Category Archives: Sosial

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat ….

Tentang_:: The Procrastinator

Procrastinate artinya kira-kira adalah “menunda pekerjaan”.

Kita sering menemukan seseorang, atau malah kita sendiri, dimana orang tersebut cenderung menunda mengerjakan suatu tugas, sampai nyaris ke deadline.
Ketika sudah hampir tiba deadlinenya, barulah orang tersebut dengan tergesa-gesa mengerjakan tugas tersebut.

Tentu saja ini tidak baik, namun bagaimana mengatasi halangan psikologis yang menyebabkan kita jadi menunda pekerjaan ?

Salah satu cara mengatasinya adalah :

1. Pecah sebuah pekerjaan besar menjadi pekerjaan kecil-kecil
2. Beri diri Anda sendiri reward / bonus yang menyenangkan setiap kali berhasil menyelesaikan sebuah pekerjaan kecil.

Reward disini harus merupakan sesuatu yang akan membuat Anda mampu mengatasi godaan untuk menunda pekerjaan tersebut. Bisa apa saja, dituntut untuk kreatif disini; bisa saja berupa membaca 1 halaman dari koran hari ini, membaca sebuah artikel di detik.com, menulis sebuah posting di blog, dan lain-lainnya.

Lama kelamaan, bisa saja kemudian Anda tidak membutuhkan reward lagi, karena hasil dari pekerjaan itu saja sudah menjadi reward bagi Anda.

Ini cara yang saya terapkan pada diri saya sendiri, dengan hasil yang menyenangkan.

Semoga bermanfaat !

Note:
Beberapa link yang bermanfaat :

1. How to Live on 24 Hours a Day : Buku klasik (tahun 1910 !) mengenai manajemen waktu secara praktis. Tersedia cuma-cuma dari Project Gutenberg.

2. Get Back To Work : Jadikan situs ini sebagai homepage Anda, dan nikmati peningkatan produktivitas yang nyata.

Nurmahmudi dan Pasar tradisional

Beberapa waktu yang lalu saya menemukan berita bahwa Nurmahmudi Ismail mengusulkan agar pasar tradisional dilarang. Usulan ini langsung diamini oleh Sutiyoso.

Ini jelas akan mematikan sumber nafkah banyak rakyat kecil, atau paling tidak akan sangat merepotkan mereka.

Bagaimana kabarnya tentang hal ini ya ? Apakah ternyata detik.com salah kutip sebetulnya ? Atau rencana ini benar dan sedang dijalankan ? Mudah-mudahan saja tidak demikian halnya.

Karena solusinya tidak hanya itu. Ada solusi yang bisa dilakukan tanpa menzalimi (lagi) rakyat kecil.
Misalnya memberikan mereka tempat yang lebih bagus, dan lalu memberlakukan peraturan mengenai kebersihan, dan pelanggarnya pasti akan kena sanksi (misalnya: didenda).
Itu cuma satu contoh, saya kira masih ada solusi-solusi lainnya lagi, selain menggusur mereka.

Tentang_:: UKP-PPR

Heboh-heboh tentang UKP-PPR akhirnya selesai juga, dan seperti dugaan saya, SBY berhasil mempertahankan keberadaan lembaga tersebut. Memang SBY adalah diplomat ulung.
Hanya saja mudah-mudahan tidak terlalu banyak yang telah dia korbankan untuk mempertahankan lembaga tersebut.

Sayang ya bahwa untuk dapat melayani rakyat, amat sulit untuk mengandalkan lembaga-lembaga yang telah ada, karena seringkali mereka justru menghalangi niat baik para atasannya. Beberapa contoh; untuk memberantas korupsi terpaksa dibentuk KPK, karena lembaga-lembaga yang ada mandul.
Lalu, niat untuk mensejahterakan rakyat justru dijegal oleh beberapa bawahan SBY yang berkongkalikong untuk impor beras. Dan masih banyak lainnya lagi.

Dulu saya pernah mengira bahwa jika ada orang baik yang berhasil menjadi Presiden, maka selesailah semua masalah negara kita. Naif πŸ™‚
Setelah saya bekerja di kantor, saya melihat sendiri berbagai kasus dimana bawahan bisa menjegal berbagai kebijakan atasannya dengan berbagai cara. Apalagi jika ada banyak bawahan yang saling bekerja sama untuk itu, maka atasannya tinggal gigit jari saja. Hal ini karena terlalu banyaknya peraturan yang melindungi karyawan. Sehingga memang sulit bagi atasan untuk menjadi zalim. Namun di lain pihak, gantian para bawahannya yang bisa bermalas-malasan tanpa terkena sangsi apapun.

Apalagi ketika yang diurus adalah sebuah negara, bukan cuma entitas sekecil kantor.

Semoga Allah swt berkenan untuk segera mengangkat cobaan ini dari kita semua.

Newmont’s boss in lawsuit

Richard Ness, President Director of Newmont Minahasa Raya (NMR), was in news today as the accused in Newmont’s pollution case in Teluk Buyat, North Sulawesi, Indonesia. The state attorney, Purwantha SH, found clear and convincing evidence that the accused has polluted the environment in Teluk Buyat (Buyat Bay) in violation of many laws.

In NMR’s operation, between 1996-2004, they have dumped at least 33 tons of mercury, 17 ton of other polluting gases, and possibly other pollutants as well.

A lot of people suffered because of these. Especially babies and children.

Unfortunately, the state attorney only asked the punishment to be a fine of Rp 500 million (about US$ 50,000), and less than 3 years imprisonment. The actual decision may very much lower than this, so it’s important to set it as high as possible. But with these, a criminal may walk away free and only with a light fine.

The lawsuit continues…

Reference: Republika newspaper, page 5, 11 November 2006

“Boleh saya posting ulang artikel ini di blog saya ?”

Kembali saya mendapatkan pertanyaan ini, yang (kembali) mengingatkan saya untuk segera memasang informasi lisensi isi situs ini.

Terimakasih kepada mas Denie, kini saya sudah detilkan lisensi dari isi situs ini, yaitu Creative Commons Attribution-Noncommercial 2.5 License.

Secara ringkas; ya, Anda bebas untuk memposting ulang artikel-artikel disini tanpa perlu minta izin πŸ™‚
Anda hanya diminta untuk menyatakan dari mana asalnya (sebuah link ke artikel aslinya sudah mencukupi).

