantin pria yang terlihat terus menerus sumringah, ia membayangkan akan segera menimang cucu dari putranya. “Aih, pasti segagah kakeknya,” impinya.

Para tamu yang hadir dalam pesta tersebut tak luput terjangkiti aura kebahagiaan, itu nampak dari senyum, canda, dan keceriaan yang tak hentinya sepanjang mereka berada di pesta. Bagi sanak saudara dan kerabat orang tua kedua mempelai, bisa jadi momentum ini dijadikan ajang silaturahim, kalau perlu rapat keluarga besar pun bisa berlangsung di sela-sela pesta. Sementara teman dan sahabat kedua mempelai menyulap pesta pernikahan itu menjadi reuni yang tak direncanakan. Mungkin kalau sengaja diundang untuk acara reuni tidak ada yang hadir, jadilah reuni satu angkatan berlangsung. Dan satu lagi, bagi mereka yang jarang-jarang menikmati makanan bergizi plus, inilah saatnya perbaikan gizi walau bermodal uang sekadarnya di amplop yang tertutup rapat.

Nyaris tidak ada hadirin yang terlihat sedih atau menangis di pesta itu kecuali a ir mata kebahagiaan. Kalau pun ada, mungkin mereka yang sakit hati pria pujaannya tidak menikah dengannya. Atau para pria yang sakit hati lantaran primadona kampungnya dipersunting pria dari luar kampung. Namun tetap saja tak terlihat di pesta itu, mungkin mereka meratap di balik dinding kamarnya sambil memeluk erat gambar pria yang baru saja menikah itu. Dan pria-pria sakit hati itu hanya bisa menggerutu dan menyimpan kecewanya dalam hati ketika harus menyalami dan memberi selamat kepada wanita yang harus mereka relakan menjadi milik pria lain.

Apa benar-benar tidak ada yang bersedih di pesta itu? Semula saya mengira yang paling bersedih hanya tukang pembawa piring kotor yang pernah saya ketahui hanya mendapat upah sepuluh ribu rupiah plus sepiring makan gratis untuk ratusan piring yang ia angkat. Sepuluh ribu rupiah yang diterima setelah semua tamu pulang itu, sungguh tak cukup mengeringkan peluhnya. Sedih, pasti.

Tak lama kemudian saya benar-benar mendapati orang yang lebih bersedih di pesta itu. Mereka memang tak terlihat ada di pesta, juga tak mengenakan pakaian bagus lengkap dengan dandanan yang tak biasa dari keseharian di hari istimewa itu. Mereka hanya ada di bagian belakang dari gedung tempat pesta berlangsung, atau bagian tersembunyi dengan terpal yang menghalangi aktivitas mereka di rumah si empunya pesta. Mereka lah para pencuci piring bekas makan para tamu terhormat di ruang pesta.

Bukan, mereka bukan sedih lantaran mendapat bayaran yang tak jauh berbeda dengan pembawa piring kotor. Mereka juga tidak sedih hanya karena harus belakangan mendapat jatah makan, itu sudah mereka sadari sejak awal mengambil peran sebagai pencuci piring. Juga bukan karena tak sempat memberikan doa selamat dan keberkahan untuk pasangan pengantin yang berbahagia, meski apa yang mereka kerjakan mungkin lebih bernilai dari doa-doa para tamu yang hadir.

Air mata mereka keluar setiap kali memandangi nasi yang harus terbuang teramat banyak, juga potongan daging atau makanan lain yang tak habis disantap para tamu. Tak tertahankan sedih mereka saat membayangkan tumpukan makanan sisa itu dan memasukkannya dalam karung untuk kemudian singgah di tempat sampah, sementara anak-anak mereka di rumah sering harus menahan lapar hingga terlelap.

Andai para tamu itu tak mengambil makanan di luar batas kemampuannya menyantap, andai mereka yang berpakaian bagus di pesta itu tak taati nafsunya untuk mengambil semua yang tersedia padahal tak semua bisa masuk dalam perut mereka, mungkin akan ada sisa makanan untuk anak-anak di panti anak yatim tak jauh dari tempat pesta itu. Andai pula mereka mengerti buruknya berbuat mubazir, mungkin ratusan anak yatim dan kaum fakir bisa terundang untuk ikut menikmati hidangan dalam pesta itu.

Sekadar usul untuk Anda yang akan melaksanakan pesta pernikahan, tidak cukup kalimat “Mohon Doa Restu” dan “Selamat Menikmati” yang tertera di dinding pesta, tapi sertakan juga tulisan yang cukup besar “Terima Kasih untuk Tidak Mubazir”.

Mungkinkah?

Mind your own business, Uncle Sam

US gov’t and its allies (especially Australia & Singapore gov’t) would love to see Indonesia to crumble apart to small nations. That would mean less one potential threat, and a lot of weak nations to bully for its natural resources.

We have had numerous revolts here, which have enjoyed external assistance. Indonesian army and police have caught many weapons and goods shipment to these rebels.