Selamat menikmati !

catatan :

1. Bagi yang tertarik untuk memilih lisensi yang cocok untuk content-nya, silahkan bisa dengan mudah melakukannya disini : http://creativecommons.org/license/

2. Sebuah artikel bagus bagi kita semua, terutama bloggers : Ten Common Copyright Permission Myths.

YusufAsyari.com updated

Sepertinya Menpera baru saja kembali dari sebuah perjalanan dinas, karena baru-baru ini aktif kembali di situs beliau. Ya, ada beberapa komentar di weblognya yang dibalas sendiri oleh beliau. Andakah yang beruntung ? πŸ™‚
Juga karenanya kemungkinan besar akan ada posting-posting baru di weblog beliau dalam waktu singkat ini. Makin menarik saja πŸ™‚

Die Hard(est)

If you thought Bruce Willis is rock-hard in his “Die Hard” movie series; well, he’s nothing compared to Castro. According to The Guardian, US government and CIA have tried 638 times to kill him.

CIA tried many things; from the conventional (mafia-style hit) to the bizarre; exploding molluscs, exploding cigars, killer diving suit, snipers, and so on.
None worked, obviously. Officially, US gov’t has given up on trying to kill him. But that doesn’t stop Castro’s security from keeping on alert.

Anyhow, I guess there is a (very good!) reason why many nation leaders chose to become a yes-man to US gov’t, rather than standing up to this bully. The risk are just to high. Just look at what they’ve tried to do to Castro.

Pertemuan dengan Menteri Perumahan, seorang blogger yang antusias

Kemarin siang (6 September 2006) sekitar pukul 13:45 saya tiba di gedung Menpera. Berlokasi di dekat Mabes Polri dan kompleks sekolah Al-Azhar Pusat, kantor tersebut juga bersebelahan dengan kompleks kantor PU (Pekerjaan Umum), sebuah instansi yang terkait erat dengan Kemenpera (Kementrian Negara Perumahan Rakyat). Saya tiba bersama seorang wartawan senior yang membantu dalam soal kualitas artikel yang diposting (karena profesi Menpera sehari-hari memang bukan penulis profesional), dimana saya lebih berkonsentrasi ke soal teknis dan juga memberikan masukan-masukan seputar blog itu sendiri. Sekitar pukul 14:00 kami diterima untuk menemui Bpk. Yusuf Asy’ari, Menteri Perumahan Rakyat di kantornya.

Kesan pertama yang kami dapatkan dari beliau adalah sosok yang ramah dan hangat. Tidak ada tersirat kesan jaga wibawa atau ingin dihormati berlebihan – dimana banyak pejabat pada posisi jauh dibawah beliau justru banyak yang seperti ini. Pembicaraan segera mengalir dengan lancar.

Saya sebagai salah satu rakyat Indonesia mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan beliau untuk membuka diri kepada kita semua melalui blognya. Beliau menjawab bahwa justru beliaulah yang berterimakasih, karena beliau sudah cukup lama mencari-cari cara yang feasible untuk berkomunikasi dengan rakyat. Blog telah memungkinkan ini terjadi – komunikasi langsung antara pejabat dengan rakyat, tanpa ada perantara sama sekali. Suatu terobosan yang sangat luar biasa, apalagi jika kita mengingat bahwa baru beberapa tahun yang lalu interaksi rakyat dengan pejabat biasanya adalah dalam bentuk seperti pertemuan antara presiden dengan kelompok tani, yang telah diatur skenarionya sebelumnya πŸ™‚

Beliau bercerita mengenai berbagai hal yang telah dilakukannya selama ini, termasuk berkunjung langsung ke nyaris semua propinsi di Indonesia. Juga berbagai proyek dan rencana Kemenpera yang cukup mengesankan, walaupun kendala yang dihadapi departemen beliau untuk merealisasikannya juga besar. Saya kemudian mengatakan bahwa kami selama ini hampir tidak tahu sama sekali mengenai semua itu. Beliau tercenung sebentar, dan kemudian berkata itulah salah satu masalah yang mereka hadapi – komunikasi dengan rakyat. Beliau kemudian tersenyum dan menyampaikan harapannya bahwa blog akan dapat banyak membantu dalam hal ini.

Sebuah pertanyaan dilemparkan kepada saya, apakah beda website dengan blog? Saya jelaskan, bahwa blog (singkatan dari weblog) adalah salah satu bentuk website. Kelebihan blog dari website konvensional ada beberapa; seperti kemudahan update, fasilitas interaktif yang mudah digunakan, dan kemudahan pemakaiannya. Belakangan beliau menunjukkan situs Kemenpera yang agak jarang di update, yang bisa dimaklumi karena mendesain CMS (Content Management System) yang bagus memang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.

Saya kemudian mengajukan usulan untuk memanfaatkan blog sebagai sarana konsultasi berbagai kebijakan Kemenpera dengan rakyat. Dengan memposting sebuah draft kebijakan di blog, maka diharapkan akan dapat banyak masukan langsung dari rakyat, yaitu pihak yang akan merasakan dampak langsung dari kebijakan tersebut. Ini adalah salah satu aspek eGovernment (consultative process) dan kebetulan adalah salah satu hal yang saya garap dalam proyek 5 tahun eGov di Pemda Birmingham. Sejenak beliau terlihat berpikir, dan kemudian dengan antusias menerima ide tersebut.
Beliau juga bertanya apakah blog bisa dijadikan untuk sekali-sekali posting personal beliau ? Yang kami jawab dengan “tentu saja” πŸ™‚ Kalau demikian, tutur beliau, jangan juga terlalu berharap akan bisa sering muncul posting seperti ini, karena kesibukannya yang luar biasa. Tapi sekali-sekali insyaAllah akan ada.
Jadi, mari kita tunggu bersama posting-posting yang merupakan tulisan pribadi beliau, bukan sebagai Menteri atau salah satu pejabat departemen.