While we rejoiced at the moment for the peace treaty on Aceh, US gov’t continue its work. Now it demanded that Papua to be given independence.

I saw in Republika newspaper today (last page), that Lynn Pascoe said that Papuan people has not enjoyed good service from Indonesian gov’t.

Excuse me, Sir ! Please stop acting so righteous, Mr I-am-so-Perfect.
Mind your own people first. Stop making your own children’s suffering.

And more importantly, stop acting oh-so-good for YOUR own benefit.
(no problem if it’s really sincere, but history told us that’s not the case)

Forest fire in Indonesia

Indonesian Embassy in Malaysia was protested several times during the forest fire, which caused thick smoke to engulf Singapore, Malaysia, and even as far as Thailand. The smoke has dropped visibility in main Malaysian cities, and caused respiratory problems for Malaysian citizens.

However, it turned out that the offenders are Malaysian-owned companies in Indonesia.
They burned the forest to clear the land. And in the process, caused serious problems for thousands of people.

I sure hope these criminals got the full 15 years sentence. They richly deserved it.

BBM lagi

Nemu link ini, ngeri membayangkan berapa harga BBM jadinya kalau sampai salah satu saja dari choke point tersebut diserang oleh “teroris” (whoever that might be – extremists claiming to be muslim, CIA, Mossad, whatever).

Untunglah Puspiptek sudah mulai mampu memproduksi sumber energi alternatif, seperti Biodiesel dan Gasohol.
Mudah-mudahan perintah Presiden SBY untuk lebih memanfaatkan sumber-sumber energi alternatif bisa segera menjadi kenyataan.

Kekejaman Hypermart

Hypermart,spt Giant, Carrefour, Makro, dll; memang menyenangkan bagi customer. Praktis, krn serba ada. Dan harganya juga (kadang) murah.
Tapi banyak yang ternyata berdiri dengan menginjak-injak hak pihak lainnya.

Saudara saya yang bergelut di bidang minimarket menceritakan berbagai curhat dari para suppliernya.
Contoh; ada satu hypermart yang ingin mempromosikan sebuah produk pembalut wanita.Sang suplier ditekan agar memberikan harga yang semurah2nya. Karena pesanannya banyak, maka diberikan dg harga murah tersebut.
Tapi, apa yang terjadi kemudian ? Setelah masa promosi habis, ternyata sisa stok masih luar biasa banyak, dan dikembalikan semuanya ke suplier. Ini sangat di luar dugaannya, mau untung sedikit malah buntung habis2an; karena stok sebanyak itu mau disimpan dimana? Kalaupun sewa gudang tambahan, bisa berapa lama sampai stok tadi habis ?
Akhirnya dg terpaksa stok pembalut wanita tadi dibakar, utk menghindari kerugian lebih lanjut.

Contoh lainnya, ada hypermart dimana barang yang hilang dibebankan kpd suplier.
Gila ? Memang, hilangnya di hypermart, lha malah dibebankan ke orang lain.

Ada lagi yang seenaknya dalam membayar, malah ada yang karyawannya minta disogok dulu kalau mau lancar urusannya.

Cerita-cerita horor spt ini masih banyak. Para hypermart tsb bisa melakukan ini pada suplier kecil, krn kalaupun mrk keluar maka ada gantinya. Mereka tidak bisa melakukan ini kpd para suplier besar,spt Unilever, dll.

Teroris.

Singapura & PLN

Ada saudara saya yang bekerja di Batam. dimana salah satu pekerjaannya adalah mengantar orang-orang Indonesia berbelanja di S’pore. Menurutnya. ternyata orang Indonesia masih memegang rekor sebagai turis/pebelanja nomor SATU di Singapura.

Lalu tadi pagi saya berbincang-bincang dengan supir saya di perjalanan ke kantor. Dia bercerita bahwa warga satu RWnya sempat dipadamkan semua listriknya, karena ternyata pasokan listrik mereka semua sebesar 900 watt; sementara yang terdaftar adalah 450 watt. PLN curiga karena pelanggan 450 watt ada yang membayar sampai 200-ribu sebulan (ya. mereka tidak mencuri listrik. tagihan yang datang tetap mereka lunasi).
Tapi kemudian dia melanjutkan bahwa di Pondok Indah ternyata banyak rumah mewah yang mencuri listrik. Bukan cuma sekedar memasang MCB yg lebih besar (spt tetangga2nya). Salah satu triknya adalah dgn menyisipkan klise film di meteran PLN; maka meteran akan berhenti berputar. Padahal pemakaian berjalan terus. (duh, hacker juga ya)
Sekarang coba tebak, apakah ada tindakan utk para pencuri kelas kakap ini ?

Kotak Pos 9949 Jakarta 10000

Salah satu jalur langsung ke presiden yang agak kurang terpublikasi adalah Kotak Pos 9949.
Berbeda dengan layanan SMS Presiden yang langsung terbanjiri habis-habisan, surat masyarakat ke Kotak Pos 9949 jauh lebih sedikit jumlahnya. Namun, kelihatannya kualitas dari berbagai saran/informasinya lebih bagus.