Pertemuan dilanjutkan dengan menunjukkan cara membalas komentar di blog dan cara membalas email. Ya, Menpera berencana untuk membalas sendiri berbagai komentar di blognya ! Sempat bingung juga bagaimana cara untuk menunjukkan ini πŸ™‚
Alhamdulillah, beliau ternyata adalah seorang fast-learner. WordPress juga untungnya cukup mudah untuk digunakan, bahkan oleh seorang Menteri sekalipun. Saya hanya perlu menunjukkan satu kali saja cara membalas komentar – lalu belakangan setelah saya kembali ke kantor, ternyata sudah ada satu lagi komentar yang dibalas sendiri oleh beliau. Cukup mengesankan.
Satu orang lagi yang beruntung malah telah dibalas komentarnya langsung melalui email pribadi ybs (silahkan bagi yang beruntung bisa berkomentar disini πŸ™‚ )

Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya, apakah SBY telah secara khusus menginstruksikan menteri-menterinya untuk berkomunikasi dengan rakyat ? Jawab beliau, secara khusus tidak ada. Namun, SBY secara jelas telah memerintahkan kami untuk mengutamakan dan memperhatikan rakyat. Maka inilah (blog beliau) salah satu realisasinya.

Agenda pertemuan telah hampir selesai, dan kami bercakap-cakap mengenai beberapa topik ringan. Di antara pembicaraan tercetus oleh kawan saya bahwa ada sebuah rumah susun di Cakung yang kosong. Beliau langsung dengan serius mendengarkan, dengan terus terang tanpa segan mengaku baru mendapatkan informasi ini, dan akan beliau tindak lanjuti. Setelah berpamitan, kami pergi meninggalkan kantor Menpera dengan terkesan. Kami sepakat untuk membantu institusi beliau, dalam segala keterbatasan kami, untuk dapat menghasilkan lebih banyak lagi karya nyata bagi rakyat Indonesia.

Mari kita dukung gerakan menteri nge-blog !

Ada apa Kompas ? bagian kedua

Melanjutkan diskusi di FPK seperti yang dibahas di posting ini, berikut ini dari Sdr. Haniwar Syarif :

Re: Impor Beras
From: Haniwar Syarif

Logika anda dalam mengajukan pertanyaan masuk akal juga..:)

Tapi yang saya tahu begini….

Anton dari dulu termasuk yang merasa nggak perlu impor beras , karena kata data produksi lebih besar dari konsumsi…

Ada teman temannya di kabinet yang berpendapat lain.. dan merasa perlu impor

Setelah beradu argumentasi di kabinet khususnya di jajaran Ekuin…yah disetujuilah impor terbatas 210.000 ton itu, paling nggak karena memang ada data stok bulog menipis. Walau Anton sempat menyalahkan Bulog karena nggak mampu beli beras petani saat panen raya utk stoknya, toh ada fakta bahwa stok bulog menipis, dan ada kebutuhan utk raskin, persiapan kalau ada bencana, atau bahkan kalau harga beras dimainkan oleh tengkulak disuatiu daerah..

Nah , kalau menurut saya sih.., walau pasti mentan bagian dari pemerintah… dia bukan pendorong adanya impor..dan lebih jelas lagi keputusan impor dilakukan kabinet setidaknya jajaran menko ekuin ( lha yang umumkan aja Marie dan Budiono).

Sedang untuk pertanyaan kedua apa pemerintah pengimpor beras.. yaitu betul juga ( maksudnya bukan semata keputusan ANton/mentan). Dan yang ditunjuk pelaksana juga adalah Bulog bukan swasta murni..

Moga moga jawbaan saya logis…smile…lha saya juga bukan siapa siapa ..tapi berusaha jawab lagi… πŸ™‚

Hnaiwar

At 18:19 02/09/2006, you wrote:
>Menteri Pertanian Anton Apriantono berharap pemerintah tidak menambah
>impor beras dari 210.000 ton…..demikian berita di salah satu TV sore
>ini……
>
> Saya bingung Menteri Pertanian itu bagian dari Pemerintah atau
> Pemerintah adalah pengimpor beras….ada yg bisa memberi penjelasan????
>
> Salam
> Kukuh Kumara

It’s all in your head

When testing a new medication, researchers usually pit it head-to-head against placebo to a group of victims, er… volunteers, to see whether the recovery rate is higher or lower than the placebo’s. So it’s medicine against placebo.

What happens though when it’s placebo vs placebo ?
One thing for sure – me having a hard time controlling my laughter in front of the computer.

Ted Kaptchuk used to practice acupuncture, but his colleagues claim that the effect is purely psychological. That got him thinking and interested, and he ended up researching for placebo effects on Harvard Medical School.

On his article titled “Sham device v. inert pill: randomized controlled trial of two placebo treatments” which was published by British Medical Journal (for real), there are actually volunteers who got side effects from this placebo treatment.

Words failed to be heard from my dropped jaw. Moments later, only uncontrolled laughter.

Quoted:

The reported side effects exactly matched those described by the doctors at the beginning of the study.

It’s all in your head.

This research, which was conducted to find out if doctors can manipulate the placebo effect, was sponsored by The National Institutes of Health, which ponied up $1,614,605 for the answer. All in the name of research, of course. So, what do we got to learn from all of it ?

Quoted:

Kaptchuk says that the rituals of medicine explain the difference: Performing acupuncture is more elaborate than prescribing medicine. Other rituals that may make patients feel better include “white coats, and stethoscopes that you don’t necessarily use, pictures on the wall, the way you reassure a patient, and the secretaries that sign you in.”

Careful manipulation of such rituals could make all types of treatment more effective, Kaptchuk suggests.

Well, that DOES explain the effectiveness of various so-called alternative medication here in Indonesia. We must be very grateful that he has went to all this trouble for our benefit.

So what does he has to say about himself ?

Kaptchuk’s title is assistant professor of medicine. “It could have been ‘quackery,’ ” he says, “but they didn’t have a position in that.”

Good, honest man. We need more men like him.

Well done Ted !

Indonesia never got any share of profit from ExxonMobil’s operation in Natuna

After 12 years of operation in Natuna, it was revealed by Alvin Lie, a member of the parliament, last week that Indonesia never got any share of the profit from ExxonMobil, the company which got the contract to manage the natural gas resources in Natuna. It’s among the most interesting, with an estimate of 46 trillion feet cubic of natural gas when surveyed on 1973.

This has been confirmed by Kardaya Warnika, Head of Oil and Gas Management (BP Migas). He said that from 1980 to 1994, Indonesia still got a percentage of profit share from ExxonMobil’s (then Esso) Natuna operation. But on 1994, Pertamina and Esso changed the contract, entitling Esso to 100% of the revenue from the operation. Indonesian central government only got the tax payment from them.

Oil expert Kurtubi said that this is very strange, considering that normal profit-sharing agreement usually divides profit in 60% – 40% scheme — the government getting 60% of the profit, and the contractor entitled to 40% of it. And this is after paying the tax.

ExxonMobil’s speaker, Deva Rahman, refused the allegation. He said that the Natuna situation is different. With over 70% CO2 content, it require high cost and technology for its operation. He said that the agreement has been understood and mutually agreed between the parties involved.

Speaker for Mining Advocacy Network (JATAM, Jaringan Advokasi Tambang), Andre S. Wijaya, said that this is not the only case. He said that ExxonMobil also works on a scheme that put Indonesian government and people in a losing position in their Aceh operation.

Source: Radio Nederland

Ada apa Kompas ? Opini Kompas 30 Agustus 2006 : Enaknya menjadi Menteri

Kutipan :

Kekuasaan wartawan amat besar… tulisan koran seperti Kompas amat dapat mempengaruhi opini publik… , dia bahkan jauh lebih tajam dari pedang…bahkan bisa lebih berpengaruh dari pada senjata…

Jadi mengingatkan kita pada sebuah pepatah yang sudah sangat terkenal : The pen is mightier than the sword

Email dibawah ini saya posting di milis Forum Pembaca Kompas pagi hari ini :


> http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/30/opini/2917890.htm
> Enaknya Menjadi Menteri

Enaknya jadi editor πŸ™‚ bisa menyerang terus, tanpa menampilkan data berimbang.

> Pertanyaan lain, apa yang sudah dilakukan Departemen
> Pertanian? Apakah Deptan telah melakukan tugas
> utamanya untuk mendorong petani meningkatkan produksi
> dan menerapkan teknologi terbaru?

Di radio Elshinta beberapa hari yang lalu saya mendengar reportase soal ini yang lebih komprehensif daripada editorial ini.

Ternyata, stok beras sebenarnya cukup, apalagi memang sudah/hampir panen. Hanya saja, ada terdeteksi usaha untuk menimbun / menahan stok beras oleh mafia / kartel. Sehingga terjadi kelangkaan stok, sampai stok Bulog pun turut menipis, yang berujung pada kenaikan harga beras.
Pejabat yang diwawancarai mengakui ini (menipisnya stok Bulog), padahal Bulog makin ditekan untuk melakukan operasi pasar (agar harga beras turun kembali), yang tentu sulit dilakukan jika stok Bulog sendiri tidak mencukupi.

Saya tidak tahu alasan mafia ini melakukan ini, apakah ingin melakukan aksi profit-taking menjelang puasa/lebaran, atau ingin menekan DPR & pejabat pemerintah yang anti impor agar menjadi setuju untuk impor beras, atau lain-lainnya, wallahua’lam.

Seorang pendengar kemudian mengirimkan SMS, yang mendukung pemerintah untuk membasmi para cukong beras ini. Saya kira ini langkah yang lebih tepat, daripada hanya mencaci tanpa solusi seperti ini.
(tanpa data yang akurat pula)

Salam,
Harry

> Di sini sering kali kita merasa terganggu. Seremoni
> untuk melakukan panen raya begitu sering dilakukan.
> Namun, kenyataannya, produksi nasional tidak mencukupi
> dan terpaksa kita harus mengimpor.
>
> Terus terang yang ingin kita gugat adalah kebiasaan
> untuk begitu mudahnya melakukan impor. Bukan hanya
> terbatas pada urusan beras, untuk komoditas lainnya
> pun kita begitu entengnya untuk mengimpor. Dengan
> alasan agar masyarakat bisa mengonsumsi daging, maka
> impor daging akan dilakukan. Buah-buah impor terus
> berdatangan masuk. Di Brebes, petani bawang merah pun
> melakukan protes karena bawang produksi mereka
> tertekan bawang impor. Dan yang sekarang menjadi
> kontroversi, tepung daging dan tulang (meat and bone
> meal) akan diimpor dari AS, padahal negeri itu
> terjangkit sapi gila dan oleh Badan Kesehatan Hewan
> Dunia (OIE) komoditas itu dilarang untuk
> diperdagangkan.
>
> Kita ingin mengingatkan, salah satu tugas para menteri
> itu seharusnya mendorong produksi. Bahkan, dalam
> kondisi negeri yang sedang terpuruk seperti sekarang,
> tugas para menteri untuk bisa membuka lapangan kerja
> dan menyumbangkan devisa kepada negara. Bukan justru
> berlomba menghambur-hamburkan devisa.
>
> Selalu kita ingatkan bahwa kehormatan itu membawa
> tanggung jawab, noblesse oblige. Sebagai seorang
> menteri, menjadi pejabat negara banyak privilese yang
> diberikan rakyat. Di balik kenikmatan yang dirasakan
> itu, ada tanggung jawab yang harus dipenuhi, yakni
> menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk kemajuan
> negeri.
>
> Jangan hanya kenikmatannya saja yang mau diterima,
> sementara tanggung jawabnya tidak mau dilaksanakan.
> Tidak mau turun ke bawah untuk mengetahui apa yang
> dirasakan oleh rakyatnya, tidak peduli dengan realitas
> bangsanya. Enak betul jadi menteri di Indonesia kalau
> hanya kenikmatan yang diterima, kerja kerasnya tidak!


Dari : http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/37174

Dari : Haniwar Syarif
Subject: Re: Tanggapan utk Enaknya Menjadi Menteri

Betul Mas..kita bisa tinggal nanya, kalau Mentan anggota FPK .

Tapi kalau gaya tajuk Kompas yang pasti bisa nanya , jangankan nanya… malah nuduh saja…

Soal beras kasusnya jelas…menurut data ..produksi beras lebih gede dari konsumsi…tapi..stok bulog nipis…, Mentan juga sudah nyalahkan mengapa Bulog tidak berhasil melakukan pembelian cukup utk stoknya pada saat panen raya.

Lepas dari itu, stok Bulog saat ini tinggal 300.000 an dari seharusnya 1 juta tonan. Nah BULOG punya tanggung jaWab utuk suplai raskin, beras utk bencana, dan juga OP didaerah tertentu yg krn satu dan hal lain harga berasnya melonjak, belum lagi mau hari raya keagamaan, krn itu kabinet
memutuskan mau impor . Mentan sdh bilang nggak boleh masuk pasar, tetapi utamanya utk raskin dan kalau ada bencana.