Jika Anda perlu mengkontak Presiden mengenai suatu masalah penting, mungkin Kotak Pos 9949 adalah jalan yang terbaik pada saat ini.

Permohonan uji materil UU SDA (Sumber Daya Air) ditolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi)

Permohonan uji materil atas UU SDA yang diajukan oleh beberapa LSM dan lembaga lainnya telah ditolak oleh MK. Walaupun ada anggota MK yang menyatakan bahwa UU SDA bertentangan dengan UUD 45, seperti yang tercantum di bagian “Dissenting Opinion”, namun MK tetap memutuskan bahwa permohonan uji materil atas UU tersebut tidak bisa dikabulkan.

Informasi lebih lanjut mengenai keputusan tersebut bisa dilihat di [ http://www.mahkamahkonstitusi.go.id ].

Not that I’m surprised or anything…

Confession of the Economic Hit Man : How American Gov’t managed to make the world as its slave

If you still don’t understand why people all over the world hates America so much, then you owe yourself to read the article below.

I can testify that it’s indeed what’s happening in Indonesia :

1. “Generously” give as much loan as possible, making sure it’s so big that there’s no way the receiving country would be able to repay it
2. Make sure that most of that loans is being used to pay American companies for various projects
3. Enjoy the huge yearly interest payment, which should be used to to make life better for the country’s citizens instead
4. Make the debts as a hostage – demand ransoms; make the indebted country to do American gov’t biddings
5. If the country’s leader ever dared to refure the command, then just kill him / her.

Result:
1. Creation of ultra rich elite class
2. America gov’t enslaving many countries
3. Extreme poverty in the enslaved countries – clean water a luxury, thosands daily death due to hunger, extreme suffering put on the children and babies, and so on.
4. A lot of people hates America, and become terrorists – and terrorize American people

So if you’re an American citizen, most likely you’re a victim as well. Only a few people on the ultra elite class are benefiting from all this.You need to do something to change this, and you’re the ones most likely will be able to do something about it.

Please, help us all.


AMY GOODMAN: John Perkins joins us now in our firehouse studio. Welcome to
Democracy Now!

JOHN PERKINS: Thank you, Amy. It’s great to be here.

AMY GOODMAN: It’s good to have you with us. Okay, explain this term,
“economic hit man,” e.h.m., as you call it.

JOHN PERKINS: Basically what we were trained to do and what our job is to do
is to build up the American empire. To bring — to create situations where
as many resources as possible flow into this country, to our corporations,
and our government, and in fact we’ve been very successful. We’ve built the
largest empire in the history of the world. It’s been done over the last 50
years since World War II with very little military might, actually. It’s
only in rare instances like Iraq where the military comes in as a last
resort. This empire, unlike any other in the history of the world, has been
built primarily through economic manipulation, through cheating, through
fraud, through seducing people into our way of life, through the economic
hit men. I was very much a part of that.

AMY GOODMAN: How did you become one? Who did you work for?

JOHN PERKINS: Well, I was initially recruited while I was in business school
back in the late sixties by the National Security Agency, the nation’s
largest and least understood spy organization; but ultimately I worked for
private corporations. The first real economic hit man was back in the early
1950’s, Kermit Roosevelt, the grandson of Teddy, who overthrew of government
of Iran, a democratically elected government, Mossadegh’s government who was
Time’s magazine person of the year; and he was so successful at doing this
without any bloodshed — well, there was a little bloodshed, but no military
intervention, just spending millions of dollars and replaced Mossadegh with
the Shah of Iran. At that point, we understood that this idea of economic
hit man was an extremely good one. We didn’t have to worry about the threat
of war with Russia when we did it this way. The problem with that was that
Roosevelt was a C.I.A. agent. He was a government employee. Had he been
caught, we would have been in a lot of trouble. It would have been very
embarrassing. So, at that point, the decision was made to use organizations
like the C.I.A. and the N.S.A. to recruit potential economic hit men like me
and then send us to work for private consulting companies, engineering
firms, construction companies, so that if we were caught, there would be no
connection with the government.

AMY GOODMAN: Okay. Explain the company you worked for.