Hari ini Kompas mengutip Wakil Rektor IPB bahwa ” saat ini memang stok beras banyak dipakai untuk penalanggungan bencana bencana nasional , sehingga impor beras memang diperlukan ”

Bandingkanlah dengan tulisan Tommy dalam tajuknya yang menyerang Mentan tanpa ampun sebagai orang yang mau enaknya aja nggak mau susah ..apa apa tinggal impor…

Di coba kesankan seolah Mentan ini mahluk ajaib, yang kerja di bidang pertanian tapi nggak bebruat aopa apa untuk meningkatkan produksi pertania..

Dalam tajuk sebelimnya tanggal 26 Juli Tommy juga nulis menyerang mentan dgn nada sama , bahkan implisit menuduh bhw buka kran impor mungkin krn terima kick back, sebelumnya berita Kompas menyebut issue adanya kepentingan partai tertentu ( mudah ditebak partai mana yg asalnya pak Anton) dalam mencari dana..

Perlu saya ingatkan sesudah tajuk 26 Juli , awal agustus MenTan mengundang umum termasuk kompas, utk dialog terbuka dimana beliau menjelaskan alasan kebijakan impor nya…dan tidak dimuat secuilpun oleh wartawan kompas dalam berita esoknya….:(

Lha …saya kan jadi bertanya…ada apa dengan Tommy… ???? Pak Yacob Utama..ada apa dengan Tommy ??

Di tajuknya terus memberi kesan..bhw Mentan nggak kerja apa apa..maunya enak dan gampang terus..

Faktanya , soal beras misalnya, di jajaran pimpinan Deptan ada Prof.Dr Djoko Said yang dianggap Mpunya perberasan…bahkan ditingkat dunia , ada Kaman yang juga tokoh yang mumpuni dalam ketahanan pangan..

Saya tahu benar bagimana mereka berusaha meningkatkan produksi beras ( dan menurut data memang meningkat)

Lha memangnya sumber berita Kompas pasti lebih jago dari mereka..??? Nggak pasti kan…

Perhatikan deh yang menggebu gebu menyerang kan hanya KOmpas..koran lain maupun media elektronik lain kan nggak..

Kekuasaan wartawan amat besar… tulisan koran seperti Kompas amat dapat mempengaruhi opini publik… , dia bahkan jauh lebih tajam dari pedang…bahkan bisa lebih berpengaruh dari pada senjata…

Di tangan Pemred lah kekuasaan besar itu ada..

Power tends to corrupt…

Siapapun pemegang kekuasaan sebesar itu…haruslah di kontrol…

Siapapun pemegang kekuasaan sebesar itu..haruslah merasa itu adalah amanah
Allah yang akan dimintai tanggung jawabnya

Dia lebih berkuasa dari pada George Adi Tjondro… dia lebih
bisa berpengaruh di banding orang yang punya senjata sekalipun.

Bayangkan kalau lalu tulisannya ternyata bukan untuk kepentingan umum ,
pakai issue populis.seperti kepentingan petani, atau tolak impor cintai
produk dalam negeri, . tapi sebenarnya..ada hal lain yang jadi
motifnya..yang bisa jadi bukan kepentingan bangsa..Bayangkan kalau opini yg
tercipta ternyata sesat dan merugikan bangsa ini..

Selalau ada lebih banyak dari satu sisi..misal ada kepentingan produsen (
petani) ada juga kepentingan konsumen..

Bagaimana ya caranya atau mekanismenya kalau misalnya kita berpendapat ada
sesuatu yang perlu dipertanyakan dalm kredibilitas pemred ??? just a
question…

Saya nulis disini karena masih percaya kredibilitas Kompas.. koran
kesayangan kita yang saya sudah jadi pelanggan sejak lama… Saya sudah
nulis pula langsung ke pembuat berita ( Maryoto), tapi nggak
berjawab…jadi coba liwat FPK..moga moga aja…

Banyak yang mudah di jawab..tapi nara sumber yang digarap Kompas itu itu
juga ..DR..Sudrajat, … misalnya ..kalau lain dikit aja..seperti Wkl
Rektor iPB ..langsung terlihat ada yang salah dr tajuknya kompas..dia jela
sbilang wajar saat ini impor kok..

Salam,

Haniwar

SBY mengijinkan Lapindo membuang lumpur ke laut

Demikian judul posting Agus Setiawan. Di posting ini dipertanyakan berbagai hal, seperti :

Tapi, masa sih di dunia ini tidak ada satupun teknologi yang bisa menyumbat lumpur yang keluar akibat kecerobohan manusia yang bekerja di industri pengeboran minyak?

Kebetulan di milis FPK ada beberapa informasi tambahan seputar masalah tersebut. Saya mencoba meninggalkan komentar di blog ybs, tapi gagal (mungkin komentar di-disable). Jadi saya kutipkan disini saja :

Dari

From: rzain
Subject: Sido Lumpur

Seperti saya posting 3 bulan yang lalu bahwa satu2nya cara untuk mengatasi lumpur di Sidoarjo ialah mengadakan sumur miring ke lokasi sumur lama untuk menutup kebocoran; dikui hari ini (MetroTv) segera akan dimulai dengan terlebih dahulu membuat platform beton di atas pasir yang sudah mengeras di dekat sumur lama.

Kabarnya rig utk membuat relief well yang akan digunakan sudah tiba di perariran Indsonesia dan akan dimulai bor miring yg mudah2an sebulan lagi akan kelihatan hasilnya seperti yang selalu dilakukan di belahan dunia lain dan berhasil.

Meskipun demikian pembuangan lumpur selama sebulan yad harus dilakukan yang menurut Bupati Sidoarjo cuma ada dua pilihan, pertama merusak lingkungan perairan yang berisi biota laut atau merusak lingkungan daratan yang berisi manusia. Kelihatannya pilihan kedua (ed:: pertama ?) yang lebih manusiawi.

Yang perlu diwaspadai nampaknya ada usaha2 agar sebagian besar biaya akan dipikulkan ke Pemerintah instead semuanya oleh Lapindo apalagi kalau ada yang menumpang untuk mencari keuntungan pribadi.

rzain

Dari http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/37139

From: rzain
Subject: Re: Semburan Sulit Distop

Sabar2, mudah2an satu2nya cara yang pernah dilakukan di belahan dunia lain yaitu yaitu menyumbat melalui relief well berhasil 40 hari lagi.

rzain

Jadi kelihatannya pembuangan lumpur ke laut itu memang tidak bisa dielakkan, dan merupakan tindakan darurat. Dan tentu seharusnya dihentikan begitu relief well telah berhasil dibuat.

Mungkin kini kita perlu memfokuskan kepada PT Lapindo sendiri – bagaimana perlakuan mereka kepada korban bencana alam buatan mereka ini, apakah mereka akan melemparkan tanggung jawab mereka kepada pemerintah, dst. Perlu dibangun fokus dan public pressure kepada mereka; jangan sampai perhatian kita teralihkan kepada hal-hal lainnya.

Sisi lain George Aditjondro

Dari milis FPK :
http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/message/36995


From : Manneke Budiman
Subject: Re: Pertanyaan Sangat Kritis Untuk Staff Harian Kompas

Ikut nimbrung, ya. Saya tak tahu motivasi Kompas untuk tak membuat tinjauan buku atas karya Aditjondro. Tapi saya mau berkomentar soal pernyataan Rekan Lama yang berbunyi:

Mengapa harian Kompas tidak mengkover dan menginvestigasi tentang buku “Suharto Sehat” karangan Adicondro, Asvi W, dst? Apakah benar redaksi Kompas telah tersusupi militer dan pro regim Orba? Sebab setiap kali orang yang benar2 bermoral bailk dan idealis, peristiwa dan tulisannya justru tidak ada, atau tidak dalam, atau sekedarnya.

Saya kebetulan mengetahui sebagian tindak-tanduk George Aditjondor meski tak mengenalnya secara pribadi. Dan saya berkeberatan jika beliau disebut “bermoral baik dan idealis.” Sebagai info, saat ini banyak organisasi dan aktivis, khususnya perempuan, yang ‘memboikot’ ybs karena kasus perceraiannya dengan mantan istrinya yang menghebohkan.

Saya bagi sedikit ceritanya: demi untuk bisa kawin lagi dengan perempuan lain, ybs memperkarakan istrinya di pengadilan dan meminta pengadilan mengesahkan upaya ybs untuk menceraikan istrinya. Sebagian dari alasan yang dikemukakan adalah bahwa istrinya itu tak cukup dapat memuaskan ybs secara seksual, dan dari segi intelektualitas “nggak sebanding” dengan ybs.

Namun, dalam persidangan hampir semua saksi dan bukti mematahkan dalih ybs, dan hakim akhirnya memenangkan sang istri bahkan menganjurkan supaya istrinya itu mengajukan tuntutan balik. Diduga tujuan Aditjondro berperkara adalah agar ia tak harus menafkahi mantan istrinya.

George Aditjondro mungkin tak diragukan kehebatannya dalam membongkar kebobrokan rezim orde baru, tapi ini tak serta merta membuat ia menjadi orang “bermoral baik dan idealis.”

Mungkinkah Kompas tak meliput buku mutakhir ybs karena faktor ‘boikot’ itu juga?

manneke

loekyh wrote:
Rekan lama,

Boleh bertanya, tanpa bermaksud merendahkan berbagai buah pikiran cemerlang dari Adi Condro, di antara ratusan buku2 anti orba dan anti militerisme yg sekarang banyak bertebaran di toko2 buku, apakah buku “Suharto Sehat” yg anda rujuk adalah yg buku TERBAIK dan merupakan buku YANG AKAN MENARIK BANYAK PEMBELI/PEMINAT?

Untuk saya, cukuplah apabila anda bisa menjelaskan bukti2/analisis anda bahwa isi buku tsb adalah yg TERBAIK dari isi puluhan atau isi ratusan2 buku2 lain (tentu saja setelah anda membaca buku2 yg lain tsb), maka saya akan ikut bersama-sama memprotes Kompas, mengapa buku TERBAIK dari semua buku2 anti orba dan anti militerisme tersebut tidak direview oleh Kompas.

Salam, dari rekan baru anda πŸ™‚

“RULES OF THE GAME” LIPUTAN MEDIA DI TIMUR TENGAH

Sumber: http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2006/08/rules-of-game-liputan-media-di-timur.html

Sejumlah pernyataan di bawah ini saya kutip dari sebuah posting di Internet. Terkesan simpel, tapi bagi saya –yang kebetulan dulu sering meliput politik Timur Tengah– memang ada kebenarannya. Hegemoni wacana pemikiran, yang merugikan posisi Palestina dan Arab, memang banyak menghinggapi insan media. Kita juga bisa membandingkan dengan pemberitaan media atas agresi Israel ke Lebanon, Juli-Agustus 2006.

Tetapi penilaian tentu terserah Anda masing-masing. Ini adalah sejumlah “rules” yang sering dipraktikkan media, dalam meliput konflik di Timur Tengah:

Rule No. 1: In the Middle East, it’s always the Arabs that attack first and Israel that defends itself. That’s called retaliation.

Rule No. 2: Arabs, whether Palestinian or Lebanese, have absolutely no right to kill Israeli civilians. That’s called terrorism.

Rule No. 3: Israel has every right to kill as many Arab civilians as it wants. That’s called legitimate self-defense.

Rule No. 4: When Israel kills too many civilians, the Western powers urge for restraint. That’s called the reaction of the international community.

Rule No. 5: Palestinians and Lebanese have no right to capture Israeli soldiers, even if their numbers are limited to three.

Rule No. 6: Israelis have the right to capture as many Palestinians as they wish — over 10,000 prisoners as of today, of which 300 are children. Uttering the magic word, “terrorist,” is all that’s
needed to throw Arabs behind bars without charges.

Rule No. 7: When you say “Hizballah,” you should always add “supported by Syria and Iran.”

Rule No. 8: When you say “Israel,” you should never add “supported by the United States and Europe” lest the conflict appear imbalanced.

Rule No. 9: Never mention “occupied territories,” or “UN resolutions,” or “violations of international law,” or “the Geneva conventions.” That might perturb television viewers and lead them to ask questions.

Rule No. 10: Israelis speak English better than Arabs. That is why we always give them — and their supporters — more air time. That way, they can explain Rules 1 through 9 to us. That’s called media objectivity.

Rule No. 11: If you don’t agree with any of these rules, or if you think they favor one party over another, that’s because you’re a dangerous anti-Semite.

George Monbiot

One of my favorit journalist. The reasons can be seen for example here – unorthodox, but down to earth, career advice.