JOHN PERKINS: Well, the company I worked for was a company named Chas. T.
Main in Boston, Massachusetts. We were about 2,000 employees, and I became
its chief economist. I ended up having fifty people working for me. But my
real job was deal-making. It was giving loans to other countries, huge
loans, much bigger than they could possibly repay. One of the conditions of
the loan­let’s say a $1 billion to a country like Indonesia or Ecuador­and
this country would then have to give ninety percent of that loan back to a
U.S. company, or U.S. companies, to build the infrastructure­a Halliburton
or a Bechtel. These were big ones. Those companies would then go in and
build an electrical system or ports or highways, and these would basically
serve just a few of the very wealthiest families in those countries. The
poor people in those countries would be stuck ultimately with this amazing
debt that they couldn’t possibly repay. A country today like Ecuador owes
over fifty percent of its national budget just to pay down its debt. And it
really can’t do it. So, we literally have them over a barrel. So, when we
want more oil, we go to Ecuador and say, “Look, you’re not able to repay
your debts, therefore give our oil companies your Amazon rain forest, which
are filled with oil.” And today we’re going in and destroying Amazonian rain
forests, forcing Ecuador to give them to us because they’ve accumulated all
this debt. So we make this big loan, most of it comes back to the United
States, the country is left with the debt plus lots of interest, and they
basically become our servants, our slaves. It’s an empire. There’s no two
ways about it. It’s a huge empire. It’s been extremely successful.

AMY GOODMAN: We’re talking to John Perkins, author of Confessions of an
Economic Hit Man. You say because of bribes and other reason you didn’t
write this book for a long time. What do you mean? Who tried to bribe you,
or who — what are the bribes you accepted?

JOHN PERKINS: Well, I accepted a half a million dollar bribe in the nineties
not to write the book.

AMY GOODMAN: From?

JOHN PERKINS: From a major construction engineering company.

AMY GOODMAN: Which one?

JOHN PERKINS: Legally speaking, it wasn’t — Stoner-Webster. Legally
speaking it wasn’t a bribe, it was — I was being paid as a consultant. This
is all very legal. But I essentially did nothing. It was a very understood,
as I explained in Confessions of an Economic Hit Man, that it was — I
was — it was understood when I accepted this money as a consultant to them
I wouldn’t have to do much work, but I mustn’t write any books about the
subject, which they were aware that I was in the process of writing this
book, which at the time I called “Conscience of an Economic Hit Man.” And I
have to tell you, Amy, that, you know, it’s an extraordinary story from the
standpoint of — It’s almost James Bondish, truly, and I mean–

AMY GOODMAN: Well that’s certainly how the book reads.

JOHN PERKINS: Yeah, and it was, you know? And when the National Security
Agency recruited me, they put me through a day of lie detector tests. They
found out all my weaknesses and immediately seduced me. They used the
strongest drugs in our culture, sex, power and money, to win me over. I come
from a very old New England family, Calvinist, steeped in amazingly strong
moral values. I think I, you know, I’m a good person overall, and I think my
story really shows how this system and these powerful drugs of sex, money
and power can seduce people, because I certainly was seduced. And if I
hadn’t lived this life as an economic hit man, I think I’d have a hard time
believing that anybody does these things. And that’s why I wrote the book,
because our country really needs to understand, if people in this nation
understood what our foreign policy is really about, what foreign aid is
about, how our corporations work, where our tax money goes, I know we will
demand change.

AMY GOODMAN: We’re talking to John Perkins. In your book, you talk about how
you helped to implement a secret scheme that funneled billions of dollars of
Saudi Arabian petrol dollars back into the U.S. economy, and that further
cemented the intimate relationship between the House of Saud and successive
U.S. administrations. Explain.

JOHN PERKINS: Yes, it was a fascinating time. I remember well, you’re
probably too young to remember, but I remember well in the early seventies
how OPEC exercised this power it had, and cut back on oil supplies. We had
cars lined up at gas stations. The country was afraid that it was facing
another 1929-type of crash­depression; and this was unacceptable. So,
they — the Treasury Department hired me and a few other economic hit men.
We went to Saudi Arabia. We —

AMY GOODMAN: You’re actually called economic hit men –e.h.m.’s?

JOHN PERKINS: Yeah, it was a tongue-in-cheek term that we called ourselves.
Officially, I was a chief economist. We called ourselves e.h.m.’s. It was
tongue-in-cheek. It was like, nobody will believe us if we say this, you
know? And, so, we went to Saudi Arabia in the early seventies. We knew Saudi
Arabia was the key to dropping our dependency, or to controlling the
situation. And we worked out this deal whereby the Royal House of Saud
agreed to send most of their petro-dollars back to the United States and
invest them in U.S. government securities. The Treasury Department would use
the interest from these securities to hire U.S. companies to build Saudi
Arabia­new cities, new infrastructure­which we’ve done. And the House of
Saud would agree to maintain the price of oil within acceptable limits to
us, which they’ve done all of these years, and we would agree to keep the
House of Saud in power as long as they did this, which we’ve done, which is
one of the reasons we went to war with Iraq in the first place. And in Iraq
we tried to implement the same policy that was so successful in Saudi
Arabia, but Saddam Hussein didn’t buy. When the economic hit men fail in
this scenario, the next step is what we call the jackals. Jackals are
C.I.A.-sanctioned people that come in and try to foment a coup or
revolution. If that doesn’t work, they perform assassinations. or try to. In
the case of Iraq, they weren’t able to get through to Saddam Hussein. He
had — His bodyguards were too good. He had doubles. They couldn’t get
through to him. So the third line of defense, if the economic hit men and
the jackals fail, the next line of defense is our young men and women, who
are sent in to die and kill, which is what we’ve obviously done in Iraq.

AMY GOODMAN: Can you explain how Torrijos died?

JOHN PERKINS: Omar Torrijos, the President of Panama. Omar Torrijos had
signed the Canal Treaty with Carter much — and, you know, it passed our
congress by only one vote. It was a highly contended issue. And Torrijos
then also went ahead and negotiated with the Japanese to build a sea-level
canal. The Japanese wanted to finance and construct a sea-level canal in
Panama. Torrijos talked to them about this which very much upset Bechtel
Corporation, whose president was George Schultz and senior council was
Casper Weinberger. When Carter was thrown out (and that’s an interesting
story­how that actually happened), when he lost the election, and Reagan
came in and Schultz came in as Secretary of State from Bechtel, and
Weinberger came from Bechtel to be Secretary of Defense, they were extremely
angry at Torrijos — tried to get him to renegotiate the Canal Treaty and
not to talk to the Japanese. He adamantly refused. He was a very principled
man. He had his problem, but he was a very principled man. He was an amazing
man, Torrijos. And so, he died in a fiery airplane crash, which was
connected to a tape recorder with explosives in it, which — I was there. I
had been working with him. I knew that we economic hit men had failed. I
knew the jackals were closing in on him, and the next thing, his plane
exploded with a tape recorder with a bomb in it. There’s no question in my
mind that it was C.I.A. sanctioned, and most — many Latin American
investigators have come to the same conclusion. Of course, we never heard
about that in our country.

AMY GOODMAN: So, where — when did your change your heart happen?

JOHN PERKINS: I felt guilty throughout the whole time, but I was seduced.
The power of these drugs, sex, power, and money, was extremely strong for
me. And, of course, I was doing things I was being patted on the back for. I
was chief economist. I was doing things that Robert McNamara liked and so
on.

AMY GOODMAN: How closely did you work with the World Bank?

JOHN PERKINS: Very, very closely with the World Bank. The World Bank
provides most of the money that’s used by economic hit men, it and the
I.M.F. But when 9/11 struck, I had a change of heart. I knew the story had
to be told because what happened at 9/11 is a direct result of what the
economic hit men are doing. And the only way that we’re going to feel secure
in this country again and that we’re going to feel good about ourselves is
if we use these systems we’ve put into place to create positive change
around the world. I really believe we can do that. I believe the World Bank
and other institutions can be turned around and do what they were originally
intended to do, which is help reconstruct devastated parts of the world.
Help — genuinely help poor people. There are twenty-four thousand people
starving to death every day. We can change that.

AMY GOODMAN: John Perkins, I want to thank you very much for being with us.
John Perkins’ book is called, Confessions of an Economic Hit Man.

[ http://www.pithrecords.com/articles/showarticle.php?articlenumber=958 ]

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

SUARA PEMBARUAN DAILY Jum’at, 17 Juni 2005
———————————
Surat Terbuka kepada Mendiknas:

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke lembaga Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.

Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini “surat terbuka” yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya, apa yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada anak-anak seusianya.

Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan terakhir, kata “sekolah” dan “belajar” baginya telah menjadi hantu yang sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada “Hari Pendidikan Nasional”, misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke sekolah. Alasannya sederhana: “Aku benci sekolah!” Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.

Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa dan mengapa dia harus menelannya. Kata “telan mentah-mentah” sengaja saya pilih, karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang (masih terus) mengandalkan pada “hafalan mati” – walau pun sudah begitu banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.

Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan “otonomi khusus” masing-masing sekolah. Akan tetapi, pada praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai “ketinggalan” dari sekolah-sekolah “favorit”. Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan guru sebagai “fasilitator” (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya, merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya. Alhasil, sistem “telan mentah-mentah” kembali merajalela. Mari! saya beri contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta,
seperti anak saya, paling tidak harus “menelan” 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta – untuk siswa di Jakarta). Itu berarti, setiap siswa harus “menelan mentah-mentah” setidaknya 15 buku – saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! – untuk menghadapi ujian kenaikan kelas. Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa buku-ajar standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu. Jadi, izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar anak saya.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transporta! si
(manusia dan hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.

Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak heran jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, “Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?”

Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP yang dipakai untuk menghukum “perkelahian pelajar secara per orangan yang mengakibatkan satu pihak luka atau mati”, pasal-pasal mana untuk “perkelahian pelajar secara berkelompok”, dan pasal-pasal mana yang dipakai jika “pelajar menyerang guru”!

Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika “pelajar mabuk-mabukan, minum-minuman keras”, atau jika terjadi “pemerasan oleh pelajar”, atau “pencurian di kalangan pelajar”, atau “pelajar membawa senjata api atau senjata tajam”…

Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas. Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.

Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara lain kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, Hafal Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut berpartisipasi menjadikan kata “sekolah” dan “belajar” momok yang sangat menakutkan bagi anak-anak didik – mereka yang akan menggantikan kita di masa depan.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi pada anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *

Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta

Hentikan Memberi Uang Kepada Anak Jalanan

Saya akan berterimakasih jika ada yang bisa memverifikasi kebenaran dari himbauan di bawah ini.
(didapat dari milis alumni)


STOP PRESS: Ada beberapa tips yang bagus disini mengenai cara untuk membantu para anak jalanan.


Banyak pihak dan yayasan yang telah mencoba menolong mereka dengan memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan rumah singgah bagi mereka. Namun mereka tetap kembali ke jalan. Mengapa ? Karena Uang Anda !
Karena setiap hari mereka memperoleh “uang gampang” paling sedikit Rp. 25.000,- itu berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh Rp. 750.000,- Jumlah yang cukup besar, tidak heran mereka memilih untuk tetap di jalan.

Tapi jika dibiarkan, 10-20 tahun lagi mereka akan tetap berada dijalanan dan bisa jadi menjadi preman yang tinggal di jalan dan melahirkan anak-anak kurang mampu dan yang tidak berpendidikan. Ini akan menjadi lingkaran setan di negara kita.

Mereka bukannya tidak punya pilihan lain, apa yang bisa kita lakukan agar mereka tidak berada di jalanan lagi ?

BERHENTI MEMBERIKAN UANG KEPADA MEREKA!!!

Dengan begitu kita menolong mereka dari resiko-resiko berbahaya serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyambut uluran tangan yayasan dan melakukan hal-hal yang berguna untuk masa depannya
kelak.
Lewat tindakan kita dan kesempatan yang kita berikan, kita secara tidak langsung sedang memulihkan hak-hak asasi anak menurut Konvensi hak anak PBB (diratifikasi Keppres RI No. 36/1990) :

– Hak untuk hidup
– Hak untuk tumbuh dan berkembang
– Hak untuk memperoleh perlindungan
– Hak untuk berpartisipasi

Dengan kita berhenti memberikan “uang gampang” berarti kita telah menjadi sukarelawan pasif dalam usaha pemulihan hak asasi anak. Disatu sisi kita kasihan melihat mereka namun jika kita memberi uang maka mereka akan tetap seperti itu dan tidak mau menyambut uluran tangan dari yayasan2 yang berniat membantu mereka. Di sisi lain dengan tidak memberikan uang maka kita berharap masa depan mereka akan lebih baik dari sekarang ini.

Masalah BBM

Barusan membaca post Adinoto soal [ kelangkaan BBM ].
Saya setuju dengan poinnya, bahwa perlu dikembangkan sumber energi alternatif. Perlu dikembangkan lebih dari satu sumber energi alternatif, karena kalau terlalu tertumpu pada satu saja, maka efeknya pasti tidak akan baik karena berlebih-lebihan. Contoh; ada penelitian yang menunjukkan bahwa jika bumi terlalu tergantung pada sumber energi dari angin, maka iklim dunia bisa jadi berubah. Sedangkan ketergantungan bumi dari BBM sudah jelas kita ketahui dampaknya (polusi, terorisme oleh negara superpower ke negara lainnya, dst)

Tapi yang paling penting adalah agar pemerintah bisa segera kembali melaksanakan UUD ’45 dengan benar, lebih khususnya Pasal 33 ayat 3 : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat“.
Salah satu sumber masalah adalah dikuasainya sumur-sumur minyak Indonesia oleh asing, yang jelas bertentangan dengan pasal 33 di atas.

Namun ini memang berbahaya untuk dilakukan. Bukan cuma 1 – 2 kepala negara yang telah tewas karena berani menentang kehendak berbagai negara superpower, yang melindungi kepentingan bisnisnya. Jadi kalau presiden kita mau melakukan ini, maka dia perlu memperkuat BIN terlebih dahulu, agar tidak mengalami nasib yang sama seperti para presiden lainnya tersebut.

Kutitipkan Temanku; Calon Orang Penting di Negeri Ini!

Yang terbaru dari penulis cilik berbakat, Abdurrahman Faiz. Selamat membaca.

——————–
Kutitipkan Temanku; Calon Orang Penting di Negeri Ini!

Rumah mungil yang hanya sepetak itu berada dekat sekali dengan pasar dan kolong jalan tol. Di sekitarnya tampak kekumuhan yang memedihkan mata.
Itulah Rumah Cahaya Penjaringan. Tempat ini dirintis oleh teman-teman Bunda di Forum Lingkar Pena dan Fojis. Yang mengurus Om Andi, penulis yang memakai nama pena Biru Laut itu lho. Om Andi dulu tinggal di dekat sini dan mantan
preman. Aku terkejut juga. Banyak teman preman Om Andi yang suka rela membantu Rumah Cahaya. Ada Om Rojak, Om Tarjo dan banyak Om lainnya. Mereka hebat!