Some quotes:

“What the corporate or institutional world wants you to do is the complete opposite of what you want to do. It wants a reliable tool, someone who can think, but not for herself: who can think instead for the institution”

“The idea, so often voiced by new recruits who are uncomfortable with the choice they have made, that they can reform the institution they join from within, so that it reflects their own beliefs and moral codes, is simply laughable”

“Even the chief executive can make a difference only at the margins: the moment her conscience interferes with the non-negotiable purpose of her company Γ’β‚¬β€œ turning a profit and boosting the value of its shares Γ’β‚¬β€œ sheÒ€ℒs out.”

“my second piece of career advice echoes the political advice offered by Benjamin Franklin: whenever you are faced with a choice between liberty and security, choose liberty. Otherwise you will end up with neither.”

“People who sell their souls for the promise of a secure job and a secure salary are spat out as soon as they become dispensable”

“If you can live on five thousand pounds a year, you are six times as secure as someone who needs thirty thousand to get by”

“Learn the trade by learning the issues, and gradually branch into journalism”
(eg: non-journalist can have the chance to become an excellent one)

“Remember that even the editor of the Times, for all his income and prestige, is still a functionary, who must still take orders from his boss”

“You know you have only one life. You know it is a precious, extraordinary, unrepeatable thing: the product of billions of years of serendipity and evolution. So why waste it by handing it over to the living dead?”

To see examples of his past articles, just browse around here. Loads of enlightening writings, which will be hard to put aside. So don’t click there until you have time to spare.

A few selections :

[ Growing My Own ] – In UK, you can have small pieces of land in your town strictly to be used to grow your own fruits/vegetables.
One day Monbiot decided he’s had enough with the verocious superstores killing local farmers and making ourselves dependent to them; he booked 4 plots (!), and started his journey to self-sufficiency — with quite spectacular results.

[ The Atheist met The Prophet ] – although written with a tone of seriousness, the ending is funny as hell. Find out why.

Enjoy.

Kekejaman Indofood

Saya kaget sekali sewaktu membaca posting Thomas yang berjudul Indomie Gempa Goreng Kriuk.

Saya sendiri tidak terlalu memperhatikan iklan tersebut. Tapi jika ini benar (Kriuk-nya mie ini “mampu membuat gempa”), maka saya kira ini cukup keterlaluan.

Perlu ada klarifikasi dari pihak Indofood untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya; apakah memang maksudnya mengeksploitasi musibah2 gempa kemarin ini, atau tidak sengaja, atau lain-lainnya. Kalau tidak, maka saya kira sah saja jika para korban gempa mengasumsikan bahwa Indofood memanfaatkan musibah2 kemarin ini untuk keuntungannya sendiri.

Berbagai iklan di Indonesia sekarang ini makin memprihatinkan saja. Sudah saatnya disusun kode etik periklanan Indonesia dan sebuah badan yang mengawasi penerapannya (dengan wewenang untuk menindak para pelanggarnya). Mudah-mudahan bisa segera terwujud.

A peek on corruption in Indonesia

A few days ago I had the pleasure of meeting with a few of my old friends. The initiator, I’ll just call him DL, chose Bakoel Koffie, because he’d like to “support local companies”. Fine with me. Can’t really stand Starbucks coffee anyway (the one I drank back in UK tasted quite terrible).
I made the mistake though of ordering an exotic one by name of “Turkish coffee” – hours after I finished the drink, my heart was still beating faster than usual. Pretty scary, come to think about it. But I must admit, it tasted really nice.

Anyway, a bit of chit chat, and I found out that DL now works for ICW, Indonesia Corruption Watch. I congratulated him and feel very happy. This is a man who hated himself even years after he had to bribe a Customs officer (in order to save his friend’s belongings from getting confiscated unjustly). A man of his words, and one who’s always on time (a notable achievement for Indonesian).
DL is also pretty known for his scepticism. He won’t just believe everything he heard or saw, until he’s really sure about it. He’d also say things as it is, especially if it’s bad. Which is good, for a man in his position.
I imagine he’d fit right in right away, and indeed he did.

So I joked a bit about SBY’s high-profile war on corruption, and asked him whether it had caused any effect at all.

To my surprise, unflinchingly, DL responded “yes”.
Despite what the news said almost everyday – DL actually confirmed that indeed, SBY’s war on corruption is working.

Seeing my speechless, amazed face, DL quickly explained his answer. Among the proof he’s seeing is the fact that while we’re already on the 8th month of year 2006, yet only 20% of APBN (yearly spending budget) is used. Reason being the bureaucrats are too scared to use the budget; they’re too scared that if they use it up for a project, they may fetch some for themselves out of habit – and got busted by KPK (Committee for Corruption Eradication) for it.

He further explained that even though the reformation has now been running for 8 years (since the fall of the dictator, Soeharto), it’s yet to touch the bureaucrats on the lower levels.
Finally SBY got on it, and it is scaring them.

His opinion is that this is good, but this is just the first step – the shock therapy. The bureaucrats finally realized that they’re not invincible anymore. Now SBY need to go through and finish it – actually eradicating all corruption, while keeping the development projects up and running.

We had to interrupt our short chat because others interrupted, and we joined back the group chat.
But I know that if it was he that said it, that really means it. Finally there’s hope.

Note that I was not a supporter of SBY back in the last election, among other things because I don’t know him well enough (a rather common problem with implementation of democracy anywhere – most of us choose someone we barely know). Now, I don’t feel so bad about my choice failing to become president.

Anyway, the road is still long and it’s a hard journey. Hopefully the good men in our government can overcome certain oppositions wanting to exploit our country for their own gain again (it’s a story for another post). Here’s one hoping it, for our own sake.

Thanks DL for the good news. Please keep up your good work there.

Bullies @ Office

When you’re a kid, bullies intimidates you physically. You are constantly under risk of getting physical abuse whenever he/she sees fit.

When you’re an adult, bullies now also does psychological intimidation. Which is worse.
It kills your productivity, and your boss will become upset at your lack of performance – which in turn makes you more frustated (because it’s not your fault)

On developed countries, there are numerous laws that intended to curb bullying. An example of such law in action can be read in this excellent BBC article.

However;
The more corrupt the state, the more numerous the laws” — Tacitus

And vice versa, the more numerous the laws, the more corrupt the state — because there will be numerous loopholes that can be exploited by the wicked.
Therefore, even a victim can be actually the bully.

An example; one of my past colleague is actually a bully. He talks sweet to important people, but he stomps on the less significants. He tried to stomp on me too, trying to make me do what he wished. I stood up, and, quite wisely, he never tried to cross path with me again.