Aku sampai pagi itu dan terkejut dengan sambutan meriah dari teman-teman kecil di Rumah Cahaya. Usia mereka antara 5-13 tahun. Aku tersenyum dan menyalami mereka. Wah mereka ramah!. Mereka menatapku seolah aku ini artis. Aku jadi tidak enak sekali. Aku mencoba untuk lebih akrab.

Tante Asma dan bunda membuat beberapa acara. Ruangan mungil itu seakan hampir runtuh karena ramainya sorak anak-anak. Apalagi saat mereka bermain tebak-tebakan dan ekspresi untuk mendapatkan banyak hadiah imut yang kami
bawa. Nah di tengah keramaian itu tiba-tiba aku melihat sesuatu, tepat di sebelah rumah cahaya.

“Tempat apa itu? Peralatan apa?” tanyaku pada teman di sebelahku.

“Itu tempat perjudian,” katanya. “Dan itu alat-alatnya,” tambah anak berbaju biru itu lagi. “Anak-anak suka main di situ. Padahal seharusnya itu tak terjadi.”

Aku sering mendengar di daerah dekat Rumah Cahaya ada tempat perjudian. Tapi aku tak menyangka kalau tepat di sebelah Rumah Cahaya!

Aku menyalami anak berbaju biru itu dan berkenalan. Namanya Hengki Rifai. Lalu tiba-tiba kami sudah mengobrol seperti teman lama.

“Di sini banyak penduduk yang kesusahan. Yang putus sekolah juga banyak,” kata Hengki. “Saya berdoa dan berjuang supaya bisa terus sekolah.”

Hengki berumur 12 tahun dan duduk di kelas 6 SD. Aku baru 9 tahun dan baru kelas III SD, tapi asyiknya obrolan kami nyambung.

“Boleh aku ke rumahmu?” tanyaku.

Hengki mengangguk. “Tapi rumahku aneh. Tidak apa?”

“Aku suka rumah aneh,” ujarku tersenyum.

Hengki tertawa, matanya yang bulat bersinar.

Kami pun berangkat bersama Om Rojak dan Om Tarjo, preman baik hati pendukung Rumah Cahaya.

Perjalanan ke rumah Hengki melewati lorong-lorong kumuh di bawah kolong tol. Aku prihatin karena lorong tersebut kotor, gelap dan bau. Anak-anak kecil buang air besar di got kecil yang cetek itu. Rumah-rumah di sana tidak layak huni. Kumuh sekali. Hampir semua rumah tidak beratap. Atapnya langsung jembatan tol itu. Aduh, aku jadi ingin menangis.

Akhirnya aku sampai juga di rumah Hengki. Aduh rumah Hengki membuatku sedih. Rumah itu kecil, kumuh sekali. Lebih mirip gudang. Di sebelahnya ada kandang-kandang ayam. Tapi kata Hengki tinggal kandangnya, sudah tak ada ayamnya lagi. Aku tidak bisa membayangkan ada orang menempati rumah seperti ini. Ya Allah aku istighfar dan menahan airmataku yang ingin cepat turun.

Ternyata Hengki anak yatim. Yang membuatku ingin menangis lagi, Ibu Hengki sebenarnya masih hidup. Tapi pergi meninggalkannya begitu saja. Hengki hidup bersama kakek dan neneknya. Neneknya punya warung mungil di depan rumah
mereka. Hengki sering membantu neneknya berjualan. Aku juga ngobrol dengan nenek Hengki yang ramah. Hatiku tersayat lagi melihat orang setua itu masih harus bekerja.

Aku kagum, meski mereka kesusahan tapi sangat mengutamakan tamu. Aku minum teh botol tapi mereka tak mau dibayar. Terang saja aku memaksa. Aku paksa Hengki sekalian menerima sedikit tabunganku yang kubawa hari itu. Hengki
kaget. Dia malu tapi bersyukur. Rupanya dia belum bayar uang sekolah beberapa bulan. Aku juga memberikan buku-buku karyaku pada Hengki. Hengki tertawa. Katanya dia sudah membaca semua puisiku di Rumah Cahaya, tapi belum
punya bukunya. Dia berterimakasih sekali. Ah, Hengki. Sebenarnya aku yang berterimakasih padamu. Kamu mengingatkanku lagi akan arti syukur dan peduli pada sesama.

Sayang, aku tak bisa lama mengobrol dengan Hengki. Sebab acara di Rumah Cahaya belum selesai. Aku harus kembali ke sana. Aku menyalami nenek, menyalami dan memeluk Hengki. Aku katakan padanya begini: “Kita terus
bersahabat ya! Apapun yang terjadi!” Hengki mengangguk dan menjabatku erat.

“Kamu tahu Hengki, aku yakin, meski keadaanmu sekarang begini, suatu saat kamu akan jadi orang hebat! Orang penting! Jadi kamu tidak boleh menyerah sekarang!” pesanku padanya.

Hengki tertawa, menampakkan giginya yang putih bersih. Aku senang melihat Hengki yang hitam manis. Dia cerdas dan baik hati. Aku tahu suatu saat, kalau dia tetap berjuang dan dekat dengan Tuhan, dia benar-benar akan menjadi orang penting di negara ini!

“Aku akan datang lagi!” seruku. Aku melambai pada Hengki dan nenek, sambil berusaha menahan haru.

Ditemani Om Rojak, Om Joni, Om Tarjo, preman-preman baik hati itu, aku kembali menuju Rumah Cahaya Penjaringan. Mereka menatapku heran. Aku juga menatap mereka kagum.

Preman pahlawan, aku tahu Allah akan menjaga sahabatku Hengki Rifai. Tapi tolong ya, aku titip juga calon orang penting ini pada kalian!

(Abdurahman Faiz)

Kompas vs BS

Posting Priyadi di blognya yang berjudul [ Ketika penerus informasi di somasi ] mengundang diskusi yang cukup panjang. Isinya adalah membahas lebih lanjut mengenai masalah anonimitas Satrio Kepencet dan isi-isi emailnya yang di forward oleh Basuki Suhardiman.

Tapi yang menarik perhatian saya adalah somasi yang dilakukan oleh Kompas, [ dimana BS dituntut, karena dianggap telah mencemarkan nama wartawan ybs ].

Apakah Kompas sudah lupa beberapa kasus pengadilan seperti ini, dimana beberapa media massa menjadi korbannya ? Apakah enak berada di posisi tersebut – Anda perlu melindungi identitas sumber berita Anda (atau sumber-sumber berita sensitif akan bungkam), namun ternyata Anda malah dieksekusi di pengadilan karena berita Anda tsb.

Sebetulnya yang perlu dilakukan oleh Kompas adalah sekedar membuat pernyataan bahwa berita dari BS tersebut tidak benar (kalau memang menurut mereka demikian).
Itu saja sudah cukup. Biarkan masyarakat yang menilai. Dan saya pribadi terus terang tidak / belum menganggap BS sebagai sumber informasi yang kredibel karena beberapa blunder yang telah dilakukan oleh beliau di masa lalu (sistim TI KPU anti hacker, dll).

Sehingga ketika Kompas menuntut BS, justru berarti Kompas telah membantu mengancam kebebasan pers di Indonesia.

Lebih ironis lagi, di artikel tuntutan tersebut kita bisa menemukan link ke artikel [ Terancam, kebebasan berekspresi ].
Di satu artikel Kompas berusaha menuntut satu sumber berita, di lain pihak Kompas berusaha mengamankan posisi sumber berita dari tuntutan seperti yang sedang dilakukannya sendiri.

Bagaimana ini, Kompas ?

Masalah Kompas

Saya cukup terkejut ketika membaca entri blog [ Priyadi ] ini.
Kompas, yang mungkin adalah koran yang paling terkenal di Indonesia, ternyata mengusir orang-orang yang memberikan informasi masalah tentang seorang yang dianggap pakar TI dan Anne Ahira (pendiri salah satu skema piramida di Indonesia); dari Forum Pembaca Kompas (FPK).

Saya memang malas berlangganan koran karena sering menemukan berbagai data yang tidak diverifikasi dan masalah lainnya, tapi menendang orang yang menginformasikan skema piramida ? Apakah ini berarti Kompas mendukung skema piramida tersebut ?

Mungkin sudah saatnya kita memiliki semacam media watch di Indonesia ini.

Si kaya nan berkuasa

Cuma mau bilang bahwa saya sudah muak melihat orang-orang saling berebut menghormati Bapak Kaya bin Berkuasa (walaupun koruptor), namun saling menginjak-injak teman mereka sendiri. Menyedihkan.

Saya kesulitan mencari kawan yang bijak, walaupun tidak kaya. Dimana sih orang-orang ini berkumpul ? Please let me know.

Kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia

Adik saya baru saja membuka sebuah minimarket di daerah Cinere. Di depannya, seperti biasa, ada yang numpang membuka berbagai kios – burger, kue, batagor, dll.

Dia bercerita bahwa penjaga kios kue digaji Rp 10.000,- sehari. Padahal, dia perlu naik angkot 3 kali @ Rp 2000,- untuk sampai di tempat kerjanya tersebut – dus, setiap hari justru tekor Rp 2000,-
Saya cuma bisa terbengong-bengong mendengar ceritanya, “daripada menganggur pak”, demikian jawaban penjaga kios tsb ketika ditanya kenapa dia mau melakoni itu.

Kita mengaku sebagai negara beradab, berdasarkan Pancasila, dll, dst. Tapi justru negara-negara kapitalis, seperti Inggris, Finlandia, dll, yang menjamin kesejahteraan sosial bagi rakyatnya. Bagi pengangguran dibantu dengan tunjangan mingguan dan juga untuk mencari pekerjaan agar bisa segera mandiri kembali. dll.

Kelihatannya sila kelima Pancasila, yang begitu kita bangga-banggakan itu, untuk saat ini lebih cocok diganti dengan judul posting ini.