My manager was not so lucky.

This bully is actually quite incompetent and lazy. And to think that he’s paid more than me (at first). Anyway, I can see that he kept on trying to avoid doing his task, and finally he hit jackpot.

One thing about this bully is he’s very well-versed with employment laws, and he keeps on trying to find a loophole that he can exploit for his own gain. One day he got it – my manager got a bit harsh on him, he got the proof, and before my manager knew it; he was reported for bullying to the HR department.

I was flabbergasted.

HR department is tend to be politically correct, and this bully has a way with words. He managed to convince HR guys that he’s the victim here, and he won the case.
Since then, my manager no longer able to fully control this bully, and he was able to do whatever he pleases. Leaving US to do his job.

Needless to say, I was VERY pissed off.

Applying law/rules without knowing what really happened is plain dumb. Yet, this is what happens today. Criminals got away with their crime, for their knowledge of loopholes in the system. And honest people got punished for things others did.

Thankfully, it has a kinda happy ending. After some time, and a few lobbying from our side (here’s the key folks – you have to do something [1] about it), finally senior management realized what he really is, and pressed him to do his work. Bumbling his way around, because he’s really not an IT expert (even I, with my weaknesses, am still much better than him), he finally had to earn his pay.

It may not always the case everywhere though.
So, just say no to bullies !

[1] – Among the work I’ve done was hacking his computer to find evidence of his bullying activities. A colleague said that he suspected this bully was stupid enough to store his private files in his office computer, and asked me to hack my way into it. I was only too happy to comply, and managed to found several evidence there.
My manager also managed to find several evidence on his own, and together we worked to bring this bully down.

Hati-hati dengan kartu kredit

Dengan prihatin saya membaca kisah Andersonite yang mengalami masalah dengan tagihan credit card dari Standard Chartered, sampai dia diteror oleh mereka.

Yang lebih mencemaskan lagi adalah sebuah komentar di posting tersebut :

waktu kamu di indonesia, pasti sering kan dapet penawaran membership atau kartu kredit lain? aku sih curiga ada ‘sindikat jual beli data cardholder’ deh. lagian, ngakses data cardholder buat beberapa orang gampang kok πŸ˜‰

Apakah memang security kita sedemikian tidak amannya di tangan mereka?
Yang jelas, adik saya sudah pernah kena charge yang fraudulent dari perusahaan kartu kreditnya. Kebetulan waktu itu dia di Inggris, dimana hukum berpihak kepada konsumen. Dia kemudian selamat dari tagihan tersebut.
Kalau dia ketika itu sedang di Indonesia, kemungkinan ceritanya akan berbeda….

Tapi masalah terbesar dengan kartu kredit adalah pada “irresponsible lending”.

Barusan ini BI mengeluarkan peraturan yang melarang seseorang untuk memiliki lebih dari 2 kartu kredit. Seorang staf senior BI pernah berkata kepada saya, bahwa BI akan lebih ketat mengawasi sepak terjang berbagai provider kartu kredit di Indonesia. Kelihatannya sudah menjadi kenyataan.
Tetapi ini bukannya berarti BI tidak menyukai cashless payment, justru sebaliknya, terutama ketika uang kertas mahal biaya cetaknya.

Contoh salah satu dari berbagai masalah kartu kredit, selama ini banyak bank yang memperlakukan kredit biasa dengan kredit dari kartu kredit secara berbeda – singkatnya, pinjaman dari kartu kredit diberikan tanpa kehati-hatian / memperdulikan resiko. Hasilnya, banyak pelanggan kartu kredit yang jadi menunggak.

Tetapi, karena biasanya tunggakannya ini jauh lebih kecil daripada pinjaman biasa, maka masih bisa dicicil; walaupun dalam yang waktu lama. Dimana ini tentu saja menguntungkan bank (karena bunganya menjadi sangat besar), dan merugikan konsumen.

Masalahnya terus berlanjut, dimana kemudian bank biasanya menggunakan jasa debt collector untuk menagih tunggakan yang macet. Celakanya, debt collector di Indonesia seringkali menggunakan cara-cara yang sewenang-wenang dalam operasinya.
Saya kira inilah faktor terbesar yang membuat BI marah dan memutuskan, “enough is enough“, dengan para provider kartu kredit. Apalagi ketika ada kasus sampai dimana ada seorang guru dengan gaji kurang dari 2 juta/bulan, menunggak sampai 50 juta lebih, dan dizalimi habis-habisan oleh para debt collector.

Regulasi yang ketat dari otoritas akan membantu mencegah & mengurangi kesewenang-wenangan dan eksploitasi terhadap konsumen seperti ini.

Regulasi yang ketat ini, secara sekilas, akan terkesan mempersulit customer. Seperti, syarat-syarat yang ketat (tidak sembarangan orang bisa mendapatkan kartu kredit), dll. Namun pada akhirnya, semuanya ini adalah untuk melindungi kita sendiri.

Anyway, bagi yang belum menggunakan kartu kredit, sebaiknya tidak usah. Saya punya kartu kredit pun karena diberikan oleh bank; itupun saya gunakan hanya untuk bertransaksi online (convenience), bukan untuk berhutang.
Mungkin kita perlu mengembalikan budaya melihat hutang sebagai “last resort”, dan bukannya sebagai tindakan yang pertama kali dilakukan ketika menghadapi masalah.

Saya pernah bercerita kepada seorang kawan di Inggris, bagaimana budaya keluarga kami sejak dahulu, yaitu membeli (komputer, mobil, dll) hanya ketika mempunyai uang di tangan/bank. Dia tercengang, sepertinya sudah bertahun-tahun tidak mendengar hal demikian. Saya akui kepada dia bahwa ketika tiba di Inggris, memang saya sempat syok melihat bagaimana budaya berhutang adalah suatu yang sangat wajar disana.
Dan bahkan pada masyarakat yang telah memiliki budaya berhutang tersebut, regulasi kredit sangat ketat, dan memihak konsumen — tetap saja ada banyak kasus keuangan pribadi karena jeratan hutang kartu kredit.
Apalagi di Indonesia, yang kebanyakan kita belum memiliki keahlian private finance management, regulasi kredit masih longgar, dan nyaris tidak ada perlindungan konsumen.

Memiliki kartu kredit di Indonesia masih merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kebanyakan orang. Hindari saja jika Anda bisa.